Shilla
berusaha tidak mempedulikan segalanya, berusaha untuk melupakan segala
hal yang merasuki pikirannya, berusaha untuk pura-pura tidak mengerti
apa yang sedang terjadi. Shilla meraih laptop yang terletak di
sampingnya, dan jari jemarinya mulai lincah mencurahkan segala hal dan
perasaan yang menguasai hatinya.
Tuhan,
maafkan aku, aku tahu membohonginya adalah sebuah kesalahan besar, tapi
aku sungguh tidak sanggup bila harus melihatnya sakit, aku tidak mau
melihat ia sakit.
Dia
mencintai gadis itu, mungkin melebihi seluruh cintanya pada dirinya
sendiri. Sementara perasaannya untukku, hanya sebuah rasa biasa atas
nama persahabatan. Aku mengerti itu, aku terima itu, ada di sampingnya
adalah kebahagiaan tersendiri untukku. Aku tidak pernah menolak,
sekalipun ia mencariku hanya untuk mendengarkan ceritanya tentang gadis
itu. Aku selalu ikut tersenyum bahkan tertawa, karena bahagianya adalah
bahagiaku.
Aku
tidak ingin kehilangan senyumnya, aku tidak ingin kehilangan
semangatnya, aku ingin ia tetap seperti ini. Untuk itu, aku akan
melindunginya, aku akan menjaganya, aku tidak ingin hatinya terluka,
sedikitpun. Meskipun untuk itu aku harus melukai hatiku sendiri, aku
rela, aku ikhlas, asal dia terus menjadi seperti ia yang sekarang.
Bila
ada yang bertanya, apakah aku ingin memilikinya, aku akan dengan senang
hati menjawab iya, aku akan memberikan semuanya untuk dia, cintaku yang
paling tulus. Tapi bila tawanya bukan saat dia ada disampingku,
melainkan saat dia ada disampingnya, aku tetap akan tersenyum untuknya.
Sesungguhnya
aku tidak mengerti, mengapa Engkau membuat aku mencintainya, tapi
melarangku untuk memilikinya. Mengapa begitu sulit, jalan takdir yang
harus aku tempuh Tuhan ? aku tahu, tidak berhak untukku menuntut apapun
dari kisah ini, tapi aku berjanji, aku akan menjadi orang yang akan
selalu berjalan disampingnya, ikut merayakan kebahagiaannya, ikut
tertawa bersamanya, meski di balik itu semua aku harus menangis sendiri,
seperti malam ini.
Senyum
kesedihan terpeta dibibirnya, shilla sendiri tidak mengerti, mengapa
akhir-akhir ini perasaanya sukanya terhadap rio terus berkembang
memenuhi hatinya.
Sambil
sesekali menguap menahan ngantuknya, acha terus saja melakukan hobinya,
membaca novel sambil tidur-tiduran di atas kasur empuknya.
“KLAAP” tiba-tiba lampu kamarnya padam.
“MAMA
!! KAK ALVIN ! KAK RIO !” teriak acha panik. Dia memang sedikit phobia
sama yang namanya kegelapan. Acha tetap bertahan di atas kasurnya,
berharap seseorang datang ke kamarnya, matanya telah berkaca-kaca,
tangannya memeluk erat gulingnya.
“Krekk”
“Mama
? kak alvin ? kak rio ?” acha semakin merasa takut karena tidak ada
respon untuknya, padahal ia merasa yakin ada yang membuka pintu kamarnya
barusan. Acha yang ngerasa semakin parno kalo terus-terusan ada di
kamar, akhirnya mutusin turun dari kasurnya, sambil meraba-raba, ia
mencari senter yang terletak di atas meja belajarnya.
“Treek..”
cahaya senter lumayan membuat rasa takutnya akan kegelapan berkurang
sedikit. Tapi matanya tertumbu pada secarik kertasa berwarna pink, yang
entah terletak di samping senter tersebut.
Turun ke bawah dong, terus ke halaman belakang ya, gue tunggu ♥
Acha
mengernyit heran, dia tidak merasa kenal dengan tulisan ini. Ini
jelas-jelas bukan tulisan milik kedua kakaknya. Diliputi rasa penasaran,
acha pun memberanikan diri untuk mengikuti perintah tulisan tersebut.
Sambil
memegang senter di tangannya erat-erat, acha perlahan demi perlahan
turun ke lantai satu rumahnya. Entah perasaannya saja atau bukan, yang
jelas acha merasa suasana rumahnya sangat sepi. Acha langsung nyenter
kemana-mana, sesampainya dia di halaman belakang.
