*
Hanif
kembali harus berjalan di antara kekacauan yang terjadi. Kekacauan yang
beberapa tahun 6belakangan ini telah menjadi gandengan hidupnya. Bersama
dirinya. Bersama orang-orang di sekitarnya. Yang sebenarnya, teramat
sangat ia sayangi.
Langkahnya terhenti sejenak, telapak kakinya
tiba-tiba terasa perih. Hanif merubah posisinya hingga berjongkok,
memeriksa apa yang terjadi. Sebuah helaan nafas keras telah ia hembuskan
melihat darah segar mengalir perlahan dari telapak kaki kanannya.
Pelan-pelan ia mengumpulkan pecahan kaca dari sebuah bingkai foto.
Matanya menatap sejenak sekeping kaca yang ujung lancipnya terdapat
corak merah, itu pasti darahnya. Ternyata, kaca yang ini yang berhasil
menembus permukaan kulitnya.
Ia beranjak ke dapur dengan langkah
yang tak seimbang. Pada lantai putih rumahnya, Hanif meninggalkan bercak
darah di sepanjang langkahnya. Yang akhirnya berakhir saat ia memasuki
kamar mandi. Sesekali ia meringis. Perih. Goresan lukanya akan terasa
semakin perih saat dialiri air.
Hanif mendesah, menyadari perih
di telapaknya sangat tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan perih yang
dirasakan hatinya. Saking perihnya, kadang Hanif malah merasa mati
rasa. Tidak tahu lagi harus merasakannya seperti apa, hingga biasanya ia
hanya diam termenung. Membiarkan dirinya layaknya seorang yang diambil
segala akalnya.
Hanif berniat kembali ke ruang keluarga untuk
membereskan segala kekacauan yang terjadi, tapi ia nomor dua kan saat
mengingat ada hal yang jauh lebih penting yang harus ia lakukan.
Tanpa
ragu Hanif memasuki kamar di depannya. Ia tidak heran lagi mendapati
kamar Adik perempuannya yang begitu gelap, begitu kontras dengan
pintunya yang dicat kuning cerah. Meski gelap, Hanif hafal tata letak
kamar tersebut. Ia berjalan melewati single bed berselimut salah satu
tokoh anime terkenal buatan salah seorang mangaka hebat Jepang dan ia
juga melalui begitu saja lemari kayu yang hanya beberapa centi lebih
tinggi darinya. Hanif berhenti di depan sebuah jendela berkusen putih,
ia manarik seuntas tali tipis hingga krey yang menutupi jendela tersebut
dapat terangkat. Lantas, tanganya kembali tergerak membuka kaca jendela
tersebut. Membiarkan cahaya sore hari Rabu masuk ke dalam ruangan yang
di tempeli begitu banyak foto piano. Memberikan kehangatan bagi
jiwa-jiwa suram yang saat ini berada di dalam sana.
Hanif
mengambil posisi di sebelah Adik cantiknya. Punggungnya ia senderkan
pada sisi tembok yang kokoh, sedangkan Adiknya tetap menyembunyikan
wajahnya di antara lututnya. Hanif dapat melihat pundak Adiknya yang
berguncang kecil, menandakan ia masih setia dengan air matanya. Segera
Hanif merengkuh Adik satu-satunya itu ke dalam peluknya, ia begitu sadar
dan yakin, tidak hanya fisiknya saja yang terguncang, tapi jiwa Adiknya
itu pasti berlipat-lipat ganda lebih terguncang.
“Semuanya udah selesai..” Lirih Hanif tanpa ada keyakinan dalam hatinya. Setidaknya, selesai untuk saat ini.
“Tapi
semuanya akan terulang lagi, Kak.” Nada sedih Adiknya sukses membuat ia
ingin menangis juga. Sukses membuat ia sesak tiada banding.
Adiknya
sudah besar, tidak mungkin Hanif membohonginya dengan kalimat seperti
itu. Adiknya punya telinga normal untuk mendengar segela perkelahian
mulut yang terjadi antara dirinya dan seseorang yang telah
melahirkannya. Adiknya punya sepasang mata yang masih berfungsi dengan
baik, sehingga ia bisa melihat bagaimana perpecahan itu senantiasa
terjadi. Dan Adiknya, sudah menghabiskan 14 tahun hidup di dunia, itu
artinya ia sudah bisa berpikir, sudah bisa mengerti, dan mempelajari,
mimpi buruk yang menjadi kenyataan seperti apa yang terjadi dalam
keluarganya.
“Berhenti, Kak.” Tidak ada cara lain selain menggigit
bibirnya kuat-kuat untuk menghalau seluruh sedih yang bergejolak dalam
hatinya. Hanif tidak pernah kuasa mendengar permintaan Adiknya yang satu
ini.
Hanif mengeratkan pelukannya. Ia mencium puncak kepala
Adiknya begitu lama. Hingga aroma lidah buaya yang berasal dari rambut
hitam Adiknya terasa menyusuri rongga-ronga hidungnya. Sedikit
menenangkannya.
Sejujurnya, Hanif juga tidak pernah mau selalu
bertengkar dengan Ibunya. Kalau dipikir, anak waras mana yang mau
menghabiskan waktunya hanya untuk bertengkar dengan sang Ibu. Tapi,
Hanif melakukan itu bukan karena alasan. Ia punya begitu banyak alasan
untuk terus perang mulut dengan wanita yang menyimpan surga untuknya dan
Adiknya itu. Hingga begitu banyaknya, ia sampai tak pernah sanggup
memenuhi permintaan Adiknya sendiri.
Hanif membiarkan
Ranas, satu-satunya Adik yang ia miliki, tetap di kamarnya dan
beristirahat. Sedangkan dirinya sendiri sibuk membereskan segala betuk
kekacauan yang terjadi.
Ruang keluarganya sudah agak lebih baik
sekarang, ia sudah mengembalikan letak kursi yang sempat bergeser posisi
atau bahkan terbalik akibat sasaran kemarahan Ibunya. Ia juga sudah
membersihkan bercak darah akibat lukanya tadi. Dan pekerjaannya yang
terakhir adalah membersihkan segala jenis serpihan-serpihan tajam yang
dihasilkan barang pecah belah yang sudah hancur berkeping-keping.
Hanif
menatap miris pecahan guci di hadapannya. Dulu Ayahnya sering
membelikan Ibunya guci-guci itu. Tapi sekarang, guci-guci itu harus
pasrah menjadi sasaran amukan Ibunya. Harus rela ikut hancur bersama
hatinya.
“Kak,” Tangan Hanif yang hendak memasukan pecahan guci
terakhir ke dalam kantong sampah terhenti. Tanpa menoleh pun, ia sudah
tahu siapa yang memanggilnya.
“Kenapa nggak istirahat di kamar aja?” Hanif mengelap tangannya pada celana trainning hitamnya.
“Kakak yang harusnya istirahat.”
“Kakak nggak apa-apa.”
“Aku lebih nggak apa-apa.” Hanif memutar tubuhnya, menghadap Ranas yang menatapnya dengan penuh sayang.
Ranas
duduk bersila di sebelah Hanif, sekilas ia memandang kantong plastik
hitam yang tampak berat itu. Untuk beberapa detik mereka sempat terdiam.
Tapi mata keduanya sama-sama menyisir pemandangan di sekitar ruang
keluarga. Semakin hari, ruang keluarga semakin terasa kosong. Bukan
hanya kosong karena perabotnya sudah banyak yang dilungsurkan ke tempat
sampah, tapi juga terasa kosong akan suasana kekeluargaan yang damai.
Ranas berpaling, hingga ia menemukan sebuah handsaplast yang membalut telapak kaki Kakaknya. “Kena beling lagi ya, Kak?”
Hanif tersenyum dan mengangguk pelan. Ia mengikuti sorot mata Ranas yang memperhatikan lukanya.
“Mentang-mentang
di tangan lukanya udah banyak, sekarang jadi kaki yang kena.” Ranas
mengangkat salah satu tangan Kakaknya. Pada tangan itu, ia bisa
menemukan banyak sekali luka baret. Ada yang panjang, ada yang hanya
sekitar dua centi saja. Ada yang tampak parah, ada yang hanya
meninggalkan bekas garis merah saja.
Ranas meringis ngilu sambil
mengusap pelan tangan Hanif. Hanif sendiri hanya bisa diam. Tidak mau
bereaksi apa pun. Telapak tangan Adiknya itu halus, jadi ia begitu
terbuai dengan sentuhan Adiknya sendiri. Begitu bisa menenangkan
perasaannya.
“Besok-besok kalau Kak Hanif sama Ibu berantem lagi, yang bersihin belingnya biar Ranas aja, ya?”
Hanif menggeleng. “Jangan.”
Ranas
melihat Hanif sebentar. Telunjuknya ia gunakan untuk menelusuri seluruh
luka di tangan itu. “Ranas gak mau Kakak mati konyol gara-gara
kehabisan darah kena beling terus.”
Hanif terkekeh pelan. Ia
menggunakan tangannya yang bebas untuk mengelus puncak kepala Adiknya.
“Kamu yang konyol!” Ranas merengut. Ia menepuk pelan tangan Kakaknya.
“Jaga
diri Kakak. Ranas tinggal punya Kakak.” Hanif terenyuh mendengar
permintaan Adiknya. Ia bisa melihat kesungguhan dalam bola mata Ranas.
Dan ia juga ingin Ranas dapat melihat kesungguhan itu pula dalam
pancaran sinar matanya.
Bahwa ia, tidak akan pernah sanggup meninggalkan apalagi ditinggalkan.
*
Hanif
membuka sepatunya. Sepanjang pelajaran olahraga tadi, telapak kakinya
terasa perih. Bahkan ia sempat berjalan terpincang-pincang. Hanif
menyingkir ke pinggir lapangan. Sesekali mulutnya berteriak memberi
semangat pada temannya yang masih betah panas-panasan memeperebutkan si
bundar orange.
Perih kembali terasa. Ia memutuskan membuka kaus
kaki putih pendeknya. Dan ringisannya kembali terdengar. Kali ini bukan
karena perihnya, tapi karena tak percaya melihat handsaplast-nya yang
lembab dan tembus warna merah.
“Nif,” Hanif mendongak untuk mengetahui siapa yang memanggilnya.
Ia hanya memberi respon berupa senyum kecil saat tahu siapa yang sedang berdiri di depannya.
