Senin, 13 Mei 2013

Jangan Pergi (Cerpen Icil)

Jangan pergi! Aku hanya ingin memandangmu

Hening.
Dalam kesunyian yang memeluk erat ruangan putih itu, ada luka yang menusuk relung kalbu. Dalam sepi yang merengkuh malam itu, ada sesak yang membelit rongga dada.
Dan mereka tetap diam. Membiarkan kebisuan itu tetap tinggal. Membiarkan sakit dan sesak itu merambati kamar hati mereka. Membiarkan virus-virus kepiluan menghancurkan sel-sel jiwa mereka.
Diam. Lama sekali.
“Maafkan aku!”
Akhirnya ada suara yang memecahkan kerak-kerak keheningan itu. Gadis berwajah cantik itu mencium lembut kening pemuda di hadapannya.
“Jangan pergi, Ag!” pinta pemuda itu—Cakka—dengan lirih. Ia menatap sendu gadis yang tak lain, Agni. Pancaran matanya menyorot harap yang ektra besar.
Agni mendesah berat. Membalas tatapan Cakka. Sungguh ia berat meninggalkan kekasihnya itu. Terlebih mengingat keadaan Cakka semakin memburuk saja, membuat kakinya terasa ditindih ribuan beban yang berat. Ia tak sanggup melangkah. Tapi ia harus tetap pergi.
Sudah lebih dari puluhan kali Agni memohon kepada Ayahnya  untuk tetap tinggal di Semarang dan usah pindah ke Bandung. Namun, tuntutan tugas panjang sang Ayah, membuat Agni berada dalam posisi yang tak terelakan lagi. Terpaksa ia harus meninggalkan Cakka.
“Aku sayang kamu, Kka. Aku janji akan sering-sering ke sini untuk memastikan kau baik-baik saja.” Agni menjatuhkan dirinya ke dalam pelukan Cakka. Menangis pilu.
Cakka diam saja. dadanya sakit. Tak terbayangkan olehnya jika esok dan seterusnya penyemangat hidupnya harus beranjak dari sisinya. Tak terbayangkan bagaimana ia melewati hari-hatinya dengan sakit, karena penyakit yang dideritanya, tanpa Agni.
“Kamu benar-benar akan pergi, Ag?” Tanya Cakka untuk kesekian kalinya.
Agni melepaskan pelukannya dan mengangguk pasti. “Kamu jaga diri baik-baik, ya? Tetap semangat! Percaya kalau aku selalu ada di sini!” Ia menunjuk dada Cakka. Cakka diam saja.
Dan keheningan kembali bertugas. Menebarkan bau kehilangan yang nyaris mengikis habis rasa bahagia yang selama ini tercipta. Tak ada yang rela ditinggal, dan tak ada yang tega meninggalkan. Semuanya menumbuhkan benih-benih luka dalam hati. Bercabang dan mengakar kuat hingga esok dan seterusnya. Membekaskan baretan-baretan yang akan terasa ngilu dan perih.
*
Agni menatap keadaan di luar kereta dengan pilu. Air matanya menggenang penuh di pelupuk matanya. Ingin rasanya ia kembali menemui Cakka  yang dikabarkan kritis. Ingin rasanya ia memohon kepada sang Ayah agar mengulur waktu keberangkatan mereka. Ingin rasanya, ingin rasanya, ingin rasanya dan ingin rasanya ia melakukan apapun untuk melihat wajah Cakka dan mendengar suaranya kembali. Tapi kalimat itu nyaris tidak bisa dilakukannya. Ia tak punya kuasa. Keputusan Ayahnya sudah tersegel rapat. Tak bisa diganggu gugat.
“Cakka cape!” keluh Cakka. Menahan sakit yang terus berkiprah, menciptakan sayatan luka dalam jantungnya. Sekelebatan wajah gadis itu, gadis yang selama satu tahun ini menjadi tabib terhebat, menjadi obat mujarab, pun menjadi ramuan paling ampuh dalam hidupnya, menjamah pandangan matanya yang kian menutup rapat.
Lambaian tangan diiringi senyuman khas itu tertuju padanya. Sejurus kemudian ia melihat tubuh itu berbalik meninggalkannya. Jauh, jauh dan jauh. Tiba-tiba saja dadanya sesak tiada tanding. Berusaha mengejar pun tak mampu. Tubuh itu menghilang ditelan satu titik cahaya keemasan yang menyilaukan. Ia menangis. Menangis dalam penyesalan yang bersedekap dalam jiwanya; andai ada waktu untuknya kembali, satu jam saja!
“Agni!”
Suara bass itu memaksa matanya terbuka. Ia mengerjap beberapa kali, menatap keadaan di sekitarnya. Sama seperti sebelumnya. Kereta masih melaju dan belum berhenti.
“Mimpi, kah?” Agni melirik Ayahnya yang masih memandangnya cemas. Laki-laki tua itu mengelus lembut kepala Agni.
“Handphone-nya bunyi, sayang!” Kata Ayah memberitahu.
Agni yang baru menyadari ada getaran dalam saku bajunya, segera mengambil benda mungil berwarna hitam polos itu, setelah sebelumnya menatap wajah teduh Ayahnya terlebih dahulu. Dengan satu gerakan, ia mengangkat panggilan itu.
“Hallo!”
Agni diam. Membiarkan orang di balik telepon berbicara panjang lebar. Dan tanpa disadari, ada air mata yang secara tiba-tiba menetes di pipinya. Semakin lama semakin banyak. Ponsel yang sedari tadi digenggamnya terlepas seiring tangannya yang melemas. Tubuhnya serasa dihantam palu baja paling besar. Hatinya tertusuk ribuan anak panah paling tajam. Ia menjatuhkan diri dalam dekapan sang Ayah.
Menangis....
“Harusnya aku yang memintamu, jangan pergi!”
*

BIARKAN MENJADI KISAH KELU (Cerpen Icil)

Cakka menyipitkan matanya. Ia tidak mungkin menatap cahaya matahari dalam keadaan mata total terbuka. Silau itu memaksa garis matanya menipis. Belum lagi rasa pegal dan haus karena berjam-jam dijemur di bawah terik matahari, membuat kepalanya agak pening. Ia mengerjap beberapa kali. Matanya berkunang-kunang.

“Lo baik-baik aja, kan?” cewek cantik yang saat ini berdiri di sampingnya sedikit mengalihkan perhatiannya.

Wajar saja. Selama lebih dari dua jam dijemur, tak ada suara diantara mereka. Dan suara cewek tadi, nyaris memecahkan segala keheningan yang sempat terjadi. Menjadi daya tarik yang membuat penglihatan Cakka mulai terfokus padanya. cewek yang jelas belum pernah ia kenal sebelumnya.

“Gue gak apa-apa.” Jawab Cakka singkat. Tersenyum tipis.

“Lo kok bisa dihukum?” tanya cewek itu lagi.

“Gue absen hampir full satu bulan. Lo?” Cakka menjawab seadanya. Memang hampir satu bulan ini ia bolos sekolah tanpa memberi keterangan apa pun. Dan baru hari ini ia masuk, setelah kemarin disusul ke rumah oleh PKS kurikulum. Dan ia tidak menyangka kalau pada akhirnya PKS kesiswaan akan menghukumnya seperti ini.

“Haha, sama. Rekor banget deh, kita ngisi huruf a di kolom absen.” Cewek cantik itu tertawa renyah. Dan Cakka suka melihat tawa itu. Terlihat sangat manis. “Eh? Kenalan dulu, dong! Gue Shilla, anak IPS-2. Lo?” cewek yang rupanya bernama Shilla itu mengulurkan tangannya.

“Cakka, anak IPA-1” Cakka membalas uluran tangan Shilla. Menjabat hangat tangan lembut cewek itu.

Shilla menaikan salah satu alisnya. Bingung. “Anak IPA, ada juga ya, yang bandel kayak lo?” celetuk Shilla heran. Cakka hanya tertawa sumbang. Pening di kepalanya sedikit hilang.