“Ditutup dulu ya” seseorang yang ada di belakangnya, menutup matanya dengan sebuah kain.
“Kak
via ?” tebak acha. Tapi lagi-lagi tidak ada respon untuknya, yang ada
orang tersebut malah menggandeng tangannya, membimbing dirinya untuk
berjalan entah kemana.
“Kak cakka..”
Acha
speechless melihat cakka yang malam itu terlihat lebih tampan daripada
biasanya, berdiri dengan senyum penuh pesona di depannya, sementara acha
sendiri hanya menggunakan baju tidur bermotif hello kitty dan rambut
yang acak-acakan. Dan yang membuatnya semakin tidak berkutik adalah,
pemandangan yang ia lihat di kolam renang rumahnya, berpuluh-puluh lilin
dengan hiasan mawar putih bunga kesukaan acha, mengapung membentuk
namanya dan tanda love.
“Malem
ini di antara ribuan bintang di langit dan cahaya bulan, gue pengen
bilang ke elo, kalo gue sayang banget sama elo, dan berharap elo mau
untuk jadi cewek gue, malem ini, besok dan seterusnya..” cakka berlutut
di depan acha sambil menyodorkan sebuket mawar putih untuk acha.
“Kalo
lo terima gue, lempar buket ini ke arah tanda love itu, tapi kalo lo
nolak gue, lempar buket bunga ini kemana aja..” acha menerima buket
bunga itu dari tangan cakka, dia berdiri di samping kolam renang,
bersiap melempar buket bunga tersebut. Cakka yang menanti dengan cemas
di sampingnya, berusaha terus tersenyum.
“BLUPP”
dengan penuh keyakinan acha melempar buket bunga itu, tepat ke dalam
tanda love tersebut. Cakka langung tersenyum sumringah dan memeluk acha.
“Ehem..ehem..”
“Ciee acha..”
“Eh,
udahan woi pelukannya” rio, via sama alvin langsung muncul dari dalam
rumah. Alvin langsung berjalan ke arah acha dan cakka, lalu memisahkan
mereka berdua.
“Ya elah vin, baru bentar gue pelukannya..” ratap cakka.
“Kapan-kapan
lagi aja cak, udah cukup itu sih..” timpal alvin. Cakka manyunin
bibirnya, yang membuat alvin, acha, via dan rio ketawa.
“Jelek amat muka lo cak, jaga image dikit kenapa di depan adek gue” celetuk rio.
“Udah-udah, ayo makan dulu..” ujar via.
“Makan ?” tanya acha yang masih merasa ini semua mimpi.
“Iya acha, udah ayo..” mereka berlima makan dengan makanan yang udah di delivery khusus sama cakka ke rumah alvin.
“Jadi mati lampu tadi juga bagian dari rencana ?” tanya acha di sela-sela acara makan mereka.
“Iya dong cha..” jawab cakka.
“Tapi aku enggak banget deh, masa kak cakka rapi gitu, akunya pake baju tidur gini, berantakan lagi..”
“Buat aku kamu mau kaya apa juga tetep cantik kok” ucap cakka sambil mengacak-acak rambut acha.
“Gombal terus” celetuk alvin.
“Dari tadi ganggu mulu lo vin” rungut cakka.
“Suka-suka gue, masih mending gue restuin..”
“Iya-iya.
Cha, tadinya aku tuh mau ngajak kamu dinner, tapi enggak dapet ijin
dari alvin, dia juga yang malah nyuruh aku buat nembak kamu di rumah
aja..”
“Terima nasiblah cak, udah bagus gue sama alvin ngasih lo ijin” timpal rio.
“Udah-udah,
kapan mau makannya ini, kalo dari tadi ngobrol terus ?” sela via.
Posisi duduk mereka bersebelah-sebelahan, cakka di sebelah acha, dan di
depan mereka, via duduk diantara rio dan alvin.
Sejujurnya
via sedikit risih dengan posisinya ini, apalagi kebiasaan rio yang suka
menggenggam erat tangannya saat mereka berdua. Matanya mencuri pandang
ke alvin, yang seperti biasa selalu terlihat sibuk dengan makanannya.
“Tinggal elo nih vin yang jomblo..” celetuk rio tiba-tiba.
“So ?”
“Cari ceweklah, enggak pengen apa ?”
“Haha, cewek mana yang tahan sama gue..”
“Adalah, masa enggak ada..”