“Hanif,” Panggilan dari suara yang sama. Tapi kali ini terdengar lebih lembut.
“Apa?”
Gadis
dengan potongan rambut rata melebihi pundak itu tampak menghela
nafasnya. Ia sudah kebal mendapat jawaban singkat dari laki-laki yang
paling ia sayang setelah Ayah dan Kakeknya.
Gadis berlesung pipi itu berjongkok. Melihat ke titik yang sama dengan Hanif. “Kamu berantem lagi, ya?”
Sebenarnya,
tanpa ada jawaban pun ia sudah tahu kalau Hanif pasti habis bertengkar
lagi dengan Ibunya. Semua luka yang ada di tubuh Hanif, tidak mungkin
sengaja dibuat. Ia sangat kenal bagaimana sifat laki-laki yang sangat di
kasihinya ini, ia bukan tipe yang suka menyiksa fisiknya sendiri meski
kehancuran macam apa pun melandanya.
Tanpa banyak pikir panjang,
gadis berparas ayu itu meninggalkan lapangan. Hanif mengeryit, kedua
alis tebalnya saling terpaut. Aneh!
Saat Hanif ingin melepaskan
plester cokelat yang menempel di telapak kakinya, gadis itu sudah
kembali lagi. Dan kali ini lengkap dengan kotak P3K dan sebotol air
mineral.
Hanif hanya diam memperhatikan gerak-gerik makhluk di
depannya ini. Bahkan sampai gadis itu duduk bersila di depannya, Hanif
tetap memilih bungkam.
Hanif agak kaget begitu hansaplast-nya secara tiba-tiba dibuka. Meski gadis itu melakukannya dengan lembut, tetap saja perih.
Hanif
ingin protes, tapi pada akhirnya ia hanya diam saja menyaksikan
ketelatenan gadis di depannya ini dalam membersihkan lukanya.
“Kenya,”
Begitulah Hanif memanggil gadis itu. Kenya berhenti membuka bungkus
plester yang baru. Ia menatap Hanif melalui matanya yang melancip
sempurna seperti biji Zaitun.
“Apa?” Bungkus plester kini sudah terbuka.
“Makasih, ya.” Sahut Hanif pelan, namun tegas.
Kenya
terhanyut. Perkenalkan, ini adalah satu dari begitu banyak bagian yang
ia suka dari Hanif. Apa pun yang Hanif katakan, nada bicaranya selalu
menunjukkan ketegasan. Laki-laki memang harus selalu tegas, begitu pikir
Kenya. Hanif tidak pernah berbicara kasar, apalagi membentak. Membuat
Kenya enggan melirik laki-laki lain.
Kenya tersenyum. “Sama-sama.”
Selain
cantik, Kenya juga punya senyum yang manis. Tidak heran kalau ada
banyak laki-laki yang terpikat olehnya. Tapi yang diherankan, Hanif
tidak seperti laki-laki kebanyakan. Kenya harus benar-benar tahan
banting mengenai perasaannya ini. Ia tidak mau menghilangkan perasaannya
begitu saja. Ia adalah tipe wanita pejuang!
“Nif, lain kali lebih
hati-hati, ya.” Hanif tertegun. Ia dapat melihat kesungguhan yang sama
dari Kenya seperti yang ia lihat dari Ranas.
Bersyukurlah ia, dikelilingi dewi-dewi Tuhan yang begitu memperhatikannya.
“Kenya,” Hanif menusuk Kenya dengan sorot lembutnya.
Kenya
menelan ludahnya yang terasa kasar. Kenya ingin berpaling dari tatapan
Hanif yang begitu lembut dan menenangkan. Baginya, itu adalah
satu-satunya hal yang paling bisa membunuhnya detik itu juga. Kenya
berpaling, ia harus berpaling atau Hanif akan menyaksikannya meleleh
perlahan-lahan.
“Apa, Nif?” Sahut Kenya dengan suara gugupnya.
“Berhenti kasih perhatian itu ke aku.”
Kenya berbalik. Menatap Hanif. Saat ini ludahnya semakin kasar untuk ditelan. “Jangan mulai, Hanif.”
Dan Kenya berubah menjadi sosok yang tegas.
“Kamu tahu aku enggak bisa balas lebih selain dengan bilang terimakasih.”
“Dan
kamu tahu aku enggak butuh balasan apa pun.” Kenya tidak mau kalah.
Matanya begitu tegas menatap Hanif. Ia ingin Hanif tahu, ia tulus. Ia
tidak pamrih meski Hanif harus selalu mengabaikan keberadaan
perasaannya. Kenya hanya ingin menjaga hatinya, memelihara rasa
sayangnya untuk laki-laki yang ia yakini memang tepat.
Hanif
menunduk hingga dalam. Ia tidak mau melihat wajah Kenya yang selalu
berpendar-pendar cahaya ketulusan. Ia tidak pernah sanggup menyakiti
hati seorang gadis yang begitu baik padanya. Tapi kenyataan membuatnya
gila, faktanya ia sudah menyakiti hati gadis itu. Ia juga
menghancurkannya. Dan bisa dibilang ia juga mempermainkannya.
“Berhenti sakitin perasaan kamu sendiri.”
Suara
Hanif begitu pelan Kenya dengar. Kenya bangkit dari duduknya, berdiri
dengan begitu kokoh padahal hatinya sudah tidak utuh. “Harusnya kamu
bilang itu ke diri kamu sendiri.”
Itulah kalimat terakhir Kenya sebelum ia pergi meninggalkan lapangan. Meninggalkan Hanif yang tetap mematung di tempatnya.
Hanif
mengerang kesal. Namun tidak ia tumpahkan secara nyata. Ia hanya
menyimpannya dalam hati, ia masih punya akal sehat untuk tidak
uring-uringan di pinggir lapangan begini.
Ada suatu saat di mana
Hanif sangat membenci dirinya sendiri. Ketika ia ingin untuk tidak
menyakiti perasaan siapa pun, justru ia melakukan hal itu. Dan bodohnya,
ia melakukannya dengan sadar.
*
Hari ini Hanif memilih
jeans biru panjang dan kemeja polos berwarna biru tua untuk menemaninya
bermain piano. Semenjak Ayahnya pergi begitu saja meninggalkan rumah dua
tahun lalu dan Ibunya mulai menunjukan perubahan-peruhan drastis—yang
sangat tidak ia inginkan—Hanif sadar kalau ia harus bekerja. Mencari
penghasilan sendiri untuk menghidupinya dan sang Adik, karena ia tidak
mungkin mengandalkan penghasilan Ibunya. Ralat! sama sekali tidak mau
menggunakan penghasilan Ibunya, apalagi kalau sampai Ranas yang hidup
dengan penghasilan Ibunya. Tidak-akan-boleh-terjadi.
Hanif melirik
jam tangan hitamnya, sudah hampir jam setengah tujuh malam, ia harus
segera berangkat atau manager Averas akan memarahinya karena telat
datang serta kelimpungan mencari pemain piano yang dapat menggantikan
dirinya. Hanif tidak mau itu terjadi, ia tidak ingin kehilangan
pekerjaannya yang bisa dibilang hobinya juga.
Hanif pergi ke teras
rumah, bertepatan dengan berhentinya sebuah sedan hitam mewah di depan
pagar rumahnya. Pintu penumpang terbuka, Hanif dapat melihat tubuh
langsing Ibunya keluar dari sana menggunakan model pakaian yang paling
Hanif benci.
Hanif menyimpan getir dalam hatinya. Ia ingin
menangis. Tidak peduli ia seorang laki-laki. Yang ia inginkan hanya
melepaskan penat yang bisa saja membunuhnya.
Wanita yang telah
melahirkan Hanif dan Ranas dengan penuh perjuangan itu tetap berdiri di
depan pagar seraya tangannya terus melambai mengiri kepergian sedan
hitam keluaran Eropa itu.
“Bu,” Panggil Hanif saat Ibunya hendak berjalan melewatinya tanpa peduli.
“Hm?” Wanita itu tidak mau melihat anaknya. Tidak melihat aliran kesedihan yang dipancarkan anak laki-lakinya.
“Jangan lakuin itu, Bu.” Pinta Hanif dengan sungguh. Ia pergi ke hadapan Ibunya, berharap Ibunya itu mau melihat dirinya.
“Jangan pernah atur saya!” Hanif hancur berkeping-keping. Dan parahnya, Ibunya sendirilah yang telah menghancurkannnya.
“Ibu
bisa cari pekerjaan lain, kan, Bu?” Suara Hanif bergetar. Ingin ia
mengguncang pundak Ibunya agar wanita itu dapat tersadar, apa yang telah
dilakukannya merupakan kesalahan besar.
“Kamu pikir itu
gampang?!” Ibu menaikan suaranya. Sedangkan Hanif memberanikan diri
menatap mata Ibunya, mencari kasih sayang yang mungkin saja terselip di
antara kilatan amarah itu.
Ibu kembali bersikap tidak peduli. Ia
berjalan melalui anak laki-lakinya, layaknya Hanif hanyalah makhluk
asing yang menjadi polutan hidupnya.
Hanif mengepal tangannya
kuat-kuat, merasakan sedih yang menjalari peredaran darahnya. Otaknya
kembali dipenuhi pertanyaan-pertanyaan retoris, Kenapa harus Ibunya?
Kenapa harus hidupnya? Hancur.
Kehancuran itu dimulai saat Ayahnya
yang memang bersifat temprament secara tiba-tiba pergi meninggalkan
rumah. Terang-terangan beliau mengatakan akan menikahi wanita lain.
Bagaimana Hanif, Ranas, dan Ibunya tidak kaget mendengar itu? itu sama
saja melihat kiamat kecil di mata mereka.
Berbulan-bulan mereka
lalui dengan kesedihan yang tidak bisa ditinggalkan. Sampai Ibunya
berubah menjadi sosok yang mengerikan untuk Hanif dan juga Ranas. Ibunya
jadi sering mengeluarkan suara dengan nada keras dan kasar. Sampai
Hanif sadar, Ibunya yang sekarang, bukanlah Ibunya yang dulu. Yang penuh
kasih sayang dan juga perasaan. Ibunya sudah dipengaruhi sakit hati
mendalam.