Dan mereka tebarkan kecerian di sela lelah karena hampir seluruh cairan dalam tubuh mereka terhisap teriknya cahaya matahari. Entah kenapa rasanya tiba-tiba saja mereka merasa ada kenyamanan tersendiri berada di dekat orang yang ada di sampingnya saat ini.

“Cakka!”

Cakka yang tengah asyik berjalan menyusuri koridor sekolah, sesaat membalikan badannya ketika suara yang sudah ia kenal jelas, menyapa telinganya. “Eh, Shill?” dengan sangat rinci ia mengamati Shilla yang sudah berdiri di hadapannya.

Setelah insiden dihukumnya rekor alpa SMAN-1 beberapa bulan yang lalu, Shilla dan Cakka memang mulai berteman dekat. Mereka mulai banyak menghabiskan waktu bersama-sama. Hingga perlahan ada rasa yang aneh yang menjalar dalam hati mereka. Menuntun satu kata bertajuk pacaran tersisip diantara mereka. Ya, sudah satu bulan ini mereka berpacaran.

“Ada apa?” tanya Cakka melanjutkan langkahnya. Shilla mengikuti.

“Lo kemaren bolos lagi? Bukannya setelah hukuman tempo hari, kehadiran lo membaik, ya? Kenapa harus bolos?”

“Kemaren gue sakit.” Singkat Cakka.

Shilla memperhatikan Cakka lekat-lekat. Memang terlihat agak pucat. “Sekarang masih sakit, ya? Kok wajah lo pucat gitu?” tanyanya memastikan. Memegang wajah Cakka yang terasa panas.

Cakka tersenyum. “Dikit, doang. Lagian setelah jadian sama lo, gue gak betah ada di rumah. Bawaannya kangen mulu sama lo.” Ia terkekeh pelan sembari mengacak-ngacak poni Shilla gemas. Shilla tersipu. Sikap Cakka yang terkesan simple dan agak cuek, membuat Shilla jarang mendapat perlakuan seperti itu dari Cakka. Tapi Shilla tetap betah lama-lama ada di dekat Cakka. Cakka mempunyai sesuatu yang istimewa di mata Shilla. Entah apa itu. Ketulusan sepertinya



“Sepulang sekolah, kita jalan-jalan, ya?” ajak Cakka yang langsung diberi anggukan semangat oleh Shilla. Jarang-jarang Cakka ngajak jalan.

Senyuman manis tergores sempurna di birir keduanya. Baru saja mereka selesai menaiki semua wahana di dunia fantasi yang mereka kunjungi saat ini. Tak ada yang paling membahagiankan bagi Cakka, selain hari ini. Sebelumnya ia tidak pernah merasa sebahagia ini.

“Lo seneng gak, Shil?” tanya Cakka sambil duduk di bangku yang paling dekat dari posisinya. Kakinya terasa lemas dan butuh untuk istirahat. Tubuhnya yang masih kurang fit akibat sakit kemarin, terasa begitu lelah.

Shilla ikut duduk di sampingnya. Ia terlihat masih sibuk menikmati ice cream-nya. “Sumpah gue seneng banget, Kka!” Shilla menjawab pertanyaan Cakka sembari menyandarkan kepalanya di bahu Cakka. Ada ketenangan yang tiba-tiba menjamah hatinya. “Lo seneng juga, kan, Kka?” tanya Shilla balik.

Cakka tersenyum. “Gue seneng karena untuk pertama kalinya gue bisa buat cewek bahagia.” Jawab Cakka sembari mengambil alih ice cream Shilla. “Lo makan sendiri aja. Bagi-bagi, dong!” komentar Cakka sambil menjilat ice cream itu. Ia memandang Shilla yang sudah menjauhkan kepalanya dari bahu Cakka.

Shilla menyeringai. Mengerucutkan bibirnya.

“Ish, lo lucu juga, ya? Sini gue foto!” Cakka mengeluarkan BB-nya dan segera mengambil gambar Shilla yang masih memasang tampang cemberutnya. Ia tertawa ceria.

Dengan satu gerakan, shilla merebut BB Cakka. “ice cream gue, diganti sama BB lo, ya? Haha...” Ia melet-melet ke arah Cakka yang sudah berhenti tertawa.

Bukan karena BB-nya diambil Shilla Cakka berhenti tertawa. Tapi karena tiba-tiba saja, ada sakit yang menyeruak menguasai kepalanya. Pandangannya sedikit kabur, dan telinganya berdenging. Ia mengerjap beberapa kali. Kepalanya berdenyut semakin hebat. Wajahnya yang memang sebelumnya sudah pucat, lebih memucat lagi. Dan Shilla belum menyadari perubahan di wajah Cakka karena tampak masih asyik dengan BB itu.



“Shilla!”



Kepalanya yang terasa berat, terpaksa ia angkat saat telinganya yang masih bisa merespon, mendengar suara bass seseorang memanggil nama kekasihnya. Shilla mengalihkan perhatiannya juga. Seorang pemuda hitam manis tengah berdiri di hadapan mereka.



“I-Iyel?” gugup Shilla memanggil nama pemuda itu. Ia berdiri dari duduknya.



Iyel menatap Shilla curiga. “Lo ngapain di sini? Sama cowok, lagi. siapa dia?” tak kuasa Shilla menjawab. Ia bungkam. Tak ada kata yang bisa menjelaskan semuanya. Rahasianya yang tengah ia tutupi akan terbongkar saat ini juga.



Meski agak limbung, Cakka berdiri dari duduknya. Mensejajarkan tatapannya dengan tatapan Iyel yang menyorotkan sinar-sinar tajam ke arahnya. Ia menatap Shilla sekilas, yang masih terlihat kebingungan sambil menggigit bibir. Dari ekspesi Shilla, Cakka sudah dapat menduga apa yang sebenarnya sedang terjadi.



“Dia bukan siapa-siapa lo, kan?” tanya Iyel sekali lagi. kali ini sembari memegang pundak Shilla cukup kuat. Shilla tetap bergeming.



Cakka menguatkan pegangannya pada bangku, guna menahan tubuhnya untuk tidak jatuh. “Lo, pacarnya Shilla, ya?” Cakka basa-basi. Masih menahan sakit yang masih saja melancarkan serangan hingga membuat ia merasa kepalanya hancur berantakan. “Lo tenang, aja! Gue bukan siapa-siapanya Shilla, kok. Gue baru aja kenal sama dia. Dia habis minjem ponsel gue. Katanya mau hubungi lo.” Bohong Cakka. Dengan satu jurus, ia mengambil BB-nya dari tangan Shilla dan menunjukannya pada Iyel yang langsung menarik nafas lega. Fikiran negatif yang sempat tumbuh dalam benaknya gugur begitu saja.



Shilla memandang Cakka. Dan kecemasan menghujamnya saat melihat wajah Cakka. “Lo...”



“Mending sekarang lo anter Shilla pulang, deh!” Cakka memotong ucapan Shilla. Ia memandang Iyel yang juga tampak cemas melihat wajah pucat Cakka.



Tak ingin berurusan lebih lama dengan Cakka, Iyel segera menarik tangan Shilla. “Ya, udah, thanks ya, bro!” senyuman Iyel terlontar untuk Cakka sebelum ia benar-benar meninggalkan Cakka. Cakka membalas senyuman Iyel setulus mungkin.



Sepintas Shilla melirik Cakka penuh dengan penyesalan. Ia merasa begitu bersalah. Dan ia juga merasa berhutang budi karena Cakka menyelamatkannya. Jujur, sebenarnya ia sangat mencintai Iyel yang sudah tiga tahun ini menjabat sebagai pacarnya. Tapi ia juga mencintai Cakka. Ia mencintai dua pria.



Cakka mengangguk pelan saat Shilla memandangnya. Memberitanda kalau ia baik-baik saja dan tak perlu ada yang dicemaskan. Setelah itu ia kembali duduk. Sakit di kepalanya semakin hebat saja. Tapi ada yang lebih sakit lagi. Dadanya. Tepat di bagian hatinya yang terasa ditancap oleh pedang paling tajam hingga bagian yang paling dalam. Ia sesak tiada ujung. Tapi kenyataan pahit itu harus diterimanya. Bahwa sebaiknya ia melepas Shilla untuk orang yang memang lebih dulu mencintai gadis itu.



Lagi pula, ia memang merasa tidak pantas mencintai. Dan memang tidak boleh ada yang mencintainya. Terlebih saat ia menyadari, ada yang kembali meluncur dari lubang hidungnya. Sebuah cairan berwarna merah yang selama beberapa bulan ini sering muncul tiba-tiba. Memaksa ia untuk vakum bersekolah dan menghabiskan waktu di rumah, atau bahkan rumah sakit.



“Mimisan lagi, kan gue?” desahnya saat ia tak merasakan tubuhnya sendiri.



*



“Lo gak marah sama gue, Kka?” Suara di balik telepon.



“Ngga, kok.” Dengan susah payah, Cakka berbicara tanpa menggunakan masker oksigen yang sengaja dilepasnya.



“Jadi, hubungan kita gimana?”



“Ya, putus dong, Shil. Masa iya sih, lo bohongin Iyel terus. Biar kisah kita yang dulu jadi rahasia indah kita berdua aja. Mulai sekarang, anggap aja gue gak pernah ada dalam hidup lo. Anggap kejadian di bawah terik matahari itu tidak pernah ada. Iyel yang terbaik buat lo. Lo jangan bohongin dia lagi! Lo ngerti, kan, Shil?” terang Cakka panjang lebar. Dan berbicara sepanjang itu membuat dadanya sakit. Tanpa mendengar respon Shilla selanjutnya, Cakka segera memutuskan pembicaraan.



Tangannya terpaksa melepaskan ponsel yang tengah digenggamnya dan segera meremas dadanya dengan kuat. Ada sakit yang teramat sangat di bagian itu. Yang tak lama disusul dengan hantaman tiba-tiba di kepalanya. “Ya Tuhan...” hanya nama itu yang mampu dilafalkannya. Hanya nama itu yang bisa ia panggil. Tidak ada yang lain. Nama itu yang bisa membebaskannya dari belenggu rasa sakit. Entah dengan cara mengambil seluruh nyawanya, atau hanya sebagian saja. Terserah si pemilik nama itu saja. Yang pasti, ia hanya ingin, tak ada sakit yang ia rasakan lagi saat ini.



Dan remasan tangan itu perlahan mengendur saja saat desahan nafas yang semula cepat perlahan menghilang seiring lepasnya sesuatu yang kasat mata dalam tubuh itu. Pergi menjauhi jasadnya yang penuh dengan senyuman ketulusan itu.



Ia pergi jauh...


Meninggalkan seberkas rahasia indah yang tersimpan pahit dalam jiwanya...


Ia pergi jauh...


Dengan kebahagiaan dan rasa perih yang terendap dalam hatinya yang terluka parah...

Yang Aku Tahu (Cerpen)

Hanif menghempaskan tubuhnya. Ada senyuman paling manis yang terpatri di bibirnya pertanda ia bahagia. Hatinya di selimuti kabut-kabut paling dingin, tapi menenangkan. Langit-langit kamarnya seperti menggantungkan miliaran bintang paling terang yang membuat matanya buta dan tak melihat perasaan apa pun selain bahagia.

“Aku Rima ...,” gadis itu tersenyum, mengulurkan tangannya. Hanif membalas uluran tangan itu. Dan ia tak bisa bernafas. Tak mampu mengucapkan namanya. Ia lupa siapa dirinya, ia lupa sagala hal. Paras gadis bernama Rima yang mempunyai sentuhan paling lembut itu mengutuknya menjadi bisu. Ia tak berkutik.
Pertemuan pertama itu, membuatnya benar-benar seperti orang gila. Entah kalimat apa yang bisa menjelaskan pertanyaan kenapa bisa terjadi. Yang pasti hanya kata jatuh cinta yang bisa menggambarkan seberapa gilanya ia saat ini. Nama Rima seperti mantra ajaib yang lembut terdengar di telinganya. Ia melanglangbuana. Beginilah jatuh cinta.
Tak ada yang ia pedulikan saat itu selain biusan pesona gadis itu. Sosok tampan yang saat itu berada di samping, Rima pun tidak membuatnya lantas berusaha melupakan bayang tentang Rima. Meski pemuda tampan itu berstatus sebagai kakak kandungnya. Ia mencintai calon tunangan kakaknya sendiri. Dan minggu depan ia akan pergi bersama Rima. Makan malam, nonton bioskop, jalan-jalan di pasar malam dan melakukan banyak hal berdua. Ia memang sudah gila! Yang ia tahu, Rima pun tertarik padanya. Gadis itu berpaling hati padanya.
*
Malam melukiskan diri lebih indah dari biasanya. Taburan bintang bukan lagi bintang biasa. Mereka menjadi venus paling terang yang menyinari bumi paling kelam. Segala sesuatu di sekitar menjadi lebih berwarna dan indah. Dan semua itu hanya tampak di pelupuk matanya.
“Harusnya tadi si tokoh ceweknya yang mati!” kata Rima sibuk menghabiskan popcorn sisa nonton beberapa jam yang lalu. “Tapi baguslah, aku lebih suka kalau tokoh cowoknya yang mati. Lebih dramatis gitu!”
Hanif hanya tersenyum mendengar komentar Rima tentang film yang baru saja ditontonya. Mereka berjalan menjauhi gedung bioskop. Beriringan melangkah menuju taman kota. Duduk berdua di sana, di samping jalan raya yang masih terlihat ramai. Menikmati apa saja yang ada. Yang mereka tahu apa pun itu, semuanya sudah menjelma menjadi pernak-pernik paling indah yang menghiasi malam itu.
“Yang aku tahu, inilah cinta. Tenang meski berpijak di puncak kekahawatiran. Damai meski terperangkap di medan perang. Indah meski terperosok di lembah paling mejijikan. Dan aku baru merasakan hal seperti ini seumur hidupku,” Rima memeluk lengan Hanif erat. Perasaan Hanif melayang tak tentu arah. Untuk kedua kalinya ia merasakan sentuhan paling lembut, lebih lembut dari kain seutera. Gadis cantik yang dijodohkan dengan kakaknya itu menatap Hanif lekat-lekat. Dan Hanif menahan nafas untuk membiarkan matanya bertemu dengan mata Rima.
Rima gadis cantik yang lugu, penurut dan pendiam. Ia tidak pernah menolak apa pun yang orangtuanya perintahkan. Termasuk dijodohkan dengan Rian—kakak kandung Hanif—meski ia tidak pernah mencintai pemuda itu. Dan kali ini, untuk pertama kalinya, saat ia dikenalkan dengan Hanif, ia merasa ada getaran aneh dalam dadanya. Membuatnya ingin memberontak. Menumbuhkan ribuan do’a dan asa dalam hatinya, agar Hanif lah yang dijodohkan dengannya.
“Yang aku tahu, inilah cinta. Menjadikanku orang paling nekat. Berani menerima resiko apa pun setelah ini,” setelah sepersekian detik terdiam, Hanif akhirnya bersuara.
Rima membiarkan kepalanya bersandar di bahu Hanif. “Ternyata cinta ajaib, ya?” ujar Rima pelan. “Aku hanya berharap, ia benar-benar memberikan keajaibanya untuk aku, untuk kamu.”
Hanif tersenyum. Rasanya ia tidak ingin malam ini berakhir. Ia ingin menikmati waktu yang singkat ini untuk duduk berdua bersama Rima sebelum esok ada sebuah benda paling berkilau di jari manis gadis itu. Namun, ia memang tidak berhak mendapatkan waktu itu lebih panjang lagi. Ia harus mengakhiri keindahan yang baru saja terjamah lahir batinya, saat tubuhnya ditarik paksa menjauh dari Rima. Rima terlonjak kaget saat ia juga merasa sesorang mencekal tangannya dengan begitu kuat.
“F@##ing, lo, Nif!”
“Ini sungguh memalukan!”
“Hanif!”
Hanif menunduk dalam-dalam. Tak berani menatap wajah orang-orang di sekitarnya. Yang ia tahu, memang caranya salah. Tapi ia tahu rasa dalam hatinya tidak pernah salah. Ia mencintai Rima, begitu pun sebaliknya.
“Rian!”
Hanif tahu, itu jeritan Ibu. Ibu menjerit panik saat dengan sempurna Rian memukul wajahnya. Ia diam saja. Tak ada niat untuk melawan. Ayah mencoba menghentikan aksi Rian. Dan Rima dalam rangkulan orangtuanya menangis tak bisa melakukan banyak hal.
“Rima tidak mencintai Rian, Yah. Rima mencintaiku! Harusnya kalian menjodohkan dia denganku!” Hanif berujar serak saat Ayah berhasil menghentikan Rian. Semua mata kini tertuju pada Rima. Meminta penjelasan dari primadona paling cantik itu. Dalam tangisnya Rima mengangguk pelan. Pelan sekali!
“Aaarrgghh! HANIF!”
Hanif tidak ingat apa-apa lagi saat itu. Ia hanya merasa sebelumnya ada sesuatu yang membentur tubuhnya, saat Rian mendorongnya kuat-kuat hingga tubuhnya tersungkur ke jalan raya dan terlempar jauh. Kesadarannya sudah tidak ada. Tapi ia masih merasakan sakit itu. Ia masih bisa merasakan nyeri di bagian kepalanya yang sudah pecah karena terbentur trotoar jalan raya. Ia juga masih bisa merasakan betapa perihnya kulit tubuhnya yang terkelupas karena bergesekan dengan aspal. Dan ia juga merasakan seberapa sakitnya denyutan pemompa darahnya yang mulai lupa bagaimana caranya bekerja. Tapi ia tidak pernah lupa senyuman paling indah dan sentuhan paling lembut yang pernah ia rasakan di hari pertama ia merasakan apa itu cinta.
“Aku Rima ...,”
Senyuman itu tidak akan pernah terlupa. Pun dengan nama itu. Hingga saatnya ia harus menemukan kegelapan yang nyata pun, ia tidak akan pernah melupakannya.
“Hanif! Bangun, Hanif! Bertahanlah!”
Entah suara siapa, tapi Hanif sudah menjadi bisu, tuli, dan buta saat ini. Ia tidak bisa merespon apa pun. Hanya ada keheningan dalam dirinya.
“Yang aku tahu, aku tidak pernah tahu kalau cinta semenyakitkan ini!”
TAMAT

Minggu, 21 Oktober 2012

Cinta Itu Rima (Cerpen)



for you... Maaf kalau tidak memuaskan... 

*

Air mata menggenang di pelupuk matanya yang mulai terasa panas. Seperti baru saja menghirup berbagai gas racun,  dadanya sesak luar biasa. Pemandangan di depannya bukan sekedar adegan drama. Ini nyata dan ia menontonnya secara langsung. Gosip yang selama beberapa minggu ini berdesis di telinganya, tidak bisa dipungkirinya lagi. Orang yang begitu dicintainya tega menghianatinya seperti ini.
Ia mundur beberapa langkah, menjauhi tempat itu. Tak kuasa lagi menahannya, cairan bening itu menetes membasahi pipinya. Ia berbalik dan berlari dengan sangat cepat saat orang yang sedari tadi dilihatinya menangkap sosok dirinya.
“Rima!” Laki-laki itu berlari mengejarnya setelah sebelumnya menatap gadis cantik yang sedari tadi dipeluknya. “Rima! Kau harus mendengar penjelasanku!”
Rima menghentikan langkahnya. Tanpa berbalik ia  tahu laki-laki itu sudah berdiri di belakangnya. “Kamu jahat, Nif! Jahat banget, tahu!” masih dalam posisi yang sama, Rima berujar lirih di sela isakannya.
Hanif—laki-laki itu—meraih tangan Rima yang langsung ditepisnya kasar. “Rima...”
Rima kembali berlari tanpa ingin tahu apa yang akan Hanif katakan. Perasaannya terlanjur kecewa dan sakit hati. Selama beberapa minggu ini ia cukup kuat mendengar isu-isu tidak mengenakan soal Hanif. Ia tidak mempedulikan apa kata teman-teman satu sekolahnya tentang Hanif. Ia tetap menyimpan kepercayaan yang kuat untuk kekasihnya itu, karena ia mencintai Hanif lebih dari apapun.
Tapi sebegitu teganya Hanif membuat luka yang dalam dalam hatinya. Memecahkan gumpalan cinta tulus yang selama tiga tahun ini dijaganya. Tanpa ia tahu apa khilafnya sehingga ia tega menggoreskan  luka itu.
Hanif berhenti mengejar Rima saat diyakininya gadis itu tidak akan terkejar lagi. ia membungkukan badan, menahan lelah. Entah apa yang harus dilakukannya saat ini. Entah bagaimana juga persaannya kali ini. Yang pasti, tak ada secuil pun niat berkhianat dalam hatinya untuk melukai gadis itu. Karena ia begitu mencintai Rima.
*
“Apa aku bilang? Aku melihat dengan jelas dia sering  jalan berdua gitu sama cewek cantik. Lagian kamu, sih gak percaya banget sama aku,” Rosa, sahabat baik Rima nyerocos gak jelas saat Rima nangis-nangis memberi laporan soal apa yang dilihatnya tadi malam.
“Terus aku harus ngapain, Ros?” lirih Rima menenggelamkan wajahnya di balik tangannya yang terlipat di atas meja.
Rosa mengelus lembut punggung Rima. Menguatkan. “Kita harus beri dia pelajaran, Rim!”  tukasnya. Matanya berkilat-kilat mencari ide. Gadis itu tidak suka melihat sahabat baiknya disakiti seperti ini. Otak cerdasnya akan dengan sangat mudah mencari ide-ide cemerlang untuk melancarkan balas dendam terhadap orang yang telah melukai Rima. Siapa pun.
Sontak Rima mengangkat kepalanya dan memandang Rosa serius. “Beri pelajaran? Kamu mau ngapain?” tanya Rima panik. Takut kalau teman tomboinya itu melakukan hal macam-macam terhadap Hanif, mengingat Rosa anak karate yang bisa dengan sangat mudah melumpuhkan Hanif.
“Gak ngapa-ngapain. Cuma mau nyuruh pembunuh bayaran nyulik dia buat aku siksa, aku bunuh, aku mutilasi, aku preteli organ tubuhnya, lalu aku kasih hatinya ke kamu, biar kamu tahu ada nama yang lain selain kamu di dalamnya.”
“Rosa! Jangan becanda!” pekik Rima, ngeri membayangkan rencana gila temannya yang satu itu. Ia menangis semakin hebat.
Rosa tertawa renyah. Menatap manik mata Rima yang semakin banyak mengeluarkan air mata. “Haha, kamu fikir aku psikopat, apa? Mana berani juga aku lakuin itu?” dengan lembut Rosa menghapus air mata Rima. Dari sanalah Rima merasakan ketulusan seorang sahabat. Baginya, Rosa seorang pembela yang begitu berharga. “Kita lakukan yang lebih halus. Sesuatu yang kuat akan lebih mudah rapuh jika dilawan dengan sesuatu yang halus.”
Sesaat Rima tertegun mendengar kata-kata Rosa. Tapi setelah itu ia tersenyum. Selama bukan hal yang berbahaya, ia tidak akan melarang Rosa membalas perbuatan Hanif terhadapnya. Luka yang Hanif berikan, telah membuat baretan ngilu dalam hatinya. Dan Hanif harus mendapatkan balasan yang setimpal.
*
Hanif berjalan lesu melewati lorong-lorong sekolah. Ada sesuatu yang tiba-tiba menusuk relung hatinya. Semacam panah beracun yang kemudian menyebar meracuni paru-parunya hingga ia kesulitan bernafas. Apa yang baru saja terjadi di kelas musik, benar-benar membuatnya seperti penderita kanker stadium akhir yang tidak punya harapan hidup. Dengan sebelah pihak, Rima memutuskannya tanpa memberi kesempatan untuknya menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
“Kamu fikir, hanya kamu yang menduakanku dengan gadis lain? Asal kamu tahu, Hanif. Jauh sebelum kamu mengkhianatiku, aku lebih dulu melakukannya. Dengan temanmu sendiri! Mulai sekarang, kita putus!”
Tak pernah ia duga sebelumnya,  Rima dengan begitu tega melakukan hal itu. Bahkan Rima tidak pernah tahu kalau orang yang  dipeluknya itu bukan siapa-siapanya. Rima tidak pernah tahu dan tidak mau tahu dengan semua itu. Ia begitu mencintai Rima dan Rima menganggapnya telah mengkhianatinya. Padahal justru ia yang dikhianati hingga sesakit ini.
“Rima!” Hanif memanggil nama itu sembari mencekal tangan lembut Rima, saat Rima bejalan melewatinya, bersama Fahmi, temannya. “Denger penjelasanku, Rim!”
Dengan kasar Rima menepis tangan Hanif tanpa sedikit pun menatap wajah orang yang sebenarnya masih dicintainya itu. Ia harus membuat perhitungan dengan Hanif; Bahkan kamu tidak bisa mengucapkan maaf atas apa yang kamu lakukan sama aku, Nif! Batin Rima kesal. Ia hanya ingin Hanif mengucapkan kata maaf untuknya. Ia tidak butuh penjelasan. Ia hanya butuh pengakuan Hanif atas kesalahan itu.
“Ayo, Mi!” Rima menarik tangan Fahmi yang masih menatap Hanif iba. Sebenarnya ia tidak tega melihat Hanif seperti ini.  Jika bukan karena ancaman Rosa, ia tidak akan mau berpura-pura seperti ini.
“Shit!” umpat Hanif kesal. Ia mendudukan dirinya di beranda kelas. Rasanya kakinya tidak bisa lagi melangkah. Racun itu sudah hampir melumpuhkan persendian tubuhnya. Pengkhianatan itu ia dapat bukan dari kekasihnya saja, tapi juga sahabatnya sendiri.
*
“Pergi! Sampai kapanpun aku tidak akan mau mendengar penjelasanmu. Lagipula, mau kau jelaskan atau tidak, tidak berpengaruh untukku. Aku lebih mencintai Fahmi ketimbang kamu.”
Sebenarnya ada rasa sakit saat ia harus mengucapkan hal itu. Ia seperti menghantam keras batinnya sendiri. Sudah berkali-kali ia menolak kehadiran Hanif yang juga tak urung menyerah, padahal sudah jelas ia yang mengaku-ngaku telah menghianatinya. Bukankah, secara tidak langsung Hanif membuktikan cinta tulusnya kepada gadis itu? Lalu seegois itukah Rima terhadapnya, hingga ia bahkan selalu menolak berbicara dengan Hanif selama hampir satu minggu ini.
“Rim, aku mohon sekali saja! Aku mencintaimu, Rim! Percaya padaku!” Hanif memegang lengan Rima kuat-kuat saat Rima hendak masuk ke dalam rumah. Rima berbalik dan menatap Hanif tajam. Dan saat itu pula Hanif melihat dengan jelas pancaran ketulusan yang masih tersimpan aman dalam mata indah itu. Ia yakin bahwa Rima masih sangat mencintainya. “Bilang sama aku, kalau kamu tidak benar-benar mencintai Fahmi, Rim! Bilang sama aku kalau hanya aku yang kamu cintai!”
“Bulshit!” Rima berusaha melepaskan genggaman tangan Hanif dan segera masuk ke dalam rumah. Hanif diam mematung saat pintu ditutup dengan keras. Lebam dalam hatinya semakin sakit saja. Begitu pun dengan Rima. Ia terduduk, bersandar di balik pintu, menangis lirih. Sungguh ia ingin mengatakan apa yang Hanif katakan. Namun gengsinya terlalu kuat menggurita dalam dadanya.
Hanif melangkah menjauhi rumah Rima. Membawa kekecewaan.
“Hanif!”
Hanif membalikan badan saat suara seseorang tertangkap gendang telinganya, begitu ia melangkah agak jauh dari rumah Rima. Sesaat saja tatapan sayu yang sedari tadi terpasang, berubah menjadi kilatan-kilatan tajam. Ia berjalan mendekati si pemanggil dengan tergesa. Sejerus kemudian melayangkan pukulannya tepat di wajah orang itu—Fahmi.
“Nif, kamu kenapa, sih?” Fahmi berusaha menghindar, tapi rupanya amarah Hanif sedang memuncak. Ia dalam posisi tak terelakan. Tubuhnya terpaksa jadi sasaran kemarahan Hanif. Dan ia tidak ingin melakukan perlawanan sedikit pun. Ia merasa pantas untuk mendapatkan hal itu. Membohongi Hanif hingga menyakiti hati temannya itu, adalah kesalahan terbesar dalam hidupnya.
“Apa salah aku, Mi? Kenapa kamu tega nusuk aku dari belakang? Kenapa, Mi?!” Hanif semakin hebat saja melakukan aksinya. Hingga akhirnya Fahmi sadar, kalau ia harus melawan untuk menghentikan Hanif. Dengan kuat ia mendorong tubuh Hanif agar menjauh darinya. Membiarkan tangan kekarnya memukul wajah Hanif sekuat tenaga. Setelah itu, posisi terbalik. Meski Fahmi tidak seanarkis Hanif, tetap Hanif paling payah setelahnya.
“Kamu harus dengerin aku, Nif!” Fahmi mencekal pundak Hanif dengan keras, membuat ringisan ngilu dari Hanif. “Aku gak pacaran sama Rima. Aku, gak pernah cinta sama Rima, begitu pun dengan dia. Ini hanya skenario buat bales semua penghianatan kamu sama Rima!” jelas Fahmi. Ia merasa dengan begitu, beban yang semula bertumpuk dalam hatinya ambruk begitu saja. Perasaannya seperti baru saja bebas dari sel tahanan paling kelam.
Hanif membatu. Tubuhnya merosot ke bawah. Ia tertawa gak jelas. “Bodoh!” desisnya tajam. “Aku sudah menduganya dari awal, kalau Rima gak bener-bener cinta sama kamu!” ujarnya masih dengan tawa sumbangnya.
“Nif, aku minta maaf! Kamu boleh pukul aku lagi kalau kamu belum puas.” Fahmi ikut duduk di samping Hanif. Menatap Hanif lekat-lekat, ada noda merah di sudut bibirnya. “Maaf juga aku udah buat kamu kayak gini!” dengan satu gerakan, Fahmi mengelap darah itu dengan ujung jarinya.
Hanif meringis pelan. Perih di bibirnya tidak seperih di hatinya, meski ia sudah mengetahui apa yang sebenarnya sedang terjadi, tetaplah luka dalam tidak akan mudah disembuhkan. “Aku mau aja pukul kamu lagi, Mi. Kamu bohongi aku seperti ini bukan hal yang lucu, tahu, gak? Kamu gak berbakat jadi aktor! Ngapain juga kamu akting kayak gini?”
“Tapi kamu tertipu juga, kan?”
Hanif tertawa. Begitu pun dengan Fahmi. Meski ada rasa sakit, tapi suasana itu menggambarkan kalau keadaan mulai membaik.
“Terus, cewek yang kamu peluk itu siapa?” Fahmi menghentikan tawa itu.
“Sepupuku,” jawab Hanif tenang.
“Emang harus, ya, kamu sesering itu jalan sama sepupu kamu itu? terus peluk-pelukan gitu? Setahu aku, sebelumnya kamu gak pernah cerita soal kedekatan kamu sama sepupu mana pun,” Fahmi mulai curiga. Sebelumnya Hanif belum pernah cerita ada anggota keluarga yang begitu dekat dengannya.
Hanif diam.
“Sebenarnya ada apa, sih, Nif?” desak Fahmi.
Hanif menarik nafas dalam-dalam sebelum menjelaskan, mencari kata yang tepat. “Jadi, sepupuku sakit, Mi. Dia konsultasi gitu sama aku. Aku tahu, aku gak pernah deket sebelumnya sama dia. Tapi apa salahnya coba aku ada buat dia, sekedar menguatkan gitu. Lagian cuma aku juga sodara dia satu-satunya.” Jelas Hanif terlihat agak ragu.
Fahmi mengangguk-nganggukan kepala sok ngerti.
Keadaan hening. Lama.
“Kerjain Rima balik, yuk, Nif!” Fahmi tiba-tiba berujar, memecahkan keheningan. Hanif menoleh dan menatap wajah Fahmi yang sudah dihiasi luka memar akibat pukulannya, dengan serius. “Buat dia maafin kamu dengan cara kamu pura-pura....”
“Apa? Gak mau. This is crazy!” pekik Hanif begitu Fahmi menjelaskan rencananya.
“Terlalu sinetron, memang! Tapi aku yakin dia bakal jadi pemeran paling baik.”
“Tahu, ahh!”
*
Hanif menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidurnya. Beberapa titik tubuhnya terasa ngilu. Efek pukulan Fahmi beberapa hari yang lalu masih terasa. Selama beberapa hari ini ia tidak bertemu dengan Fahmi, juga Rima. Sakit yang dideritanya akibat terlalu kelelahan memaksa ia harus beristirahat di rumah dan tidak masuk sekolah. Ia tidak tahu apa Fahmi sudah melakukan rencananya atau belum. Dan ia tidak begitu peduli dengan rencana gila itu.
Tidak ada yang mau pura-pura sakit parah dan tidak akan hidup lebih lama lagi. Entah apa yang sebenarnya sedang terjadi dengan temannya yang satu itu. Yang jelas, ide itu bukan hal yang bagus untuk Hanif. Bukan terlalu sinetron, tapi justru ia tidak ingin hal seperti itu terjadi. Ia yakin, Fahmi mendapatkan ide itu hasil mendengar ceritanya tentang sepupunya itu.
“Hanif!”
Sontak Hanif mengangkat tubuhnya saat suara lembut itu menyapa  telinganya. Dilihatnya Rima berdiri di ambang pintu kamarnya. Wajah cantik itu jelas mengguratkan garis-garis kekhawatiran. Dan ia yakin, Fahmi sudah memulai aksinya.
“Kenapa kamu gak bilang sama aku, Nif!” Rima berlari menubruk tubuh kurus itu. Menjatuhkan diri dalam pelukan Hanif. “Harusnya kamu bilang kalau kamu sakit parah. Aku tidak akan sebodoh itu berakting untuk menyakiti kamu yang jelas sudah sakit. Dasar bodoh!” Rima membiarkan tanganya memukul-mukul dada Hanif pelan. Ia tidak habis fikir dengan jalan fikiran kekasihnya itu.
Hanif memegang tangan Rima untuk menghentikan tindakannya. Masih ada sakit yang tertinggal di bagian itu untuk dipukul meski hanya dengan pukulan pelan. “Aku sayang kamu, Rim. Aku fikir hanya terlalu dramatis kalau aku bilang aku sakit dan hidup aku tidak akan lama lagi,” yang jelas apa yang Hanif paparkan tidak terskenario terlebih dahulu. Ia sedang larut dalam perannya saat ini.
Fahmi yang entah sejak kapan berdiri di ambang pintu, hanya terkikik pelan melihat hal itu. Hanif yang juga melihatnya, menyeringai kesal. Tatapannya tajam. Fahmi berlari meninggalkan tempatnya, dan Hanif mulai menjiwai perannya kembali. Semuanya serba kebetulan.
“Hidup lebih lama untukku!” lirih Rima masih tetap pada posisinya. Ia merasa takut saat ini. Sungguh takut! Apa yang baru didengarnya kemarin seperti hantu paling menyeramkan yang menggentayangi jiwanya setiap saat.
“Kalau saja ini bukan skenario Tuhan, aku akan mengajukan beberapa tawaran agar Ia memberi waktu aku lebih lama lagi!”
Rima tertegun. Air matanya mengalir semakin deras.
*
Hanif berjalan gontai di koridor sekolah. Tubuhnya dibiarkan menempel dengan dinding-dinding kelas yang terasa dingin. Ada denyutan keras di kepalanya, sangat menyakitkan. Matanya seperti diserang asap neraka, panas dan perih. Ia kehilangan keseimbangannya untuk berjalan tegak, sehingga memaksa tembok-tembok bercat hijau cerah itu dijadikan tumpuan menahan tubuhnya.
Setelah berjam-jam dikurung di dalam ruangan musik bersama not-not balok yang entah kenapa tidak bersahabat seperti biasanya, Hanif keluar dalam keadaan setengah sadar. Tubuhnya yang memang belum fit total, berprotes saat ia beraktifitas terlalu over.
“Nif!” Fahmi menepuk pundak Hanif, Hanif menghentikan langkahnya. “Rima masih belum tahu, kan?”
Hanif menggeleng pelan, “belum.”
“Aku fikir, kamu cocok deh jadi aktor, menjiwai peran banget,” puji Fahmi yang hanya diberi senyuman aneh oleh Hanif. “Aku bilang juga apa? cewek itu suka yang dramatis-dramatis, gitu. Akting kamu, sih keren banget sampai si Rima gak sadar kalau sakit kamu cuma bohongan doang,” Fahmi tertawa. Hanif memukul lengannya pelan : dasar gila!
“Jadi?!”
Repleks, baik Hanif maupun Fahmi sama-sama balik kanan saat jeritan itu terdengar. Rima tengah berdiri agak jauh di hadapan mereka. Wajahnya sudah jelas mengekspresikan kemarahan. Ia berjalan mendekati Hanif dan Fahmi yang sama-sama tak berkutik.
“Tega kamu, Nif! Ini lebih jahat dari pada kesalahan kamu waktu itu, tahu, gak? Kamu fikir, enak gitu ditipu kayak gini sampai aku tiap malam nyaris tidak tidur hanya untuk mencemaskan kamu? Dan ternyata ini hanya sandiwara?! Argh!!” Rima menangis.
“Rima, aku tidak berniat membohongi kamu,” Hanif mencoba menjelaskan. Ia menarik Rima ke dalam pelukannya. “Aku gak pernah bohong sama kamu, Rim!”
Rima memberontak, mendorong tubuh Hanif dengan kasar hingga Hanif terhuyung dan hampir terjatuh. Sejurus kemudian ia berlari meninggalkan keduanya. Hanif berusaha mengejar semampunya.
“Nif, sorry!” ujar Fahmi lirih saat ia berhasil mengejar Hanif yang bahkan tidak sampai sepuluh langkah melangkahkan kakinya.
“Aku gak bohong, Mi! Aku gak pernah berakting,” desah Hanif sibuk mengelap darah yang tiba-tiba keluar dari hidungnya, dengan telapak tangannya. “Aku memang sakit!”
BRUK!
“Hanif!”
*
“Jadi, yang sakit itu Hanif? Bukan kamu?” Fahmi berdesis tak percaya. Nada suaranya pelan menegaskan.
Gadis cantik berambut ikal itu bernama Arin. Ia mengangguk pelan. Lugu, anggun, menawan. “Aku juga bukan sepupunya,” ia memainkan ponsel di tangannya.
Mata Fahmi  melebar. Lengkaplah kebohongan Hanif. Tak hanya Rima yang tertipu, tapi juga dirinya.
“Hanif itu pasien ibuku, aku berteman baik dengannya selama satu tahun ini. Dan selama setahun ini kondisi Hanif semakin memburuk. Ibu bilang, Hanif tidak akan sanggup bertahan lebih lama lagi. Makanya akhir-akhir ini aku selalu ingin menghabiskan waktu dengannya.”
Suasana hening. Fahmi mencari sesuatu dalam saku baju dan celananya. Yang dicari tidak ada. Ia baru ingat, ia belum pulang ke rumah, pakaiannya pun masih seragam sekolah.
“Kamu membutuhkan ini?” dengan tenang Arin menghadapkan ponsel yang sedari tadi digenggamnya. “Tapi orangtua Hanif sudah ditelepon lebih dulu oleh ibuku.”
“Aku ingin menghubungi seseorang,” kata Fahmi meraih telepon genggam berwarna putih polos itu. “Boleh aku memakainya?”
Arin tersenyum dan mengangguk.
Fahmi menjauh. Setelah memencet nomor yang dihafalnya luar kepala, ia mendekatkan handphone itu ke telinganya. Dadanya berdebar menunggu Rima mengangkat teleponnya.
“Siapa?”
Suaranya serak. Dapat dijamin Rima sudah atau mungkin masih menangis seharian ini. Fahmi merasa bersalah dengan semuanya.
“Aku Fahmi, Rim. Hanif di rumah sakit, dia sakit beneran.”
“Kamu fikir, aku mau tertipu untuk kedua kalinya? Tidak! Bilang sama Hanif, aku tidak mau bertemu dengan dia lagi. Aku ingin dia pergi jauh-jauh dari hidupku! Usah ganggu aku lagi!”
Suara Rima melengking kesal. Tapi ada tangisan lirih di baliknya. Fahmi terdiam dalam renyuhan. Dan tanpa ada yang tahu, saat kata-kata itu terlontar, ada rintihan panjang di ruangan pucat itu.
Hanif membuka mata. Tapi ia merasa dengan pulihnya kesadaran itu, ada sakit yang menghantam tubuhnya dengan keras. Tangannya yang terhubung dengan selang infus repleks memegang dadanya kuat-kuat. Ia merasa ada semacam dinamit berduri yang menyumbat dalam paru-parunya dan siap diledakkan kapan saja. Ia kesulitan bernafas, masker oksigen tidak berpengaruh untuknya.
“HANIF!”
Hanif sudah hampir kehilangan seluruh nyawanya saat seseorang memekik keras dan berlari menghampirinya. Fahmi yang juga mendengar jeritan histeris itu, segera menoleh ke arah ruang rawat Hanif. Dokter beserta pasukannya tergesa memasuki ruangan itu.
“Tarik ucapanmu atau kamu akan menyesal, Rim!”
Sambungan teputus!
“Hanif kenapa?”
Arin yang sempat masuk ke dalam ruangan itu, dan memanggil dokter, tertunduk gelisah di tempatnya tadi. Ia menggeleng lesu.
Fahmi duduk di sampingnya. Menunggu orang-orang berseragam putih di dalam sana selesai menangani Hanif. Orangtua Hanif yang baru saja tiba langsung mengerubuni Arin, juga Fahmi, dengan pertanyaan-pertanyaan perihal kondisi Hanif. Dan hanya gelengan pelan yang mereka lontarkan untuk menjawab semua pertanyaan itu.
Meski dipaksa, tetaplah jantung itu sudah terlalu lelah untuk berdetak dan bekerja kembali. Sudah saatnya ia berhenti dalam istirahat panjang.
Pintu ruangan itu terbuka. Mereka semua berdiri menyambut dokter dan pasukannya.
“Segala sesuatu yang kita miliki itu, milik Tuhan, kan? Dan Tuhan boleh mengambilnya kapan saja.”
Tanpa memberikan pertanyaan lagi, kata-kata dokter itu sudah cukup membuat mereka mengerti. Orangtua Hanif menerobos masuk ke dalam ruangan dan segera memeluk jasad putih pucat yang sudah ditutupi kain itu. Dan entah untuk alasan apa, Arin tiba-tiba memeluk Fahmi dengan erat. Fahmi membatu.
“Hanif pernah bilang, kekuatannya selama ini adalah cinta. Cinta yang membuat ia tidak pernah mau berpaling hati kepada siapa pun. Cinta yang membuat ia menolakku berkali-kali untuk menjadi kekasihnya. Cinta itu tak pernah kuketahui siapa. Yang Hanif bilang, cinta itu bernama Rima.”
*
Rima menangis pilu. Bantal yang sedari tadi dijadikannya benaman, sudah tak mampu lagi menampung air matanya. Dadanya dipenuhi polutan penyesalan kali ini.
“Bilang semua ini hanya sandiwara, Hanif!” Rima mengangkat tubuhnya. Melempar ponsel yang digenggamnya.
Pesan singkat yang diterimanya beberapa saat yang lalu dari Fahmi, seperti jarum-jarum kecil yang ditusukkan secara perlahan-lahan ke dalam hatinya. Ia sakit luar biasa.
“Rima, sumpah demi Tuhan, Hanif sudah tidak ada. Kamu boleh bersyukur karena Tuhan telah mengabulkan do’amu.”
Rima menangis histeris mengingat isi pesan itu. “Maafkan aku, Hanif!” ia meraih bingkai foto berukuran 40x35 cm di meja belajarnya. Mendekap erat bingkai dengan ornamen kerang-kerang kecil itu di dadanya. Hanif terasa begitu dekat dengannya.
“Rima,” seseorang memeluk Rima erat.
Rima berbalik, menatap lirih orang yang saat ini masih mempertahankan pelukannya. “Boleh aku menyesal, Ros?”
“Menyesal untuk memperbaiki kesalahan, Rim! Hanif selalu mencintaimu, tanpa kuperlihatkan hatinya padamu, aku yakin hanya ada nama kamu di dalamnya, tidak ada yang lain!”

Tanpa Batas Waktu (Cerpen)

Pelan-pelan Alvin menutup mata sayunya. Merasakan tiap hembusan udara penat yang menyeruak, memaksa masuk ke dalam benaknya. Emisi kegalauan yang tiada henti memenuhi ruang hatinya, membuatnya sejenak saja merasa kalau tidak ada udara segar yang bisa ia hirup. Ia merasa dadanya sempit. Sangat sempit! Sesak itu menggedor jiwa rapuhnya hingga pecah berkeping-keping.
Beri keputusan, Al. Dia tuh sayang banget sama lo.”
Sesaat Alvin membuka matanya begitu kata-kata itu kembali berputar dalam kepalanya. Bola matanya terfokus pada langit-langit kamarnya. Dalam-dalam ia menghirup udara di ruangan bernuansa hijau cerah itu. Bukan lega, malah semakin sakit terasa. Ia terenyuh.
Bukan untuk yang pertama kalinya Alvin mendengar kata-kata itu. Tapi sudah berulang kali Rio—
 Sahabatnya—mengatakan itu. Sebenarnya ia bosan, tapi ia tidak tahu jalan mana yang harus diambilnya. Ia kehilangan arah. Dilema menyerangnya tiada ampun.
Sivia. Begitulah nama yang selama satu tahun ini menjadi kabut-kabut dingin yang menyelimuti hatinya. Tapi terkadang gadis itu menjadi udara pagi yang menyejukan sanubarinya. Atau sekedar menjadi sinar-sinar senja yang menghangatkan jiwanya. Ia hanya tidak tahu keputusan yang mana yang harus diambilnya, sehingga hampir satu tahun ini ia mengacuhkan keberadaan gadis itu. Meski sebenarnya batinnya lebih tersiksa dengan semua ini.
***
 [Flashback]
“Kak Alvin!”
Baru saja Alvin hendak masuk ke dalam perpustakaan saat indera pendengarannya menangkap suara seorang gadis. Segera ia menghentikan langkahnya dan membalikan badannya guna memastikan siapa yang baru saja memanggil namanya. Ia terdiam dalam waktu beberapa detik saat gadis ber-name tag Sivia Azizah itu berdiri di hadapannya. Pipinya merah. Gugup menemani gerak-geriknya. Alvin ingin tertawa sendiri melihat ekspresi wajah adik kelasnya itu.
“Ada apa?” tanya Alvin.
Sivia tidak menjawab. Tapi dengan tangan bergetar, ia menghadapkan selembar kertas berlipat. Setelah itu pergi berlalu meninggalkan Alvin yang hanya bisa cengo melihatnya. Pemuda berwajah oriental itu membeku sejenak sembari menatapi punggung Sivia yang perlahan menghilang di balik koridor sekolah. Sejurus kemudian ia mengamati kertas yang saat ini berada dalam genggamannya. Ia tersenyum tipis dan kembali melangkah masuk ke dalam perpustakaan. Tujuannya mencari buku teralihkan oleh secarik risalah yang baru saja didapatkannya itu. Ia duduk di meja kosong dan segera membaca isi surat itu.
“Kak Alvin...
Aku tidak tahu perasaan apa ini. Aku tidak mengerti ada apa dengan diriku setiap kali aku melihatmu. Aku tidak tahu sama sekali. Mungkin aku suka padamu.”
Surat yang cukup singkat, tak kenal basa-basi, tepat langsung mengenai sasaran. Alvin tidak perlu repot-repot memahami isi surat adik kelasnya itu. Tapi justru ia merasa sulit memahami perasaannya. Ada yang menancap tepat dalam relung jiwanya dengan sangat tiba-tiba. Sebentar ia menarik nafas dalam-dalam. Entah kenapa ia tiba-tiba saja merasa sesak.
“Cie... cie... yang dapet surat,” goda Rio duduk tepat di samping Alvin. Alvin menoleh sejenak ke arah pemuda berkulit hitam manis itu. Setelah itu kembali menekuni suratnya. “Anaknya baik, Al. Cantik pula. Kenapa gak langsung diterima aja?” saran Rio yang hanya bisa direspon dengan gemingan oleh Alvin.
Semua orang di sekolah tahu siapa Sivia. Gadis cantik berpipi chubby itu dikenal banyak orang. Selain karena ia ketua Rohis sekolah, sifatnya yang baik, ramah, ceria, murah senyum, dan pintar membuat semua orang tahu padanya. Dan Alvin tentu mengenalnya dengan baik juga. Ia pernah menjadi mentor Sivia beberapa bulan yang lalu saat MOS berlangsung. Mereka juga satu ekskul di kelas musik. Tak ada Alasan untuk Alvin tidak mengenal gadis itu.
“Terima aja, Al! Jarang-jarang loh, cewek berani nembak,” bujuk Rio lagi.
“Apaan deh, lo. Udah ahh, pusing!” Alvin melipat kertas itu kembali dan segera beranjak dari duduknya. Bukan ia tidak mau mendengar saran dari Rio. Tapi ada sesuatu yang membuatnya harus benar-benar pergi. Rio hanya bisa berdecak melihat tingkah sahabat baiknya itu. Alvin terlalu menutup pintu hatinya untuk perempuan mana pun. Bahkan untuk gadis yang nyaris sempurna seperti Sivia pun.
*
Sivia tersenyum simpul saat sosok berkulit putih pucat itu masuk ke dalam kelas musik yang jadi latarnya saat ini. Pemuda bermata sipit itu membalas senyuman Sivia lantas duduk di tempat faforitnya. Di samping sebuah piano cokelat, membelakangi Sivia yang duduk di pojok ruangan. Sivia menghela nafas berat. Keadaan selalu sama. Tak ada basa-basi. Alvin selalu diam tanpa sedikit kata pun. Baik itu respon atas suratnya beberapa bulan yang lalu, atau sekedar menyapa dirinya. Ia diacuhkan perasaannya tak dihiraukan. Dan itu membuat hatinya terasa begitu ngilu.
Keadaan hening sejenak. Sebelum akhirnya, dengan gugup Sivia memanggil nama orang yang dicintainya itu.
“Kak Alvin...” Terdengar getaran dari suara Sivia. Alvin membalikan badannya dan menoleh ke arah Sivia.
“Iya, Vi?” tanya Alvin datar sampai Sivia mengira bahwa Alvin benar-benar lupa dengan suratnya beberapa bulan yang lalu. Ekspresi datarnya sama sekali tidak menunjukan ia ingat pada pesan itu.
Sivia menghela nafas berat. “Ajarkan aku lagu A Thousand Years-­nya Crhistina Perri dengan piano itu.” Hanya sedikit memecahkan kegugupan hatinya. Ia merasa tidak perlu lagi menanyakan perihal respon suratnya itu. Memang seharusnya Alvin tidak memberikan jawaban itu. Memang seharunya Alvin melupakan tentang perasaannya.
Alvin tersenyum dan sedikit menggeser posisi duduknya. Pertanda ia menyangupi permintaan Sivia. Sivia beranjak dan duduk di samping Alvin. Nervous menyelimuti sekujur tubuhnya...
“Aku main duluan ya...”
Sivia mengangguk seiring meluncurnya keringat di balik pelipisnya.
Dengan lembut Alvin menyentuh balok hitam putih itu. Menciptakan nada-nada halus yang membuat perasaan manampun terasa begitu tenang. Ia menutup mata sipitnya. Ada perasaan aneh saat ia duduk di dekat Sivia. Perasaan yang sesungguhnya tersimpan kelu di pedalaman hatinya. Perasaan yang membuatnya nyaris tidak pernah hidup dengan tenang. Perasaan yang terlampau sulit tuk terucap dan terlafal.
Bukan ia lupa. Bukan ia tidak bisa menerima cinta gadis sebaik Sivia. Bukan ia tidak mampu menolak Sivia, karena memang seperti itu keadaannya. Bukan karena perbedaan yang membuatnya tidak tahu harus memberi jawaban apa atas perasaan Sivia. Tapi karena ia pun tidak tahu sampai di mana batas waktunya. Karena ia tidak pernah mampu mencintai Sivia hanya untuk waktu yang hanya dijatahkannya sehari saja. Ia ingin mencintai Sivia dalam waktu yang begitu lama. Mungkin di keabadian nanti.
Perlahan jari-jemari lancip Sivia ikut menekan si piano cokelat itu. Menciptakan perpaduan nada yang begitu harmonis dan indah. Ia ikut memejamkan mata. Karena dengan begitu ia merasa segala beban yang ditumpahkan ke dalam hatinya lenyap seketika. Ia merasa tidak perlu jawaban lagi dari Alvin. Ia merasa tidak perlu lagi berharap menjadi sesuatu yang lebih dalam kehidupan Alvin. Karena dengan duduk berdua seperti ini saja, meski hanya sepersekian menit, ia merasa menjadi seorang yang begitu sempurna.
“Sungguh, Sivia... Jauh di pedalaman hatiku, aku sangat mencintaimu...” Batin Alvin.
*
[FlashbackEnd]
Alvin terhenyak saat tiba-tiba saja ada denyutan yang begitu menyiksa yang menyerang pusat kepalanya. Keadaan di sekitanya terlihat bergoyang. Ia memejamkan matanya. Bukan untuk kembali mengingat masa-masa yang pernah terlewatinya bersama Sivia. Tapi untuk menahan rasa sakit yang beberapa hari terakhir ini acap kali menyerangnya tiba-tiba dan tanpa ampun. Ia mengerang pelan. Tangannya ia gunakan untuk meremas seprai tempat tidur sekuat ia mampu. Sakit itu benar-benar tidak tertahankan. Ia menarik nafas dalam-dalam dan itu menyakiti alat pernafasannya.
“Sivia... sungguh aku mencintaimu. Kutunggu dibatas waktumu.” Disela erangan kecil itu, hati Alvin berbisik pilu seiring melemasnya seluruh persendian tubuhnya. Sungguh ia hanya mampu memberi keputusan dalam kesendirian saja. Ia hanya mampu menjawab perasaan Sivia dengan perkataan hatinya saja. Karena hanya itu yang bisa membuatnya meninggalkan segalanya dengan tenang tanpa rasa sakit yang lebih. Karena ia yakin ada hari lain di mana ia bisa mencintai Sivia sepenuhnya tanpa ada batas waktu.

Koneksi Antar Materi Modul 3.1 - "Pengambilan Keputusan sebagai Pemimpin Pembelajaran"

    Pada hakikatnya, dalam membuat keputusan, kita sebagai pemimpin seyogjanya harus mengutamakan nilai-nilai kebajikan dan kebutuhan pesert...