“Kalopun
ada, mungkin gue enggak tercipta buat dia, gue enggak cukup pantes buat
cewek baik-baik..” via menelan makananya dengan susah payah, ia
berusaha terlihat biasa saja. Acha dan cakka juga melakukan hal yang
sama, meski mata mereka bergantian, melihat ke arah alvin dan via.
“Eh,
kak cakka itu tadi yang di kolam renang bagus banget deh, mana ada
hiasan mawar putihnya gitu lagi” ujar acha mencoba mengalihkan
pembicaraan.
“Ehem..” alvin berdeham.
“Hehe, itu bukan ide aku cha, itu idenya alvin, aku aja heran kok bisa ya dia punya ide sejenius itu”
“Najis lo cak, udah gue bantu juga..”
“Haha, sori sob. Yang lebih hebat lagi ya cha, alvin tuh tahu tempat mesen bunga kaya gitu”
“Hah
?” acha menatap alvin bingung, bagaimana mungkin seorang alvin tahu
tempat seperti itu, tidak hanya acha, via pun melakukan hal yang sama ke
alvin.
“Alvin
nganterin aku pesen bunga, eh mbak-mbaknya ngomong gini ‘eh, mas
ganteng pesen bunga lagi, waktu itu berhasil kan acaranya ?’ kira-kira
gitulah” terang cakka mengutip perkataan tukang bunganya.
“Kak
alvin pesen bunga buat apa ?” tanya acha langsung. Via yang daritadi
ikut mendengarkan, entah mengapa merasa ada yang aneh di hatinya. ‘alvin
mesen bunga buat apa ? buat siapa ?’ batin via.
“Itu
sih mbak-mbaknya aja yang asal ngomong, gue rasa dia salah orang kali,
gue mau mesen bunga buat apa coba. Eh, gue duluan ke atas ya, mau nonton
bola sob...” alvin langsung ngacir ke atas meski makanan di piringnya
belum bener-bener abis.
“Tumben kak alvin makannya enggak abis”
“Biarin cha, dia sih enggak makan juga betah kalo udah nonton bola” timpal rio.
Mereka
berempat pun melanjutkan acara makan malam itu tanpa alvin. Walau
merasa lega dengan jawaban alvin, tapi via tetap merasa ada sesuatu yang
mengganjal di hatinya.
***
Rio
dan iel berjalan berdua di lorong sekolah mereka, terlibat obrolan
seru, iel dengan penuh semangat menceritakan tentang aren, dan rio
tentang via tentunya. Di pertemuan antar lorong, mereka bertemu shilla
yang sedang membawa setumpuk buku di tangannya.
“Buset dah shil, repot banget kayanya, sini gue bantu” rio langsung mengambil setengah dari buku yang shilla pegang.
“Eh, makasih yo, maaf ngerepotin”
“Santai kali, mau dibawa kemana nih ?”
“Ini buku-buku yang tadi di pake kelas, gue disuruh balikin ke perpus” jawab shilla sambil tersenyum.
“Sendiri doang ? emang enggak ada orang lain apa di kelas lo ?” timpal iel.
“Hehe, enggak apa-apa kali yel. Lo berdua mau kemana ?”
“Tadinya
sih mau ke lapangan basket tapi sekarang kayanya rio mau nganterin lo
dulu nih ke perpus” goda iel sambil mengedipkan sebelah matanya.
“Ngapain mata lo kedip-kedip ?’ tanya rio bingung.
“Hahaha, kok gue ngerasa, lo lebih cocok sama shilla ya yo ?”
“Ngaco
lo !” semprot rio. Shilla hanya terkekeh, meski setengah hatinya senang
dan sisanya sedih. Senang karena kata-kata iel sekaligus sedih karena
kenyataan yang ada.
“Eits,
santai bro. Lo sama via cocok, tapi lihat deh, elo berdua itu tipenya
sama, lagian akhir-akhir ini gue suka lihat elo berdua bareng-bareng
terus deh”
“Iel
apaan sih ? gue sama rio kan deket karena tugas kita di osis, lagian
enggak enak sama via kalo lo bilang kaya gini” komen shilla sewajar
mungkin.
“Setuju
gue shil, udahlah, diemin aja dia, enggak usah di dengerin” ujar rio
sambil tersenyum ke arah shilla. Shilla membalas senyum itu, menatap
mata teduh itu sekilas.
“Udah yo, sampai sini aja, kan lo mau main basket sama iel” tawar shilla saat mereka melintasi lapangan basket.
“Nanggung
ah shil, masa gue bantuin lo setengah-setengah sih, enggak banget. Yel,
lo tunggu aja disini, entar gue langsung balik deh kesini” terang rio
ke iel.