Hanif tahu, hati Ibunyalah yang paling terluka. Wanita
mana pun tidak akan rela diperlakukan seperti itu. Hingga ia
melampiaskan segala sedih dan kesalnya dengan cara yang sangat salah.
Berteriak, hingga bertindak kasar. Hal inilah yang membuat Hanif
mengerti, ditinggalkan oleh orang yang paling dicintai bukanlah hal yang
baik, tapi bukan berarti juga harus menjadi lebih buruk.
Saat
sadar krisis keuangan akan terjadi, Ibunya semakin uring-uringan.
Beberapa bulan ia gunakan untuk mencari pekerjaan. Saat itu, Hanif bisa
sedikit bernafas lega, ternyata Ibunya masih mau berjuang untuknya dan
Ranas.
Tapi nafas lega itu nampaknya harus tertahan lagi. Ibunya
selalu pulang dengan penolakan dari berbagai perusahaan. Hanif tidak
heran kalau itu semakin membuat Ibunya menjadi wanita yang lebih kasar
lagi. Sampai suatu saat, di mana ada hari yang Hanif tidak mengerti
mengapa bisa terjadi, akhirnya Ibunya mendapatkan suatu pekerjaan.
Awalnya
Hanif senang, hidupnya bisa kembali terjamin. Namun, omongan-omongan
negativ para tetangganya membuat ia mengerti apa yang dilakukan Ibunya.
Sungguh, Hanif rela bersumpah demi apa pun, Hanif benci pekerjaan
Ibunya. Menemani laki-laki yang masih memliki istri begitu hina
dilakukan Ibunya. Hanif benci itu. Ia tidak akan pernah mau hidup dengan
penghasil dari itu semua. Meski pun ia sendiri sadar, ia membutuhkan
biaya yang besar untuk bisa bertahan hidup.
“Kak Hanif!” Hanif menoleh ke pagar. Adiknya tampak lelah di sana.
“Maaf,
Kak, lama. Tadi nunggu ojeknya lama banget.” Suara Ranas terus
terdengar sampai ia berada di depan Kakaknya. Ia baru kembali dari
minimarket dan itulah yang membuat Hanif tidak bisa langsung pergi ke
Averas.
“Kak,” Ranas menyenggol tangan Hanif, menyadari ada yang tidak beres dengan Kakaknya.
Hanif yang akhirnya sadar, hanya bisa diam melihat Adiknya. Bayangan masa lalu itu membuat kepalanya pening.
“Kakak kenapa?”
“Kakak baik-baik aja.” Ranas tidak sepenuhnya percaya. Kakak nggak pernah baik-baik aja.
Mata
tajam Kakaknya tampak sayu, bibirnya terlihat kering, ada peluh yang
membanjiri kening Hanif. Apa Ranas masih harus percaya Kakanya baik-baik
saja?
“Hari ini nggak usah kerja, deh, Kak.” Hanif membulatkan matanya. “Kakak keliatan gak sehat. Malam ini di rumah aja, ya, Kak?”
Hanif menepuk-nepuk pundak Adiknya. Ia tau Ranas khawatir padanya, tapi bekerja ya bekerja. Ini demi hidupnya. Hidup Ranas juga.
*
Hanif
mengetuk-ngetuk botol obatnya di atas meja. Beberapa menit lagi ia
harus mulai beraksi dengan pianonya, tapi nyeri di dadanya belum juga
hilang. Mereda pun tidak. Ia mengernyit sesaat, kenapa obatnya tidak
bereaksi dengan baik seperti biasanya?
Hanif menekan area
dadanya, sedikit meremas kemejanya. Ia mulai memasukan beberapa
pertanyaan ke dalam otaknya, Ini obatnya yang sudah tidak manjur lagi
atau pleuritisnya yang semakin parah?
“Nif, siap-siap!” Hanif
mengangguk sopan pada temannya. Ia menghembuskan nafas panjang yang
justru semakin memperparah sesaknya. Lantas ia mulai bangkit dan menuju
panggung.
Senyum terkembang seiring sejuk perasaannya.
Denting-denting piano itu berhasil menyalurkan nada-nada indah sehingga
menyapa ramah hatinya. Kenya tidak bisa menutupi perasaannya, ketenangan
itu begitu bisa membuatnya bahagia, manakala ia selalu melihat Hanif
berduet dengan sebuah grand piano di atas panggung kecil itu. Sungguh,
hatinya tidak salah mencintai laki-laki yang begitu istimewa.
Kenya
kembali menyedot ice lemon tea-nya, rasa masam menyegarkan seketika
mengarungi tenggorokannya. Matanya begitu jelas terbuka saat dilihatnya
pria yang sangat dikasihinya itu membungkukan badannya penuh hormat
beberapa detik setelah jari terampilnya selasai menekan tuts piano.
Memberikan nada terakhir untuk semua insan Averas.
Sementara tepuk
tangan masih bergemuruh untuk sang pianist Averas, cahaya lampu yang
sedemikian rupa di tata untuk cafe mewah itu mengantarkan sinar mata
Kenya menuju manik mata Hanif. Ia tersenyum dari mejanya saat menyadari
Hanif melihat keberadaannya. Beberapa detik ke depan Kenya menutup
senyumnya. Kakinya yang dilapisi flat shoes hitam-pink melangkah
bergantian menuju Hanif di belakang panggung.
Hanif menyenderkan
tubuhnya pada sisi dinding, sesaknya datang lagi. Sakitnya datang lagi.
Ia ingin bernafas lega karena masih bisa mempertahankan permainan
nadanya meski sakitnya terus mendera, tapi nyatanya untuk hembusan nafas
panjang pun ia harus membayaranya dengan rasa nyeri yang teramat
sangat.
Mata sipitnya begitu rapat ia pejamkan, menimbulkan urat
keungunan di sekitar lingkar matanya. Tangannya terangkat untuk
merasakan sakit di dadanya.
“Hanif!” Hanif tetap terpejam meski pekikan itu menggetarkan telinganya.
“Obatmu
mana, Nif?” Seperti sudah mengerti akan keadaan ini, Kenya mencoba
mengguncang pundak Hanif. Jika saat ini ia bercermin, maka cermin itulah
yang akan memberitahu wajah paniknya.
Hanif membuka matanya pelan. Tangannya bergetar menahan tangan Kenya agar berhenti mengguncang tubuh lemahnya.
“Sakit,
Nya.” Aku Hanif pada akhirnya. Kenya menggigit bibirnya kuat-kuat,
mencoba merasakan sakit yang terucap dari bibir pucat itu. Hanif tidak
suka menutupi keadaannya saat penyakitnya mulai menyerang pernafasannya.
Sakit seperti apa pun ia akan tetap mengakuinya. Itulah hal yang
membuat Kenya semakin merasa bersyukur, ia tidak hanya bisa mencintai,
tapi ia juga bisa merasakan sakit orang yang dicintainya. Ya, meski itu
sangat sedikit.
Hanif menegakan pijakannya saat dirasa sesaknya berangsur pergi. Tangannya masih tetap menahan tangan mungil milik Kenya.
“Obatmu
mana, Nif?” Kenya mengulang pertanyaan yang belum sempat dijawab itu.
Raut paniknya pun berangsur pudar, tergantikan kelembutan khas yang ia
miliki.
Hanif terkekeh pelan. “Kalau sakit sedikit aja aku minum
obat bisa-bisa aku meninggal karena over dosis, bukan karena pleuritis.”
Kenya seperti mersakan kembali asamnya lemon tea, tapi bedanya asam
yang ini mencekatnnya.
“Yang tadi itu parah, Hanif.”
“Aku
sering lebih parah dari tadi.” Hanif tidak mau kalah. Sejelan
berikutnya, Hanif menyesali kalimatnya. Jujur saja, ia juga turut sedih
melihat wajah manis Kenya diwarnai kekhawatiran.
Hening mengurung.
Tak ada yang membuka suara. Latar pun seakan mendukung. Tempat mereka
berada ini memang jarang dijamah. Pelayan Averas pun hanya sekedar
melewati mereka tanpa memberi tanda tanya akan apa yang sedang terjadi
antar pianist dan pelanggan mereka.
“I know you think that I shouldn’t still love you or tell you that,”
Suara
merdu seorang penyanyi Averas berpadu dengan aluna instrument. Baik
Hanif dan Kenya tetap bergeming. Tangan mereka masih menyatu, semakin
mempermudah getar-getar aneh yang sudah mereka ketahui apa namanya
menjalari peredaran darah mereka.
“Nif,” Panggil Kenya nyaris
berbisik. Hanif hanya terlihat mengangkat sebelah alisnya. “Kalau alasan
kamu nolak aku adalah penyakit ini, kamu salah besar.”
“Seandainya
alasan aku cuma itu, aku gak peduli. Bahkan aku yang akan ngakuin
perasaan aku lebih dulu.” Kenya menatap sendu bola mata cokelat di
hadapannya. Di dalam sana seperti ada telaga yang selalu bisa
menenangkannya.
Kenapa hidup lelaki ini begitu banyak dipenuhi
alasan, sehingga untuk menyatukan perasaannya pun ia tidak bisa
meninggalkan alasan itu.
“Lupain alasan-alasan itu, Nif.”
Hanif
menggeleng pelan. Tangan Kenya semakin erat digenggamnya. “Nggak bisa.”
Siapa pun yang bisa menerawang hatinya, percayalah, ada kebohongan di
sana.
“But I will go down with this ship, I won’t put my hands up
and surrender, There will be no white flag above my door, I’m in love
and always will be.”
Kenya menunduk, ia hampir putus asa kala
melihat gelengan Hanif. Namun ia juga tidak bisa menutup telinganya
untuk tidak mendengar syair-syair White Flag itu menggelitiki gendang
telinganya.
“I’m in love and always will be.”
Dan perlahan-lahan, ia mendapatkan kepercayaannya lagi.
Hanif
punya alasan untuk menahan perasaannya sendiri. Dan Kenya juga punya
alasan untuk terus memperjuangkan perasaannya. Atau setidaknya,
mempertahankannya.
*
Hanif keluar dari kamarnya dalam
keadaan rapi. Kemeja seragamnya berhasil membalut tubuhnya yang kian
hari semakin menyusut bobotnya. Celana panjang abu-abunya juga jadi
tampak kebesaran mengurung kedua kaki jenjangnya. Tapi ia tidak peduli.
Yang tersimpan dalam processor-nya hanyalah berjuang selama ia masih
sanggup, menepi saat ia lelah, dan berhenti saat Tuhan yang memintanya.
Laki-laki
penyuka sepatu kets berwarna putih itu berjalan menuju meja makan
sambil memperhatikan keadaan di rumahnya. Pagi ini tampak lebih sepi
dari biasanya. Ranas masih di kamar mandi dan satu penghuni lagi, yaitu
Ibunya, ia tidak tahu. Semalam saat pulang dari Averas, Ibuya tidak ada
di rumah.
Belum sempat ia marik kursi dan duduk, hidungnya mencium
bau yang paling tidak ia sukai. Ia berjalan mengikuti bau tersebut. Bau
hasil pembakaran. Saat akan melalui pintu menuju teras belakang, Hanif
merasa bau itu semakin menyengat. Ia harus menutup hidungnya, atau
sebentar lagi paru-parunya yang penuh bakteri itu akan semakin kotor.
“Ibu!”
Hanif mendapatkan suaranya yang tercekat. Matanya membulat tak percaya
melihat dengan santainya sang Ibu menghembuskan asap rokok.
Mendengar suara anak laki-lakinya yang sarat akan rasa kaget, Ibu hanya menoleh tanpa niat beranjak dari kursinya.
“Ibu
ngerokok?” Ibu tetap setia dengan rokok di tangannya. Asap tampak
mengepul keluar dari mulutnya. Tak terlihat sedikit pun rasa
terimakasihnya akan perhatian yang diberikan oleh jagoannya tersebut.
“Ibu jangan ngerokok!” Larang Hanif dengan tegas. Tapi semua itu bagaikan angin lalu untuk Ibunya.
Hanif
mulai geram. Dadanya mulai sesak. “Bu!” Hanif mencoba mendesak. Namun
seakan semua zat dalam lintingan kertas itu telah merenggut akal sehat
Ibunya.
Ibu kembali melepaskan asap-asap laknat itu, tanpa
mempedulikan Hanif yang mulai hilang kendali akan batuknya. “Apa?” Tanya
Ibu tak acuh. Ia menekan ujung rokoknya yang mulai berubah menjadi abu
ke atas asbak.
“Ibu jangan ngerokok!” Suara Hanif yang bergetar bercampur dengan emosinya yang mulai mendesak keluar.
Ibu
berganti melihat tanaman soka yang tumbuh di sekitar kolam ikan.
“Jangan suka atur-atur saya!” Auara batuk Hanif yang menyakitkan
terdengar di antara bentakan keras Ibunya.
Tak peduli akan
statusnya yang seorang laki-laki, Hanif membiarkan air mata
menguasainya. Ini masih sangat pagi dan ia sudah harus bertengkar dengan
Ibunya. Sungguh ia benci keadaan ini. ia benci Ibunya yang sekarang,
makhluk asing yang setia memberinya luka. Apa ini yang di lakukan
keluarga lain saat pagi? Apa Ibu lain ada yang seperti ini juga?
“Ibu berhenti!” Teriak Hanif. Ia mulai hilang kontrol.
Tangannya
dengan sigap menahan tangan Ibunya yang hendak kembali menyelipkan
batang kertas itu di antara bibirnya. Raut Ibu mulai menunjukan ketidak
sukaan. Di matanya sudah jelas terlihat gurat-gurat kemarahan.
Ibu
menahan batang rokoknya yang baru ia hisap beberapa kali dalam
genggaman Hanif. Hanif meringis. Telapak tangannya terasa panas
sekarang. Ujung rokok yang masih menyimpan api itu sukses melukai
telapak tangannya. Meski begitu, Hanif tetap bertahan. Tangannya tetap
berusaha menahan rokok itu meski rasanya semakin panas dan perih.
Kali
ini, Hanif kesulitan memberi jalan untuk batuk dan ringisannya. Dengan
tenaga yang masih singgah di tubuhnya, Hanif menghempas kencang
tangannya. Hingga rokok itu akhirnya terjatuh ke lantai. Hanif menyimpan
sakit di telapaknya dalam hati. Ibu semakin menunjukan kesalnya.
Matanya begitu tajam menyorot seseorang yang dulu sangat ia tunggu
kelahirannya.
“Tolong jangan ngerokok, Bu!” Nada itu melemah. Tapi
entah bagaimana setiap katanya seakan menunjukan ketulusan mendalam.
“Jangan sakitin diri Ibu sendiri.”
Hanif bersimpuh di samping
Ibunya, tapi nampaknya wanita itu benar-benar sudah kehilangan warasnya.
“Cukup Hanif yang sakit, Bu. Jangan Ibu sakitin diri Ibu sendiri. Kalau
kita berdua sakit, yang jaga Ranas nanti siapa?” Hanif masih pada
posisinya. Air matanya menetes pelan ke atas lantai. Bibir Ibu tetap
membisu. Tubuhnya tetap mematung. Air mukanya kali ini tidak menunjukan
kalimat.
Dari tempatnya berdiri, Ranas menyaksikan segelanya
dengan air mata yang membasahi wajah mulusnya. Ia memikirkan banyak hal.
Memikirkan begitu banyak pertanyaan yang ingin sekali ada yang bisa
menjawabnya. Namun naasnya, pertanyaan itu hanya Tuhan yang punya
jawabannya.
Ranas tetap terisak melihat Kakaknya yang masih
bersimpuh di samping Ibunya. Kenapa ia harus memiliki Ayah yang tega
meninggalkan keluarganya? Kenapa ia memiliki Ibu yang harus berubah
menjadi orang yang mengerikan? Kenapa ia memiliki Kakak seperti Hanif
yang lemah namun selalu berjuang untuk segala hal? Dan kenapa ia harus
menjadi Ranas yang hanya bisa menangis melihat keluarganya semakin hari
semakin hancur?
*
“Nif, gurunya bukan di jendela, tapi di
depan. Lo jangan liat ke jendela terus dong! Lo lupa? Pak Akhyar yang
paling mantep bentakannya?” Raga, sahabat Hanif yang merangkap
chairmet-nya mulai memberikan bisikan peringatan.
Sudah sejak tadi ia memperhatikan Hanif yang terus melihat ke arah jendela. Raga menggeleng di hadapan buku catatannya.
“Kayaknya
mau ujan deres, Ga. Ranas pasti gak bisa pulang.” Hanif memelankan
suaranya, tidak ingin guru sejarah berkumis tipis itu melihat ke
arahnya. Raga mengangkat kembali pulpennya, ia berbalik pada sahabatnya.
“Hari ini gue gak ekskul, ya? Mau jemput Ranas.”
“Yaudah, tapi lo
hati-hati naik motornya.” Sebuah tepukan pelan mendarat di pundak Raga.
Dan ia mendapati bibir Hanif menyebutkan kata “Thanks” sebelum ia
kembali lagi pada catatannya.
Ketika tangan Hanif mulai diturunkan
dengan jelas Raga bisa melihat sebuah luka bakar terpakir sempurna di
atas telapak tangan itu. Raga mendesah keras namun tak cukup membuat
gurunya mendengar hal itu.
Berteman sejak SD membuat mereka saling
memahami satu sama lain. Hanif yang sudah hapal akan sifat perhatian
yang dimiliki oleh sahabatnya yang seorang pecinta Superman, dan Raga
sendiri yang sudah tahu luar dalam bagaimana hari-hari kelam Hanif.
Kenya
berdiri di depan kelas IPS, menunggu dua orang teman lelakinya yang
pertama kali ia temui di kelas tujuh, lima tahun lalu. Tunggu! Dua teman
lelaki? Mungkin lebih pantas kalau disebut satu orang teman dan satunya
lagi orang yang ia tunggu cintanya.
Gadis dengan rambut terawat
itu mendudukan tubuhnya pada kursi kayu di samping kelas. Dan tak lama
kemudian, pintu bercat hijau tua itu mulai terbuka, menyembulkan pria
bertubuh kekar yang ia kenal sebagai guru sejarah. Kenya cukup bersyukur
karena guru tersebut tidak menyadari keberadaannya. Ia langsung
berganti posisi ke pinggir pintu.
Kenya menahan suaranya saat
Hanif hanya berjalan melewatinya dengan senyum menawan yang terhias di
wajahnya. Laki-laki berhidung bangir itu tampak terburu-buru. Kenya
tidak tahu tempat mana yang ingin dituju Hanif, padahal langit mulai
menggelap dan bergemuruh.
Kenya yang saat itu menggunakan cardigan
bermotif bung-bunga biru masih tetap terpaku meski Raga sudah berdiri
tepat di depannya.
“Nya, mukanya santai aja. Baru dikasih senyum
gitu doag sama Hanif, apalagi dikasih hatinya.” Kenya tersadar dan
refleks meninju pelan lengan Raga.
“Hanif mau ke mana? Dia enggak ekskul?”
“Dia mau jemput Ranas. Sebentar lagi mau ujan dan dia nggak mau Ranas ketahan di sekolah.”
Kenya
mengangguk tanda paham. “Hanif emang pengertian banget, ya.” Jujur
Kenya dengan mata yang berbinar. Laki-laki itu, kenapa selalu
menambahkan rasa sayang yang bersemi di hatinya?
“Woooo! Puji aja
terus. Mentang-mentang lo suka dia.” Kenya mengkrucutkan bibirnya
mendengar cibiran Raga yang berselingan dengan tawanya. Ia mencoba
menyusul langkah Raga yang sudah beberapa jarak di depannya.
“Oh,
iya, Hanif punya koleksi baru lho!” Seru Raga saat Kenya sudah berjalan
di sampingnya. Kenya mencoba melihat wajah ramah Raga tanpa menghentikan
langkahnya. Sebenarnya ia sudah tahu makna ‘koleksi’ yang disebut pria
itu.
“Tapi koleksi yang ini rada beda.” Raga tampak berpikir.
“Semacam kesundut rokok gitu.” Kenya mengangkat sebelah alisnya.
Wajahnya dan Raga kini tampak sama. Sama-sama menyiratkan kebingungan.
*
Hanif
berjalan terburu-buru memasuki koridor SMP Adiknya. Jaket biru
Adidasnya sudah basah dan ia tidak peduli itu. Ia sengaja tetap
menyimpan jas hujanya di bagasi motor untuk bisa dipakai Ranas.
Sepatu
kets putih bermerk sama dengan jaketnya meninggalkan jejak-jejak basah
di atas lantai putih koridor. Sekolah sudah tampak sepi, parkiran pun
hanya diisi beberapa motor yang harus rela ditimpa air hujan. Dan
pencahayaan dalam koridor pun tidak cukup terang akibat langit yang
terlalu gelap.
Hanif bernafas lega menemukan Adiknya sedang duduk
pada anak tangga paling bawah. Senyum kecil tersungging di bibirnya
melihat wajah manis Ranas tampak kebosanan.
“Bosen, ya?” Ranas
menegakan lehernya yang terasa pegal. Kontan senyumnya mengembang
mendapati orang nomor satu yang paling ia sayangi sekarang sedang
berdiri di depannya.
“Maaf, ya, Kak Hanif lama.” Hanif mengambil
posisi di sebelah Ranas. Tangannya mengelus pelan punggung mungil
saudara kandungnya.
“Yang penting Kak Hanif udah dateng.”
“Langsung pulang, yuk!” Ajak Hanif yang langsung dihadiahi gelengan kerasa Ranas.
“Nanti
aja. Ranas males pulang, di rumah bau asap rokok. Ranas nggak suka.”
Ranas menunjukan wajah polosnya. Ia memang semakin tidak suka keadaan
rumahnya sendiri. Hanif tak merespon apa pun, kecuali tangannya yang
tetap mengelus punggung Adiknya. Jujur, ia pun juga sama dengan Ranas.
“Kakak
gak bawa jas hujan, ya? Jaketnya sampe basah kuyup gini, kalau nanti
sakit gimana?” Ranas memborong pertanyaan dan berharap Kakaknya itu
segera menjawabnya.
“Bawa, kok. Tapi itu buat kamu pake.”
Pandangan iba langsung tertuju untuk Hanif. Ranas kembali diberi bukti
betapa Hanif sangat menyayanginya. Yang perihnya ia tidak pernah tahu
bagaimana cara untuk membalasnya.
Ranas menggosokan tangannya
hingga ia rasa kehangatan itu menjalar dan segera ia menggenggam tangan
Hanif yang tetap terasa dingin. Ia tidak kuasa melihat Kakaknya itu
kedinginan seperti ini. Bibirnya sedikit membiru dan tampak bergetar.
Terlebih yang ia takutkan akan tubuh Kakaknya yang sudah menjadi sarang
pleuritis ini akan semakin menurun kondisinya.
Hanif hanya diam.
Ia sedang menikmati kelembutan yang bercampur kehangatan yang berpangkal
dari tangannya yang kemudian mengalir ke seluruh jaringan sarafnya.
Kenapa ia lebih bisa menikmati kelembutan itu dari Adiknya sendiri?
Bukan dari seseorang yang menyandang status sebagai Ibunya.
“Kak,”
Hanif diam melihat Adiknya, ia menunggu kalimat selanjutnya. “Jangan
terlalu banyak berkorban buat aku.” Ranas balas menatap Kakaknya. Mata
itu tampak sayu di antara gurat wajah Hanif yang tegas.
“Kenapa gitu?”
“Kak
Hanif sakit dan Kak Hanif masih terus berjuang buat aku. Kakak kerja
sampai larut untuk menuhin kebutuhan aku, kadang Kakak bertengkar sama
Ibu karena aku, Kakak rela kehujanan buat aku.” Ranas ingin menangis,
tapi ia tahu Hanif tidak suka melihat itu. “Aku sehat, Kak, tapi aku gak
pernah ngelakuin sesuatu yang berarti untuk Kakak.”
Seluruh
kesadaran Hanif tersita. Bagaimana bisa Ranas berpikir seperti itu?
Bahkan, untuk terus memanggilnya “Kakak” dan memberikan ketenangan saat
hatinya kacau adalah hal paling tidak terbayar yang Hanif dapatkan dari
Ranas.
“Dengar!” Hanif menggiring Ranas untuk lebih mendekat
padanya. “Kita gak mungkin sama-sama terus, dan kemungkinan besar Kakak
yang lebih dulu akan ninggalin kamu. Jadi, udah seharusnya Kakak
berjuang buat kamu, seenggaknya untuk ngebayar waktu kita berdua yang
akan terasa sebentar.”
Tanpa banyak berpikir lagi Ranas langsung
menenggelamkan wajahnya pada dada Kakaknya. Wajahnya terasa amat basah.
Air matanya bercampur dengan air yang merembas dari jaket Hanif. Seyakin
itukah Kakaknya kalau penyakitnyalah yang akan membunuhnya?
Mempersingkat waktu di antara mereka.
Sekelebat film-film semu itu
hadir dalam ingatannya. Memaksa Ranas menemui layar besar yang sudah
siap dengan berbagai potongan film bagaimana sakitnya Hanif saat
penyakit itu kembali mengganggu tubuhnya. Bagaimana kuatnya tangan itu
mencengkram dadanya sendiri. Bagaimana wajah lelah Hanif setiap pulang
dari Averas. Seberapa kencang suara Kakak dan Ibunya saling berteriak,
beradu, dan bersatu hingga hampir memecahkan telinga dan hatinya.
Hingga ia sampai pada film baru yang belum pernah hadir dalam hidupnya
sebelumnya. Bayangan itu, menyorot wajah pucat Hanif yang hampir
membiru. Menunjukan kalau raga itu sudah tidak memiliki degup jantung
lagi. Sampi akhirnya ia menukan dirinya hanya sendirian. Menangis tanpa
ada yang bisa menenangkannya.
Ranas cepat-cepat menyingkirkan
bayangan itu. Ia belum siap bahkan tidak akan pernah siap untuk
menghadapi hal itu. Sekuat yang ia mampu di peluknya Hanif. Seakan
menghalau malaikat pencabut nyawa untuk tidak mendekati bahkan menyentuh
Kakaknya.
Untuk beberapa detik yang berlalu, Hanif tidak
membiarkan matanya berkedip. Terlalu sayang untuk melewati sedikit saja
waktu-waktu seperti ini. Ia balas memeluk tubuh mungil Adiknya. Untuk
kali ini ia tidak ingin menyuruh Ranas menghentikan tangisnya. Hanif
justru menghadiahi Ranas sebuah ciuman tepat di puncak kepalanya.
*
Harusnya
soal matematika ini mudah untuk ia kerjakan. Ia sudah mengerti harus
menggunakan rumus yang mana untuk menyelesaikan soal-soal yang hanya
dipenuhi angka ini. Tapi sakit kepalanya sangat menghambat. Perih di
matanya juga ikut-ikutan menyusahkan. Hanif meletakan Fasternya begitu
saja. Tangannya ia gunakan untuk memijat pelan keningnya, berharap
pening itu sedikit meninggalkan kepalanya.
Hanif menatap jam yang
tergantung di salah satu dinding kamarnya. Ia menghitung waktu yang
ditunjukan. 21.45, biasanya Ranas sudah terlelap di kamarnya. Ingin ia
mengistirahatkan tubuhnya yang begitu sakit dan lelah, namun saat
melihat kembali deretan angka di buku paketnya, Hanif mengurungkan
niatnya.
Faster bertinta hitam itu berpindah posisi dalam
genggamannya. Baru ia akan menuliskan rumus untuk menyelesaikan soal
nomor delapan, suara nyaring terdengar dari telepon rumahnya. Dengan
langkah terseok Hanif menjalankan tubuhnya, menuju telepon rumahnya yang
belakangan ini jarang berbunyi.
“Halo?” Suara seraknya mulai terdengar.
Terdapat
balasan suara dari ujung sana. Dan selanjutnya, suara si peneleponlah
yang mendominasi. Pertama-tama Hanif mengangguk beberapa kali, kemudian
mulai tampak perubahan air muka padanya. Tak ada hitungan menit
kemudian, matanya membulat dan ia merasa seperti baru saja diserang
guntur terdasyat.
Gagang telepon di tanganya kini terasa begitu
berat, hampir saja terlepas dari pegangannya. Tangannya bergetar dan
terasa begitu lemas. Seakan jari-jarinya kehilangan tulang-belulangnya
hingga tak sanggup memegang apa pun. Kakinya lemas bukan main, sekuat
tenaga Hanif mempertahankan keseimbangannya agar tidak jatuh.
Suara
di seberang sana masih terdengar seiring bertambahnya segala sakit yang
menghantam jiwa serta raga Hanif. Ia menggumamkan kata “terimakasih”
sebelum sambungan itu diputuskan sendiri oleh si penelepon. Keseimbangan
itu pun hilang juga, Hanif jatuh terduduk sesaat setelah ia meletakan
gagang telepon ke tempat semula.
Matanya yang sudah perih harus
bertambah perih lantaran menahan air mata yang seakan mendesak-desak
ingin keluar. Kedua tangannya ia letakan di wajahnya, mengusapnya, dan
seketika aliran sungai kecil itu terbentuk di pipinya. Ternyata ia tak
sanggup menahannya. Sekarang, sesaknya kembali memonopoli. Tapi ia tahu,
sesak ini bukan berasal dari bakteri-bateri yang menghuni paru-parunya,
melainkan dari perasaannya yang bergejolak kalut.
Si penelepon itu, dialah yang sudah menambahkan kenyataan buruk hidup Hanif.
*
Hanif
sudah siap dengan motornya untuk melesat ke suatu tempat yang paling
tidak ingin ia kunjungi di dunia ini. Namun kenyataan menyuruhnya. Ia
sudah meninggalkan pesan sedang pergi sebentar kalau-kalau nanti Ranas
terbangun dan mencarinya.
Motornya mulai membelah gelapnya jalan.
Dan di antara suara menderu mesin Vario hitamnya, suara tangisannya itu
menyelinap. Saat ini, hanya Tuhanlah yang dapat mengerti bagaimana
hancurnya perasaan Hanif.
*
Melalui cermin di depannyalah
Hanif bisa mengetahui keadaannya sekarang. Matanya begitu sayu,
sedangkan bibirnya sudah dipenuhi rona-rona pucat. Lebih pucat dari yang
biasanya. Warna hitam di kantung matanya juga tidak mau kalah menambah
buruk penampilannya saat ini.
Ia ingin bernafas dengan bebas, tapi
sepertinya pagi ini pleuritisnya sedang mengganas. Sebisa yang ia mampu
dicobanya untuk menahan sakit yang bersumber dari setiap sudut
tubuhnya. Kepalanya sudah jelas lebih sakit dari semalam.
Semalam?
Ah, iya, ia tidak akan melupakan bagaimana malam itu bisa terjadi. Satu
malam yang lebih kelam walau harus dibandingkan satu minggu ia diserang
pleuritis tanpa henti. Hanif memegang kepalanya, terasa ingin pecah. Ia
tak mampu mengerang karena itu hanya akan menambah sakit di dadanya.
Dengan kata lain, ia sulit berbicara.
“Kak, Ranas masuk, ya?” Hanif diam. Bukan karena keinginannya, tapi karena ia tak mampu merespon.
Perlahan-lahan
pintu terbuka. Ranas yang sudah lengkap dengan seragam SMP-nya mulai
terlihat. Tangan kanannya memegang Post-it berbentuk bunga, tempat Hanif
kemarin menuliskan pesan.
“Kemarin Kakak dari ma—“ Buru-buru
Ranas memotong kalimatnya. Wajahnya berubah panik melihat Hanif yang
bersusah payah menahan tubuhnya sendiri dengan bersandar pada pintu
lemari.
Ranas menghapus jarak antara dirinya dan Hanif. Tangannya
langsung basah saat menyentuh lengan Kakaknya. Tubuh Hanif di penuhi
peluh yang terasa dingin di tangan Ranas. Ranas mengerti keadaan
Kakaknya, tanpa niat melancarkan pertanyaan, dengan sigapnya ia mencari
botol obat Hanif. Saat ia tidak menemukan botol obat itu di atas meja
kecil samping tempat tidur, Ranas beralih pada ransel Hanif.
Dapat!
Tanpa banyak berpikir, segera ia mengangsurkan Hanif sebutir obatnya
beserta segelas air mineral yang selalu tersedia di meja kecil itu.
Untuk
beberapa menit, mereka berdua sama-sama terdiam. Hanif sedang merasakan
bagaimana obat itu bereaksi, sedangkan Ranas sibuk melantunkan barisan
doa pada Yang Kuasa untuk kesembuhan Kakaknya.
“Nas,” Suaranya mulai kembali. Ranas menangkap isyarat dari mata Kakaknya untuk membantunya duduk di atas tempat tidur.
“Hari
ini gak usah masuk sekolah, ya, Kak? Bukan cuma penyakit Kakak yang
lagi kambuh, tapi Kakak juga demam.” Ranas menurunkan tangannya yang ia
tempelkan di kening Hanif. “Biar Ranas kasih tahu Kak Raga kalau Kakak
sakit.”
Hanif segera menahan tangan Adiknya yang hendak mengeluarkan handphone dari saku seragamnya. “Kakak udah baik-baik aja.”
Ranas
merengut. Ia paling tidak bisa mempercayai kata “baik-baik saja” yang
diucapkan oleh Kakaknya. Baru ia ingin membantah, namun Hanif menyelanya
duluan.
“Semalem Kakak pergi,” Kata-kata yang sengaja Hanif
gantungkan itu membuat Ranas menautkan alisnya.
“Semalem Kakak pergi ke
kantor polisi.” Tuntas Hanif yang langsung diekori tatapan bertanya
serta raut tak percaya dari Ranas.
“Ibu ditangkep polisi, Nas.”
Tak diragukan lagi pasti wajahnya sekarang tampak aneh. Antara percaya
tak percaya. Ranas mencari kebohongan di mata Kakaknya, namun
kenyataannya mata itu selalu diliputi kejujuran.
“Kenapa, Kak?”
“Ibu
terlibat kasus penganiayaan, Nas. Dia mukul seorang laki-laki waktu di
cafe.” Ranas dapat mendengar suara giginya yang gemeretakan. Tubuhnya
bergetar menahan tangis. Apa lagi ini?
“Berarti Ibu dipenjara?”
Tanyanya dengan intonasi dan artikulasi yang aneh. Tapi Hanif tetap bisa
mendengar dengan baik. Sekali Hanif menganggukan kepalanya. “Berapa
lama, Kak?”
“Belum tahu, Nas. Semoga nggak lama,”
Hanif
mencoba menenangkan Adiknya yang sudah menangis dalam dekapannya. Kalau
boleh jujur, ia juga ingin menangis kencang seperti yang dilakukan
Ranas. Meski hal itu tidak bisa membuat Ibunya keluar dari penjara, tapi
setidaknya ia bisa sedikit mengutarakan bebannya.
*
Meski
keadaannya belum kunjung membaik, tidak ada terlintas niatan Hanif untuk
meninggalkan pekerjaannya malam ini. Ia sudah meminum obatnya untuk
meredakan sesak yang sejujurnya masih betah bersamanya sejak semalam.
Sepertinya, bebannya sangat pintar bekerja sama dengan penyakitnya
hingga merubah Hanif menjadi laki-laki yang begitu ringkih.
Sebelum
berangkat ke Averas, ia sudah berpesan pada Ranas untuk tetap di rumah
dan mengunci gerbang serta pintu utama. Mulai hari ini, atau lebih
tepatnya semalam, ia hanya akan hidup bersama Ranas. Ia harus lebih
ekstra lagi menjaga Adiknya karena ia tahu, jiwa Adiknya belum cukup
tangguh menerima semua kenyataan buruk ini.
Hanif berjalan menaiki
panggung setelah soloist Averas selasai menyanyikan beberapa lagu yang
bertemakan cinta. Ia suka karakter penyanyi itu, jenis suaranya tidak
pasaran. Mudah dibedakan. Apalagi hari ini soloist itu menyanyikan
Sorry, seems to be the hardest word, salah satu lagu kesukaannya yang
dipopulerkan boyband laki-laki yang menamakan diri mereka Blue.
Hanif
menguasai setiap nada yang ia mainkan. Matanya terpejam untuk merasakan
bagaimana alunan itu menjadi harmoni untuk jiwanya. Untuk seluruh yang
hadir di Averas. Ia suka dengan permainan pianonya hari ini, sedikit
bisa mengesampingkan nyeri di dadanya. Dan ketika ia membuka matanya,
hal yang pertama ia lihat adalah gadis yang ia sayangi sedang duduk
dengan anggunnya pada salah satu kursi pengunjung. Ia tampak begitu
manis dibalut dress biru tua dengan aksen renda di akhir dress-nya.
Rambutnya dibiarkan menyatu dalam ikat rambut berwarna senada. Entah
bagaimana bisa, jarinya semakin lincah menari di atas tuts.
*
Kenya
memang tak mengenal nada lagu apa yang sedang Hanif mainkan. Ia tidak
peduli. Tahu tidak tahu, Kenya selalu bisa menikmati alunan yang Hanif
mainkan.
“Hai, Kenya!” Di sela kenikmatannya, Kenya mendapati
sebuha suara yang tak asing baginya. Ia menoleh ke kiri dan mendapati
Raga dengan kemeja kotak-kotak merahnya sudah mengambil alih kursi
kosong di sampingnya.
“Kok lo di sini?” Bingung Kenya.
“Emang gak boleh?”
“Bukannya gitu. Tumben aja.”
Raga
membenarkan letak kaca matanya sambil menatap wajah Kenya. “Gue cuma
khawatir sama sahabat gue, hari ini dia keliatan lebih nggak sehat dari
biasanya.” Sebenarnya bukan hanya itu. Raga juga khawatir agar kondisi
Hanif pasca Ibunya masuk penjara.
Setelah ia dan Hanif selesai
sholat dzuhur di sekolah, Raga tidak bisa lagi menahan tanyanya. Ia peka
akan tingkah sahabatnya yang jauh lebih pendiam. Dengan sedikit
mendesak, akhirnya Raga berhasil membuat Hanif menceritakan kejadian
yang baru saja menimpanya. Rasa simpatinya semakin bertambah. Ia kira
Tuhan sudah cukup mengujinya selama ini, tapi ternyata beban sahabatnya
itu masih saja ditambah. Seakan-akan Hanif adalah makhluk super kuat
yang sanggup menjalani semuanya dengan baik.
“Gue seneng, Nya!
Satu-satunya temen cewek yang paling deket sama gue menyayangi orang
yang tepat.”
Denting piano tetap terdengar, sedangkan Kenya lebih
memikirkan kalimat Raga barusan.
“Gue juga seneng karena gue bisa
kenal Hanif. Apalagi kenal dari kecil. Gue jadi bisa tahu gimana
kehidupannya dia, dari yang baik-baik aja sampe ancur berantakan kayak
gini.” Oke! Sekarang kalimat-kalimat itu mulai menyita perhatian Kenya.
“Nya,
gue jarang banget bisa salut sama seseorang. Tapi segala kekurangan
yang Hanif punya, ternyata bikin gue salut sama dia. Biar dia
kelihatannya ringkih, rapuh, tapi jiwanya kuat, Nya. Dia rela kerja
sampe malem gini buat hidupnya, buat Ranas juga. Dia gak peduli sama
dosanya karena terus bertengkar sama Ibunya untuk bikin Ibunya sadar.”
“Kalau
gue jadi dia, mungkin gue lebih milih mati bunuh diri dari pada mati
pelan-pelan kerana pleuritis. Nyiksa banget, kan?” Raga terkekeh, tapi
Kenya tetap diam. Ia melihat Hanif di atas panggung sana. Laki-laki itu,
ternyata lebih tangguh dari yang ia pikirkan.
Kenya kembali pada
Raga saat suara bass cowok itu kembali terdengar. “Dan syukurnya Hanif
nggak bego kayak gue.” Raga mendorong kaca matanya yang sempat turun.
“He’s still alive dan gue yakin salah satu alasannya bertahan itu karena
sebuah nama di hatinya. Kenya.” Raga menarik ujung bibirnya membentuk
sebuah senyum. Ia tahu Kenya mulai kehilangan kepercayaannya, maka itu
ia datang untuk menguatkan kembali gadis itu.
“Hanif berjuang buat Ranas.”
Raga
menepuk pelan pundak sempit Kenya. “Ranas itu alasan mutlak. Dan Kenya
adalah alasan tambahan yang nggak bisa Hanif tinggalin.”
Kenya
dapat merasakan aliran positif Raga menular padanya. Ia tersenyum mantap
pada Raga. Setelah itu ia kembali pada Hanif yang kebetulan juga sedang
menatapnya.
“Kalau Hanif aja berjuang, kenapa lo nggak?”
Hati
Kenya semakin mantap. Dilihatnya lekat-lekat seorang Hanif di balik
grand piano itu. Malam ini, entah mengapa cahaya di Averas begitu
terang. Membuat kulit cokelat Hanif seperti bersinar. Pancaran lampu
sorot begitu tepat mengenai wajah tampan Hanif. Alisnya, matanya, hidung
serta bibirnya tampak begitu jelas di antara guratan wajahnya yang
mengesankan.
“Nya, ada hal yang perlu lo tahu.”
*
Setelah
selesai dengan pertunjukannya, Hanif langsung berjalan menuju meja di
samping kaca besar Averas. Riuh rendah tepuk tangan pengunjung seakan
menjadi pengiring langkah Hanif menuju gadis pujaannya itu.
“Hai,
Sob.” Sapa Raga meski Hanif belum benar-benar sampai di depan mereka.
“Gue sengaja dateng buat liat lo, tapi ternyata ada Kenya juga.”
“Thanks udah dateng, Ga.”
Hanif
menarik satu-satunya kursi yang masih kosong. Matanya tak lepas untuk
melihat bulatan indah yang bersemayam di balik kelopak mata Kenya.
“Makasih juga udah dateng, Nya.”
“Kenya, sih, emang hobinya liat
lo main piano, Nif!” Refleks Kenya menyenggol lengan Raga. Semburat
merah pasti sudah muncul di pipinya. Tapi, saat melihat senyuman Hanif,
malunya menguap dan berganti rona-rona kesenangan.
“Ranas sama siapa, Nif?” Salah satu aksi Raga mencairkan suasana.
“Sendiri. Dia udah biasa, kok, sendirian di rumah.”
“Lo udah besuk Ibu lo lagi?”
Hanif agak tersentak mendengar pertanyaan Raga. Ia menoleh pada Kenya yang justru menunduk.
“Kenya
udah tahu, Nif. Barusan gue ceritain. Nggak pa-pa, kan?” Keraguan mulai
terlihat dari Raga. Ia memang sudah menceritakan semuanya pada Kenya.
Ia pikir, Kenya harus tahu.
Hanif berpikir sejenak. Sebenarnya ia
juga sudah berniat untuk menceritakan hal itu pada Kenya, hanya saja ia
belum menemukan waktu yang tepat. Ingat! Hanif bukan tipe orang yang
suka menutupi keadaannya. Ia akan berbagi hanya dengan orang-orang yang
sudah bisa ia percayai. Karena hanya dengan begitulah ia bisa sedikit
meringankan bebannya. Sedangkan Raga dan Kenya adalah dua orang yang
sudah ia percayai.
“Nif,” Hanif tersadar saat suara lembut Kenya
terdengar. “Apa pun yang terjadi, tetap berjuang, ya? Jangan berhenti
sebelum kamu bener-bener lelah.” Hanif bisa merasakan tangan lembut
Kenya yang menyentuh lengannya. Kalimat gadis itu memang benar. Itu
memang pedoman hidupnya.
“Dan kalian, jangan capek berada di deket gue, ya?”
Dan
Averas seakan berubah hening untuk ketiga remaja itu. Tangan mereka
yang saling bersentuhan satu sama lain, seperti memiliki kekuatan
masing-masing. Saling menguatkan, saling memahami, bahkan saling memberi
cinta.
*
“Hanif,”
Mendengar suara itu, Hanif seperti
mendapatkan kembali kelembutan Ibunya. Hari ini terhitung dua minggu
Ibunya menjadi salah seorang penghuni rutan khusus wanita. Dan dalam
pancaran mata itu, ia seakan menemukan lagi sosok Ibunya yang sempat
hilang beberapa tahun belakangan ini.
“Ibu banyak salah sama kamu dan Ranas, maafin Ibu.” Hati Hanif bergetar melihat air mata mengalir di pipi Ibunya.
Ia
sangat bersyukur, ternyata ditinggal Ibunya masuk tahanan adalah
rencana terindah dari Tuhan. Hanif mencium punggung tangan Ibunya.
Hingga lama, sampai ia bisa kembali merasakan aroma kehangatan yang
sempat luput dari Ibunya.
“Hanif juga salah. Hanif minta maaf, Bu.”
“Nif,
bilangin maaf Ibu ke Ranas. Sampaikan kalu Ibu kangen dia.” Ibu
mengusap pelan pipi Hanif. Ia juga rindu saat-saat seperti ini. Sudah
lama sekali ia tidak melakukan hal ini. Kenapa dulu ia begitu dibodohkan
oleh sakit hati?
*
Langit gelap lengkap dengan garis-garis
petirnya sumpurna menjadi atap mengerikan untuk Jakarta sore ini.
Tetes-tetes berkah yang yang sering kali disesali kedatangannya itu
semakin gencar turun ke bumi. Seakan satu tetes yang turun memanggil
tetes-tetes lain untuk segera ikut turun sepertinya.
Hanif duduk
termangu di lantai depan pintu kelasnya. Matanya memandang tak peduli
pada hujan yang membayang di lensa matanya. Hari ini ia yang tertahan di
sekolah akibat hujan deras yang melanda. Tapi baiknya, hari ini Ranas
mengikuti sarannya beberapa waktu lalu untuk membawa payung lipat
sehingga ia tidak perlu terlalu khawatir. Motornya harus masuk bengkel,
ada sedikit masalah dengan remnya. Dan jadilah ia tidak bisa pulang.
“Hanif, belum pulang?”
Di
antara suara-suara hujan yang berkejaran, Hanif mendengar suara Kenya.
Ia memutar tubuhnya ke kanan dan sudah ada Kenya yang hendak duduk di
sampingnya.
“Hujan, motor lagi masuk bengkel dan aku nggak bawa payung.” Kenya terlihat membulatkan permukaan bibirnya. “Kamu?”
“Abis ekskul saman.” Gantian Hanif yang membulatkan bibirnya.
Meski
hujan identik dengan hawa dinginnya, tapi Kenya justru merasa begitu
hangat. Itu terjadi karena saat ini ia sedang duduk di sebelah Hanif.
Diam-diam Kenya tersenyum dalam hati, ia sangat suka waktunya saat ini.
Duduk berdua dengan Hanif ditemani hujan yang justru memperindah
suasana.
Saat tidak ada suara manusia yang terdengar, tiba-tiba
saja Kenya mengingat semua percakapannya dengan Raga. Semua
kalimat-kalimat cowok itu tiba-tiba saja terngiang dalam telinganya.
Bagaimana ia menceritakan sosok Hanif, bagaimana rasa salutnya, dan
bagaimana cara dia memberikan Kenya semangat untuk memperjuangkan
hatinya.
“Hanif, rasa sayang kusemakin banyak buat kamu.”
Tidak
dipungkiri lagi kalau Hanif benar-benar kaget mendengarnya. Kenapa
gadis ini selalu mengejutkannya? Hanif membatu, ia bingung harus
menjawab apa. Tapi, bohong jika ia bilang hatinya tidak senang mendengar
kalimat itu. Bohong kalau ia katakan ia tidak menyayangi gadis itu.
Bohong juga kalau ia tidak menginginkan gadis itu menjadi miliknya.
Lantas, kenapa hatinya begitu keras menolak itu semua? Tidak ada yang
sulit dalam menyatukan dua hati yang jelas-jelas saling menyayangi.
Tapi, bukan hal yang mudah pula untuk Hanif melupakan semua alasannya.
Kenya
menatap lembut wajah yang dikaguminya itu. Sorot matanya seakan memaksa
Hanif untuk balas menatapnya. “Apa yang salah dari ini semua, Hanif?”
Kenya tidak bisa lagi menahan perasaannya. “Harusnya ini mudah buat
kita.”
Hanif menutup matanya. Sesaknya kembali lagi. Dan untuk
kali ini saja, entah untuk alasan yang mana, ia tidak mau Kenya melihat
kesakitannya. “Kenya, jangan mulai.” Hanif mencoba menetralkan suaranya.
Ia merasa ada yang menyumbat saluran pernapasannya dengan sangat ketat.
“Apalagi alasan kamu, Hanif?”
Dengan
perasaan yang tak karuan, Hanif mencoba membuka suara. Matanya sudah
terbuka lagi sekarang.
“Ranas. Dia alasan aku.” Kenya menunduk. Ia sudah
menduga. “Aku belum siap ngebagi waktu aku sama dia dengan orang lain.
Aku seperti hidup dikawal dewa kematian, aku nggak pernah tahu kapan
waktu aku berakhir. Aku cuma mau Ranas nggak ngerasa kesepian setelah
aku pergi. Seenggaknya aku ninggalin banyak kenangan buat dia.” Sebisa
mungkin Hanif menyembunyikan sakitnya, ia tidak mau Kenya melihatnya.
“Tapi
aku juga mau kamu ninggalin kenangan buat aku.” Kenya menggigit
bibirnya, menahan agar giginya tidak gemeretakan akibat menahan tangis.
“Kenya,
orang tua kamu dosen-dosen hebat, mereka mau kamu jadi anak yang baik.
Jangan kamu lukain hati mereka dengan cara kayak gini. Mereka akan sedih
lihat anaknya menyayangi orang seperti aku.” Kenya menggeleng kasar.
Apa yang Hanif katakan itu sangat salah. Ia yakin orang tuanya tidak
sedangkal itu.
Hanif membawa tangan Kenya ke dalam genggamannya.
Ia tidak bisa melihat wajah gadis itu karena Kenya terus menunduk. “Aku
sayang kamu.” Hanif mengeja setiap suku katanya. Berharap Kenya bisa
menerima dengan tulus setiap maknanya.
“Semoga itu bisa jadi
kenangan buat kamu.” Hanif berbisik tepat di telinga Kenya. Ia tidak
tahu lagi bagaimana cara menahan laju air mata gadis itu. Sedangkan ia
sendiri sedang menahan nyeri yang seperti ditikam.
*
Hanif
berjalan terhuyung menuju tahanan. Hari ini terhitung dua bulan semenjak
kejadian mengenaskannya bersama Kenya di sekolah saat hujan deras itu.
Tapi yang ia herankan, Kenya tetap bersikap seakan apa yang mereka
bicarakan saat itu tak pernah terjadi. Gadis itu cenderung semakin
mendekatinya. Semakin menunjukan perasaannya. Membuat Hanif jadi semakin
bersalah dan tersiksa.
Sebelum ia benar-benar memasuki ruang
kunjungan, Hanif sempat mendudukan tubuhnya pada kursi yang disediakan
di pekarangan tahanan. Ia tidak kuat jika harus terus berjalan kalau
nyeri di dadanya semakin mengganas seperti ini. Ia meremas kuat jaket
Adidasnya, tapi sakitnya juga semakin kuat menyiksanya. Hanif menyebut
Tuhannya, hanya Beliau yang bisa membantu meredakan sakitnya. Bukan
obatnya. Apalagi cengkramannya.
Kalau diingat-ingat, dua bulan ini
sakitnya juga lebih sering mengunjunginya. Sedangkan ia harus mengirit
obatnya lantaran pendapatannya dari Averas harus ia alokasikan untuk
persiapan Ranas masuk SMA. Sakit itu juga semakin menyiksa, semakin
lihai melumpuhkannya.
Hanif menguatkan dirinya untuk kembali
melangkah atau kalau tidak jam besuk akan segera habis dan ia akan
kehilangan satu hari untuk mengunjungi Ibunya.
“Sakit kamu kambuh,
Nif?” Suara Ibu sarat akan kekhawatiran. Ia memegang pipi Hanif yang
begitu dingin. Peluh sebesar biji jangung tampak mengalir dari kening
Hanif.
“Tadi emang sempet kambuh, Bu, tapi sekarang udah gak
pa-pa.” Bohong. Dengan berat hati Hanif harus berbohong. Ia tidak bisa
membuat Ibunya khawatir kalau ia jujur sakitnya begitu hebat menyiksa.
“Obatnya
jangan lupa diminum.” Hanif menganggukan kepalanya. Ia mencoba mengurai
senyum yang begitu sulit dibuat karena bibirnya terasa kaku menahan
sakit.
“Semoga Ibu cepet keluar dari tahanan, ya. Hanif nggak mau
nanti Ranas sendirian, Bu.” Hanif mencium punggung tangan Ibunya. Ia
merasa tubuhnya begitu lelah.
“Kan, ada kamu, Nif. Ranas nggak akan sendirian selama ada kamu.” Ibu mengusap rambut hitam Hanif yang dipotong pendek.
Hanif
menatap lekat mata teduh Ibunya yang duduk bersebrangan dengannya. Ada
banyak hal yang ingin ia katakan. “Ibu janji, ya, sama Hanif, keluar
dari tahanan akan cari kerja yang lebih baik?” Tanpa ada jawaban Hanif
dapat melihat kesungguhan di wajah Ibunya untuk memenuhi janji itu.
Hanif melirik jam tangannya disela nyeri yang semakin anarkis. Jam besuknya sudah hampir habis. “Hanif pulang dulu, Bu.”
Ibu
mengangguk tanpa ada kerelaan. Raga putranya begitu dekat dengannya
saat ini, tapi kenapa jiwanya seakan begitu jauh baginya. Ia
memperhatikan wajah sayu Hanif. Di wajah itu, dalam mata itu, cahaya
seperti semakin meredup. Siap menggelap dalam waktu yang tidak
diinginkan.
Hanif sudah mengambil beberapa langkah meninggalkan
Ibunya yang masih terduduk. Ia tidak ingin berbalik untuk sekedar
memberikan salam pada Ibunya, ia tidak mau kesiapannnya hilang lagi saat
melihat kesenduan yang terpahat di wajah itu.
“Jaga diri kamu.
Bilang Ranas, dia harus jadi anak yang berani sampai Ibu kembali lagi.”
Hatinya bergetar. Kalimat itu pun meluncur tanpa kendalinya. Ibu
memandang sedih punggung Hanif yang semakin menjauh. Tidak berbalik,
seakan putranya itu tidak mendengar pesannya.
*
Dihentikannya
mesin motornya saat ia sudah berada di pekarangan rumahnya. Sebenarnya
jarak dari tahanan ke rumahnya tidak terlalu jauh, tapi nyeri di dadanya
memaksanya untuk melajukan motornya dengan kecepatan super pelan.
Sampai tak jarang ia diklakson oleh pengendara lain.
“Kak Hanif!” Baru selangkah ia memasuki rumahnya, suara polos Ranas sudah menyambutnya.
Bukannya
membalas atau menyebut salam, Hanif justru terpaku melihat siapa yang
duduk di salah satu sofa ruang tamunya. Buru-buru ia melepas
cengkramannya di dada.
“Hai, Nif!” Kenya berdiri. “Tadi kata Raga pulang sekolah kamu mau langsung besuk Ibu, makanya aku ke sini, mau nemenin Ranas.”
“Kak Hanif kenapa nggak bilang mau besuk Ibu? Ranas, kan, mau ikut.” Hanif beralih pada Adiknya, tapi ia masih bisu.
Kenya memperhatikan laki-laki yang jelas jauh lebih tinggi dari dirinya itu. Tampak ada yang berbeda. “Kamu kenapa?”
Ranas
yang juga menyadari ada yang tidak beres, memilih pergi ke dapur
mengambilkan segelas air mineral untuk Kakaknya. “Ranas ke dapur dulu.”
Tidak ada yang menyahuti.
Susah payah Hanif menggerakan kakinya yang terasa lemas agar ia bisa duduk.
“Kamu
keliatan payah, Nif.” Kenya segera ambil posisi di sebelah Hanif. Ia
menahan tangannya pada lengan laki-laki itu. Ia merasakan perbedaan.
Dulu, tangan itu begitu kekar, dibelit begitu banyak urat-urat semangat,
tapi sekarang tangan itu seperti kehilangan daging-dagingnya. Kulitnya
juga terlihat kusam pucat.
“Dari dulu aku memang payah.”
Hanif
lelah. Dan untuk pertama kalinya ia mau bersandar di pundak Kenya.
Matanya perih. Sesak itu membuat dirinya ingin menangis. Bahkan ia
hampir tidak bisa merasakan oksigen di sekitarnya
.
Kenya dapat
merasakan bagaimana sulitnya Hanif bernafas. Nafasnya berat dan
terengah. Cepat dan menyakitkan. Kenya belum pernah melihat Hanif
sepayah ini.
Kenya mengulurkan tangannya. Menyetuh rambut kasar
Hanif yang basah oleh keringat. Tanpa rasa jijik, ia mengelus rambut
itu. Pundaknya terasa basah dan tiba-tiba bulir air matanya ikut turun
juga.
“Jangan nangis, sayang.”
Hati Kenya yang bersembunyi
di balik tubuhnya terasa haru begitu Hanif memanggilnya “sayang”.
Telinganya sangat senang mendengarnya. Mulutnya ingin meminta Hanif
untuk selalu memanggilnya dengan sebutan seperti itu. Begitu manis dan
indah.
“Jangan pergi.” Kenya tak mengindahkan permintaan Hanif. Air matanya tetap mengalir.
Hanif
memejamkan matanya. Ia dapat merasakan kawanan virus, bakteri dan
teman-teman jahat mereka yang lain sedang menyerbu paru-parunya dengan
kekuatan yang tak bisa ia tandingi.
“Apa air mata ini belum cukup nahan kamu untuk jangan pergi?”
Hanif
meremas pahanya sendiri. Nyerinya benar-benar kurang ajar. “Dan apa
kesakitan ini belum cukup bikin kamu relain aku pergi?”
Kenya menunduk agar ia bisa melihat wajah Hanif yang saat ini dipenuhi kesakitan.
“Kalau gitu,” Kenya manarik nafas dalam. Kalau perlu ia berbagi nafas dengan Hanif. “Izinkan aku menangis sampai mati.”
Hanif
membuka matanya yang sempat terpejam. Ia bisa melihat wajah gadis
kesayangannya itu basah air mata. “Jangan! Aku mau kamu selalu mendoakan
ku.”
Kenya semakin merengkuh kepala Hanif. Tangan dan tubuhnya sama-sama bergetar hebat.
“Kenya,”
Suara Hanif mulai sulit terdengar. “Tolong bilang ke Ranas, dia harus
berani dan kuat. Sebentar lagi Ibu ku akan pulang, dia nggak perlu
takut.” Kenya mengangguk paham.
Kenya menahan tangan Hanif agar
tidak meremas pahanya lagi. Dan ia harus menahan sakit karena sekarang
Hanif justru meremas kuat tangannya. Kenya rela. Kalau Hanif tidak
mengizinkannya menangis sampai mati, biarkan ia mati akibat cengkraman
itu.
Ketika keadaan semakin mencekam, tamu kasat mata yang tak
diharapkan kedatangannya itu pun mulai menjalankan tugasnya. Hanif
merasa ada sesuatu yang masuk ke dalam tubuhnya, yang justru menambah
setiap sakitnya. Lambat-lambat, ia tidak bisa merasakan apa pun saat
sesuatu yang sangat penting dalam tubuhnya ditarik perlahan namun
menyakitkan. Matanya tidak bisa lagi melihat wajah Kenya yang basah
dengan air matanya. Telinganya hilang fungsi. Tangannya tak mampu lagi
mencengkram karena sakit itu pun semakin memudar. Ia merasa ringan,
seperti ada tangan yang mengajaknya melayang.
Kenya menangis tanpa
mengeluarkan suara. Ternyata menangis seperti ini rasanya lebih
menyakitkan. Tapi kehilangan orang yang disayanginya sungguh jauh lebih
menyesakan. Untuk terakhir kalinya, ia mencium rambut Hanif. Ia harus
mengingat benar-benar aroma tubuh itu karena ia tidak akan bisa
menghirupnya lagi setelah ini.
*
Ranas jatuh merosot di
balik dinding ruang tamu. Ia melihat dan mendengar semuanya. Jadi, tidak
ada alasan untuk tidak menangis sehebat ini. Sangat kuat ia menggenggam
gelas bening itu. Tak cukup memecahkannya, tapi cukup membuat tangannya
perih. Tidak pa-pa, tidak apa-apa perih seperti ini. Toh, ia juga
berharap akan segera mati rasa. Orang nomor satu yang paling ingin ia
bahagiakan di dunia ini adalah Kakaknya. Dan hari ini, harapannya hilang
seiring hilangnya jiwa itu.
TAMAT