“Hmm,
iya deh, tahu gue yang mau berduaan sama shilla...haha..” goda iel
sambil lari ke arah lapangan. Rio sama shilla cuma bisa kompak
geleng-geleng kepala ngelihat kelakuan iel.
“Ada-ada aja deh si iel”
“Tapi emang gue cocok ko shil sama lo....” shilla menghentikan langkahnya, menatap rio dengan pandangan penuh tanya.
“Cocok kerja bareng sama lo, diskusi sama lo, ngobrol sama lo, curhat sama lo” lanjut rio sambil tersenyum ke shilla.
“Iya”
ujar shilla sambil melanjutkan lagi langkahnya. Tanpa rio ketahui,
shilla diam-diam terus memandangi rio, memperhatikan setiap lekuk di
wajah rio, setiap senyum yang terpulas di bibirnya, mendengarkan dengar
cermat tentang celotehan rio, semuanya, semuanya yang bisa membuat
shilla tambah mengagumi sekaligus jatuh hati terhadap rio.
Sesampainya
mereka di perpustakaan, shilla dan rio sama-sama mengatur buku, di
tempat yang semestinya, dan shilla sangat menikmati saat-saat seperti
ini, saat dimana ia dan rio saling berdekatan dan tertawa berdua.
“Bruk”
shilla tersungkur jatuh, setelah kakinya tidak sengaja menabrak kaki
meja. Rio langsung meletakkan buku yang ada di tangannya, dan berlutut
di depan shilla.
“Shil, mana yang sakit ?”
“Enggak kok, enggak apa-apa..” lirih shilla.
“Beneran
? sini duduk dulu” rio mengulurkan tangannya, dan kemudian melingkarkan
tangan shilla ke pudaknya, memapahnya duduk di kursi, lalu mengambilkan
shilla segelas air.
“Makasih yo, maaf ngerepotin..”
“Enggak
apa-apa kali shil, di minum dulu gih” tangan rio dan tangan shilla
sama-sama memegang gelas di waktu yang sama. Membuat mereka terdiam
sejenak, saling menatap satu sama lain. Shilla masih menemukan keteduhan
di mata rio, dan entah mengapa rio merasa menemukan ada kenyamanan di
mata shilla.
“Yo..” shilla yang pertama bisa menguasai dirinya.
“Eh..maaf-maaf..” ujar rio sambil menarik tangannya, shilla hanya tersenyum kecil.
“Shil,
gue..ehm..ke lapangan basket ya..bye..” rio langsung pergi gitu aja.
Shilla merasa aneh dengan tingkah rio, sebuah dugaan langsung terbersit
di otaknya, tapi buru-buru ia tepis dugaan tersebut, dugaan bahwa rio
terlihat salting dengan kejadian barusan.
Shilla
mengambil laptop di lokernya, tujuan awalnya adalaah ia ingin pergi ke
halaman sekolah yang sepi dan penuh inspirasi. Tapi kakinya berhenti di
depan lapangan basket, ketika ia melihat rio masih saja tetap bermain
basket. Shilla memutuskan untuk duduk di bangku penonton, ia merasa
inspirasi itu akan mengalir lebih kencang disini.
Ketika
ia berlari, ketika peluh membanjiri pelipisnya, ketika semangat gigih
tergambar jelas di matanya, maka saat itu, percaya atau tidak, tapi
auranya akan keluar semakin jelas.
Tidak
ada pemandangan yang lebih indah daripada wajahnya. Mungkin aku terlalu
melebihkan ini, tapi memang seperti itulah kenyataannya. Lihatlah, ia
sedang berlari sekarang, tangannya lincah mengolah bola, langkah
kaikinya terdengar mantap tanpa keragu-raguan.
Dan
lihatlah, akulah yang ada disini, sendiri menemaninya, hanya aku yang
memberi senyum penyemangat untuknya. Ah, bukan ! bukan aku ingin
membanggakan diriku, dan menjatuhkan kekasihnya, aku hanya ingin sekedar
menghibur perasaanku sendiri. Aku hanya ingin membuktikan pada diriku
sendiri, bahwa aku bisa, aku bisa ikut tertawa dan bahagia bersamanya,
meski hatinya telah termiliki dan bukan olehku.
“Sejak kapan lo disini shil ?”
“Sejak
setengah jam yang lalu” shilla tersenyum sekilas, kemudian ia mematikan
laptopnya, setelah terlebih dulu menyimpan filenya.
.“Haha, kok gue bisa enggak nyadar ya ? nulis lagi shil ?” rio duduk di samping shilla sambil mengipas-ngipaskan badannya.
“Keasikan sih lo mainnya, yang lain pada kemana ? kok jadi tinggal sendiri ? iya nih, iseng..hehe”
“Tadi anak-anak udah pada selesai mainnya, tapi gue masih pengen main aja, jarang-jarang kan gue bisa main”
“Udah enggak kepikiran buat berhenti jadi kapten kan ?”
“Haha, enggak sih, bentar lagi kaa ada turnamen, gue pengen ikut turnamen itu dulu, setelah itu, baru gue pikir-pikir lagi”
“Semoga pikiran lo enggak berubah ya..”
“Hahaha..eh, gue mau baca dong tulisan lo ?” rio mencoba meraih laptop shilla, tapi tangannya di halangi oleh shilla.
“Jangan ah..”
“Kenapa ?”
“Jelek ceritanya”
“Emang tentang apa ?” tanya rio masih maksa. Shilla menatap rio sekilas.
“Ceritanya
tentang, seorang cewek yang sangat menggumi temannya, padahal temannya
itu udah punya pacar, tapi cewek ini tetep enggak mau nyerah, dia bahkan
udah janji sama dirinya, untuk siap terluka untuk cowok tersebut, untuk
ikut tersenyum saat cowok itu bahagia..” jelas shilla tanpa memandang
rio.
“Tragis banget tuh cewek..hehe..emang ada orang yang benar-benar kaya gitu di dunia ini ?”
“Banyak kali yo”
“Oh
ya ? kalo gitu gue salut sama orang yang bisa kaya gitu, karena kalo
gue ada posisi, dimana gue harus pura-pura bahagia karena ngelihat cewek
yang gue sayang bahagia sama cowok lain, gue enggak akan sanggup deh”
“Jadi lo akan terus mempertahankan seseorang di samping lo meski dia enggak bahagia sama lo ?”
“Iyalah,
karena kalo gue udah sayang sama orang, gue enggak akan bisa hidup
tanpa dia di samping gue” shilla hanya tersenyum mendengar jawaban rio.
Dengan
ipod terpasang di telinganya, alvin berjalan cuek keluar dari kelasnya,
padahal jam pelajaran terakhir baru akan berbunyi lima menit lagi, tapi
dia tidak peduli akan gurunya dan gurunya pun berusaha tidak
menghiraukan alvin. Sambil mengunyah permen karet dan membuat balon,
alvin senderan di tembok di depan kelas via.
“Alvin
?” via langsung menghampiri alvin, alvin hanya tersenyum, lalu langsung
berjalan meninggalkan via. Via yang mengerti maksud alvin pun mengikuti
alvin.
“Makasih udah di tungguin” ujar via.
“Hmm..”
“Via !” langkah alvin dan via sama-sama terhenti, mereka berdua menoleh ke arah sumber suara.
“Pulang bareng aku kan vi ?” tanya rio sambil meraih tangan via. Alvin melihat itu dengan pandangan yang susah di artikan.
“Eh yo..aku..ehm..”
“Vi,
yo gue balik duluan ya, bye” alvin langsung berbalik dan berjalan
menjauh. Via menatap punggung alvin, lalu pandangannya ia alihkan ke
arah rio yang sedang menatapnya penuh harap dengan senyum manis
tentunya.
Tanpa
mau menoleh, alvin terus berjalan ke arah parkiran. Ia sendiri, tahu
pasti, tidak berhak dirinya untuk merasa marah dengan keadaan, karena
memang posisinya yang tidak tepat. Tapi tetap saja, api cemburu itu,
berkorbar hebat di hatinya.
“Kok jalannya cepet banget sih, ninggalin gue, niat enggak sih mau pulang bareng gue ?” alvin membuka kaca helmnya.
“Lo ngapain disini ?”
“Ya mau balik bareng lo lah, gimana sih” via langsung aja naik di boncengan motor alvin.
“Rio ?”
“Gue bilang ke dia mau nemenin temen gue pergi”
“Kok bohong sih ?”
“Abis
gue pengennya pulang sama lo, udah ayo jalan, entar keliatan rio lagi”
via mengeratkan pegangannya ke perut alvin. Dan alvin mulai menjalankan
motornya, dia tersenyum sekilas. Sisi egonya sedang muncul dan menguasai
dirinya sekarang. Untuk pertama kalinya, ia merasa, ia menang atas diri
rio.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar