Semua yang ada disana menoleh ke arah pintu masuk. Bahkan ada beberapa yang berdiri untuk melihat siapa yang datang.
“Alvin” ucap rio pelan hampir tidak terdengar.
Alvin
hanya tersenyum kecil. Di tangan kirinya terjepit kruk yang menopang
badannya. Kondisinya jelas masih terlihat payah. Sambil tertatih-tatih
dan di bantu oleh via yang berdiri di sampingnya, alvin berjalan menuju
panggung. Rio yang baru tersadar dari lamunananya langsung turun untuk
membantu alvin.
“Enggak
usah yo, gue bisa sendiri..” tolak alvin sambil terus berusaha jalan ke
atas panggung. Rio melirik ke arah via, berusaha mencari penjelasan
tapi via hanya menggeleng.
“Pasti
semua bingung, apa hubungan lukisan ini sama turnamen kali ini, untuk
itu saya punya penjelasannya..” ujar alvin lirih sambil berdiri di
samping lukisannya.
Bagai
sedang ada di dalam pengaruh hipnotis, semua yang ada di ruangan itu
menatap lurus ke arah alvin dan lukisannya. Sesungguhnya lukisan itu
sangat sederhana, di dalam lukisan itu, tergambar punggung seorang anak
laki-laki kecil yang sedang bergandengan dengan papanya. Latarnya tampak
seperti sebuah taman kota, mereka terlihat berjalan ke arah matahari
yang hampir terbenam. Tidak begitu istimewa tapi ada sebuah daya tarik
yang mampu membuat orang untuk tidak berpaling dari lukisan tersebut.
“Lukisan
ini menceritakan tentang hubungan seorang ayah dan anaknya, hubungan
yang begitu dekat, hubungan yang begitu bersahabat, hubungan yang begitu
privat, seperti layaknya seorang ayah dan anak pada umumnya. Energi
itulah yang menghubungkan lukisan ini dengan turnamen kali ini..” alvin
jeda sebentar, rasa sakit di kepalanya berdenyut hebat.
“Ibu
memang elemen paling utama dalam kehiudpan kita, tapi bukan berarti
juga kita harus melupakan sosok ayah, tanpa dia yang berkerja keras
siang malam, tidak mungkin untuk kita bisa merasa hidup nyaman dan
tenang. Ayah selalu di gambarkan sebagai sosok yang keras, galak,
cenderung otoriter bahkan kadang kasar..” alvin menatap mata papanya
yang sedang menatap matanya, dan ia hanya tersenyum.
“Tapi
di balik semua itu, dialah yang selalu berusaha keras memikirkan segala
yang terbaik untuk anaknya untuk keluarganya. Seperti halnya turnamen
ini, kita semua saling berteman bersahabat satu sama lain, layaknya
seorang ayah dan anak, tapi ada kalanya, kita harus saling memeras otak
memikirkan bagaimana caranya untuk menang tanpa harus merubah pertemanan
kita menjadi permusuhan, seperti seorang ayah, yang selalu keras pada
anak-anaknya tanpa harus merubah posisinya dari seorang ayah menjadi
seorang musuh untuk anak-anaknya..”
“Lukisan
ini saya persembahkan untuk...pa..pa..” papanya alvin yang dari tadi
diam menyimak, tidak mampu menyembunyikan raut wajah sedihnya lagi.
Kata-kata alvin, seorang anak yang selama belasan tahun selalu ia cela,
yang selama belasan tahun selalu ia hadiahi pukulan dan tamparan, yang
selama belasan tahun selalu tidak pernah ia anggap, kini berdiri di atas
panggung, berbicara seolah hubungan mereka begitu akrab.
Rio dan via yang menyaksikan dari sisi panggung, juga ikut terbawa suasana. Butiran hangat malah telah membasahi pipi via.
“Rio,
bisa bawa gitar lo ?” permintaan alvin tentu saja membuat rio bingung,
tapi iel yang entah datang dari mana, menyodorkan sebuah gitar ke
arahnya, tanpa pikir panjang rio langsung naik ke atas panggung.
“Mau
ngapain vin ?” alvin membisiki rencanya, rio tampak mengernyit, tapi ia
mengerti. Alvin menganggukan kepalanya, dan rio mulai memetik senar
gitarnya.
Hey dad look at me
Think back and talk to me
Did I grow up according to plan?
Do you think I'm wasting my time doing things I wanna do?
but it hurts when you disapprove all along
Think back and talk to me
Did I grow up according to plan?
Do you think I'm wasting my time doing things I wanna do?
but it hurts when you disapprove all along
Rio menoleh ke arah alvin, dia baru tahu saudaranya itu ternyata memiliki suara yang enak di dengar. Apalagi isi lagu yang ia bawakan memang curahan hatinya.
And now I try hard to make it
I just want to make you proud
I'm never gonna be good enough for you
I can't pretend that I'm alright
And you can't change me
Cuz we lost it all
Nothing lasts forever
I'm sorry
I can't be perfect
Now it's just too late and
We can't go back
I'm sorry
I can't be perfect
Alvin diam sebentar, hal itu tentu saja membuat rio bingung, dia menoleh lagi ke alvin dan sadar bahwa muka alvin begitu pucat.
“Lo baik-baik aja kan ?”
“Lanjut yo..” ujar alvin lirih sambil tersenyum dan melanjutkan nyanyiannya.
I try not to think
About the pain I feel inside
Did you know you used to be my hero?
All the days you spend with me
Now seem so far away
And it feels like you don't care anymore
And now I try hard to make it
I just want to make you, proud
I'm never gonna be good enough for you
I can't stand another fight
And nothing's alright
Cuz we lost it all
Nothing lasts forever
I'm sorry
I can't be perfect
Now it's just too late and
We can't go back
I'm sorry
I can't be perfect
Nothing's gonna change the things that you said
Nothing's gonna make this right again
Please don't turn your back
I can't believe it's hard
Just to talk to you
But you don't understand
I try not to think
About the pain I feel inside
Did you know you used to be my hero?
All the days you spend with me
Now seem so far away
And it feels like you don't care anymore
And now I try hard to make it
I just want to make you, proud
I'm never gonna be good enough for you
I can't stand another fight
And nothing's alright
Cuz we lost it all
Nothing lasts forever
I'm sorry
I can't be perfect
Now it's just too late and
We can't go back
I'm sorry
I can't be perfect
Nothing's gonna change the things that you said
Nothing's gonna make this right again
Please don't turn your back
I can't believe it's hard
Just to talk to you
But you don't understand
Papa mereka terus melihat ke arah mereka berdua. Suara alvin terasa seperti mengiris batinnya perlahan-lahan.
Cuz we lost it all
Nothing lasts forever
I'm sorry
I can't be perfect
Now it's just too late and
We can't go back
I'm sorry
I can't be perfect
Cuz we lost it all
Nothing lasts forever
I'm sorry
I can't be perfect
Now it's just too late and
We can't go back
I'm sorry
I can't be perfect
“Bruukk”
“Alvin
!” teriak rio dan via bersamaan. Via dan iel langsung naik ke atas
panggung, mendekati rio yang sedang bersimpuh di sisi alvin.
“Bawa alvin ke rumah sakit !” via, rio dan iel kompak menoleh.
“Papa..”
“Ayo
rio kita bawa alvin ke rumah sakit !” perintah papanya sekali lagi. Di
bantu oleh rio, iel dan beberapa anak lain, alvin pun langsung di bawa
ke rumah sakit.
Sementara
itu cakka yang saat itu masih ada di dalam kelas, merasa risih dengan
hpnya yang terus-terusan bergetar di saku celananya. Akhirnya cakka pun
memutuskan untuk ijin kepada gurunya.
“Halo cha..”
“Kak
cakka lama amat sih baru diangkat ? udah aku telponin dari tadi juga,
kakak tahu enggak keadaan kak alvin sekarang gimana ?” acha langsung
memberondong pertanyaan.
“Cha, satu-satu ngomongnya. Aku kan lagi ada kelas. Emang alvin kenapa ?”
“Emang kak cakka enggak tahu ?”
“Enggak..”
“Kak alvin tuh tadi ke sekolah, tapi terus dia pingsan, sekarang di bawa lagi ke rumah sakit, aku pikir kakak ikut..”
“Kamu serius cha ?”
“Iya kak kan ak..”
“Ya
udah cha aku mau cek dulu ya, entar kalo aku udah tahu, aku telpon
kamu” potong cakka cepat sambil langsung mematikan teleponnya. Cakka
langsung berlari ke arah ruang osis, dia pengen tahu apa yang terjadi.
“Tadi emang alvin kesini ? dia ngapain ?” tanya cakka ke siapapun yang mau jawab.
“Iya
tadi dia kesini terus...” seorang anak perempuan mulai menjelaskan
semua yang terjadi ke cakka. Cakka cuma ngangguk-ngangguk serius
mendengarkan. Setelah mendengar penjelasan tersebut, cakka langsung
berniat untuk nyusulin alvin ke rumah sakit, tapi dia penasaran sama
lukisan alvin yang di ceritain anak tadi.
“Wow..”
gumam cakka saat melihat lukisan di depan matanya itu, gumam kekaguman
yang nyata. Tiba-tiba otaknya berkerja, sebuah rencana langsung
tergambar jelas di pikirannya. Tanpa basa-basi lagi, cakka langsung
berlari.
“Harus hari ini vin, orang bakal tahu hari ini” ujar cakka sambil terus berlari.
Seperti
sebuah setrika, papanya alvin terus mondar-mandir di depan pintu kamar
alvin. Dokter sedang memeriksa alvin di dalam. Raut panik juga tampak di
wajah via, untuk itu rio terus menggenggam tangan via yang terasa
dingin dan gemetar.
“Ini salah gue yo, harusnya gue enggak bantuin dia buat pergi ke sekolah” sesal via.
“Enggak
vi, enggak ada yang salah..” sangkal rio. Hatinya sendiri terasa tidak
karuan, selain masih ada rasa bersalah yang begitu besar bersarang
disana, rasa kekhawatiran yang teramat sangat juga menguasai rio.
“Gimana
dok keadaan alvin ?” tanya papanya cepat begitu dokter keluar dari
kamar alvin. Rio dan via yang ada di situ juga langsung mendekat ke arah
dokter.
“Kondisinya
belum stabil, dia terlalu memaksakan, padahal fisiknya masih sangat
lemah, biarkan dia beristirahat dulu..” papanya langsung mengusap
wajahnya dengan kedua tangannya, mengucap syukur dalam hati.
“Vi kamu balik ya, aku anterin..” via menggeleng menolak tawaran rio.
“Ayolah vi, lihat deh kamu belum ganti baju dari semalem. Lagian alvin belum bisa di jenguk” bujuk rio lagi.
“Udah
nak via, bener kata rio, mending kamu pulang dulu” papanya alvin-rio
ikut membujuk via. Sesungguhnya via masih ingin tetap disini meski ia
tahu belum bisa melihat alvin, tapi rio mungkin benar, ada baiknya ia
beristirahat dulu di rumah sebentar.
“Aku naik taksi aja yo..”
“Kamu
mau aku di gorok alvin kalo dia udah sadar dan tahu aku ngebiarin kamu
naik taksi, udah ayo..” rio langsung menarik tangan via. Via hanya
pasrah di tarik. Sepanjang perjalanan di mobil, mereka berdua hanya
saling berdiam diri, sibuk dengan pikiran masing-masing.
Memantapkan langkahnya, cakka langsung menghampiri papanya alvin yang nampak sedang duduk seorang diri di depan kamar alvin.
“Kok di luar om ?” tanya cakka basa-basi sambil duduk di samping papanya alvin.
“Alvin masih istirahat di dalam, belum boleh di ganggu”
“Om masih inget saya kan ? saya yang semalem..”
“Pacarnya acha kan ?” cakka cuma nyengir mendengar tebakan papanya alvin yang tepat.
“Ternyata om perhatian juga”
“Kecuali
sama alvin” cakka menoleh, dia hanya bisa tersenyum. Kemudian ia
teringat benda yang ia bawa dan memang ingin ia tunjukkan ke papanya
alvin.
“Ini
om..” meski bingung, papanya alvin tetap menerima sketch book yang
cakka sodorkan. Perlahan ia membuka sketch book itu, halaman demi
halaman, kadang ia meraba gambar yang alvin bikin, ada bermacam-macam
objek disana, mulai dari hanya sebuah kotak, bola, hingga gambar
pemandangan yang indah.
Tangannya
berhenti di sebuah halaman. Batinnya terenyuh melihat gambar itu.
Nalurinya terasa tercabik. Gambar itu menunjukkan, alvin kecil yang
sedang duduk di apit oleh kedua orang tuanya. Sesuatu yang tidak pernah
sekalipun terjadi di kehidupan nyata. Lalu halaman berikutnya, lagi-lagi
mengoyak batinnya, sebuah sketsa yang sedang menggambarkan mereka
berdua, alvin dan papanya nampak sedang bermain bola bersama. Dan di
halaman terakhir, sebuah gambar yang sangat sederhana cenderung aneh
malah, hanya gambar sebuah telapak tangan yang terbuka lebar, tapi di
bawah gambar itu ada tulisan tangan alvin.
Satu-satunya fakta yang gue tahu tentang papa...
Sebutir
air mata menetes menjatuhi gambar tersebut. Ya, memang hanya
tangannyalah yang selalu ia berikan untuk alvin, atau lebih tepatnya,
hanya tamparannyalah yang selalu menyentuh alvin.
“Maaf om..” ujar cakka kikuk, dia merasa tidak enak melihat papanya alvin menangis.
“Dia pintar menggambar seperti mamanya”
“Ada
banyak sketch book yang dia punya, dimana ada dia, pasti ada sketch
booknya, di loker sekolah, di tas ranselnya, dan pasti di kamarnya. Ini
cuma salah satu yang tertinggal di loker sekolah om..”
“Kenapa dia enggak pernah bilang tentang ini”
“Saya
juga tahunya enggak sengaja, dia selalu ngerahasiain ini, entah untuk
apa. Saya nunjukkin ini ke om, bukan untuk apa-apa saya cuma mau
nunjukkin kalo om enggak cuma punya satu anak laki-laki berbakat, tapi
om punya dua anak laki-laki berbakat..” jelas cakka.
“Om tahu, semoga alvin masih mau ngasih kesempatan kedua buat om..”
“Pasti mau, saya rasa dia juga udah mulai kangen sama sosok om, dia udah lama kehilangan figur papa di hidupnya dia..”
“Semoga..”
kata papanya alvin sambil tersenyum. Kemudian ia melihat sketch book
yang ada di tangannya, semua yang ada disitu, serasa benar-benar menusuk
perasaannya. Impian-impian alvin yang sederhana, hanya tentang
kebersamaan di antara mereka berdua yang terbuang begitu saja, bahkan
tidak dapat ia wujudkan.
***
Hanya
tinggal rio dan papanya saja yang menunggui alvin. Kondisi alvin sudah
mulai stabil, tapi ia belum juga sadar dari komanya. Rio sudah berhasil
untuk membujuk via agar istirahat dulu seharian ini, biarkan ia dan
papanya yang menunggui alvin. Mereka berdua sama-sama duduk di samping
tempat tidur alvin.
“Pa..pa..” panggil alvin lirih.
“Iya vin, ini papa, rio kamu panggil dokter sana..” rio langsung bergegas keluar kamar.
“Papa..” panggil alvin lagi kali ini sambil berusaha tersenyum, alvin tampak senang, melihat papanya ada di sampingnya sekarang.
Sorot
kebahagiaan bercampur rasa lega juga tergambar jelas di mata papanya
alvin. Tapi nuraninya bertanya-tanya, masih pantaskah ia di panggil
seorang papa ?
“Jangan
banyak ngomong dulu vin, kondisi kamu masih lemah” ujar papanya, meski
ia ingin sekali ngobrol panjang lebar dengan alvin, melakukan hal simpel
yang tidak pernah mereka lakukan sebelumnya.
“Biar saya periksa dulu pak..”
Papanya
mempersilahkan dokter yang rio panggil untuk memeriksa alvin. Setelah
di pastikan kondisi alvin telah lebih baik, dokter pun langsung keluar
dari kamar alvin. Meninggalkan alvin, rio dan papanya lagi.
“Papa mau minta maaf vin..” alvin dan rio kompak menatap papanya.
“Alvin
yang selama ini bandel pa, alvin yang harusnya minta maaf” jawab alvin.
Rio jadi merasa ia bagai orang asing di situasi ini.
“Kamu enggak akan kaya gini kalo papa sedikit aja perhatiin kamu..”
“Pa, boleh alvin nanya ?” papanya hanya mengangguk.
“Apa
alasan papa benci sama alvin ? alasan papa enggak pernah mau nerima
alvin dari alvin kecil ?” alvin merasa miris sendiri menanyakan hal
seperti itu, tapi dia merasa ini momen yang pas untuknya.
“Bukan
benci tapi papa cuma terlalu egois. Apa kamu pernah merasa, setiap inci
wajah kamu, mata kamu, hidung kamu, semuanya, mirip banget sama mama
kamu. Saat papa melihat kamu, saat itu papa seperti melihat mamamu, itu
alasan awal kenapa papa enggak pernah bisa melihat kamu, karena saat itu
terjadi, yang papa lihat adalah mama kamu..” papanya tersenyum lirih.
Tapi alvin seolah ingin terus mendengar semua apa yang ingin ia dengar
sejak lama.
“Konyol
kan alasan papa ? tapi tanpa papa sadar, sikap papa itu bikin ada jarak
diantara kita. Dan lama-kelamaan jarak itu timbul jadi jurang yang
semakin membesar. Papa minta maaf, minta maaf untuk semuanya..”
Alvin
memandang papanya letih. Sekian lama ia dan papanya berseberangan,
hanya untuk sebuah alasan yang sangat tidak masuk akal untuknya, hanya
karena ia menuruni wajah yang sama dengan mamanya sendiri.
“Papa
juga minta maaf. Enggak seharusnya papa banding-bandingin kamu sama
rio, kalian jelas-jelas berbeda, kadang papa ngelakuin itu biar kamu
termotivasi untuk maju juga, tapi papa tahu, cara papa salah, enggak
seharusnya papa kasar dan keras sama kamu..” sambung papanya lagi.
“Enggak
sepenuhnya salah papa. Alvin juga enggak pernah nurut sama semua yang
papa perintahin, awalnya alvin lakuin itu biar papa lebih perhatian ke
alvin, tapi lama-lama semua itu malah tambah bikin alvin jauh sama papa,
alvin juga minta maaf ya pa..” papanya tersenyum ke arah alvin. Dia
berdiri dan mencoba memeluk alvin. Hati alvin berdesir tatkala tangan
papanya, memeluknya erat, untuk pertama kalinya, alvin merasakan hal
ini, hangat dan nyaman.
“Papa janji enggak akan pernah kasar lagi sama kamu”
“Alvin pegang janji papa..”
“Soal
kecelakaan kamu ini, papa udah minta tolong sama polisi untuk
nyelidikin siapa yang nabrak kamu, kalau perlu entar kita sewa tim
independen buat cari tahu..” kata-kata papanya itu, cukup menyambar bagi
rio, keringat dingin langsung membasahi tubuhnya.
“Udahlah pa, mungkin waktu itu memang alvin aja kali yang salah. Yo, kok lo diem aja sih dari tadi ?”
Rio
diam terpaku. Haruskah ia mengakuinya sekarang, di tengah suasana yang
sedang hangat dan tentram ini. Bisakah ia mengakuinya sekarang.
Sanggupkah ia menerima segala resikonya.
“Rio..” panggil alvin lagi membuat rio tersentak. Rio menatap papanya dan alvin bergantian.
“Gue
mau ngaku vin, gue..ehm..gue yang udah bayar orang buat nabrak elo”
alvin dan papanya sama-sama terlonjak kaget mendengar penuturan rio.
Kata-kata itu terdengar seperti lelucon di telinga mereka.
“Kamu ..”
“Iya pa, aku yang udah ngelakuin itu”
“Rio !”
“Papa !” tepat saat papanya mau menampar rio, tangan alvin menahan tangan papanya.
“Papa
udah janji enggak bakal kasar lagi, dan janji itu juga berlaku buat
rio” ujar alvin sambil menatap papanya tajam, papanya akhirnya
menurunkan tangannya meski memandang rio geram.
Rio
hanya menunduk, memandangi lantai yang memantulkan bayangan wajahnya.
Dia tahu dia bahkan pantas menerima lebih dari sebuah tamparan. Tapi
mengapa alvin masih membelanya. Karena hal itu malah membuat dirinya
tambah merasa bersalah dan menyesal.
“Segitu
bencinya elo ke gue yo ? sampai elo ngelakuin cara kaya gitu ?” tanya
alvin yang masih sangat shock dengan pengakuan rio.
“Saat
itu gue panas banget vin, gue enggak terima ngelihat elo bisa lebih
daripada gue, gue enggak pernah ada di posisi itu dan sekalinya gue
ngerasain posisi itu, gue enggak siap mental buat ngadepinnya. Gue
sadar, gue salah, gue siap nanggung semuanya. Kalo papa mau, pulang dari
sini papa bisa bawa rio ke kantor polisi..” rio memberanikan diri
menatap papanya.
Lagi-lagi
papanya merasa ialah yang patut di persalahkan dalam hal ini.
Seandainya dia tidak selalu mengunggulkan rio, rio pastilah tidak
terbentuk sebagai orang yang selalu ingin menjadi yang pertama di segala
hal hingga menggunakan cara yang tak lazim seperti ini.
“Enggak
yo, buat gue elo mau ngaku kaya gini aja udah cukup kok. Elo udah
nunjukin sikap ksatria lo, toh gue enggak peduli-peduli amat, lagian gue
juga sehat-sehat aja kan sekarang, gue maafin elo..”
“Vin elo ?”
“Iya
gue maafin asal lo ikhlasin via buat gue..hehe..” rio langsung nyengir
selebar mungkin. Dia enggak nyangka alvin sangat berjiwa besar seperti
ini.
“Makasih banyak ya vin..haha..dia emang lebih pantes sama lo kok..”
“Papa
seneng lihat kalian kaya gini. Oh ya rio, papa juga mau minta maaf sama
kamu, mulai hari ini terserah kamu mau ngelakuin apa, papa enggak akan
banyak ikut campur lagi, asal, itu sesuatu yang positif”
“Siap
bos !” seru rio sambil hormat ke arah papanya. Mereka bertiga terus
larut dalam obrolan-obrolan seru yang selama ini mereka lewatkan.
Tertawa dan bahagia bersama, layaknya seorang keluarga sejati.
***
Suasananya
gelap, bahkan lampu taman yang biasanya menyala pun malam ini padam.
Sedikit terasa horor dan membuat bulu kuduk aren berdiri. Aren meraih
hpnya, dan melihat sms terakhir dari iel, memastikan bahwa ia tidak
salah mengartikannya.
From : ka’gabriel
Gue tunggu di taman, cepet ya cantik J
“Kak iel !” panggil aren sambil celingak-celinguk.
“Kak..kak
iel..” tidak ada satupun sahutan untuknya. Sebenernya bisa saja aren
menunggu disini, tapi gelapnya taman malam ini cukup mengadu nyalinya.
Setelah mencoba beberapa kali memanggil iel kembali dan tetap tidak ada
balasan, aren pun memutuskan untuk kembali.
“Belum
ketemu kok udah mau pulang sih cantik” aren berbalik ketika suara yang
familiar itu muncul di belakangnya. Dan betul saja, tampak iel sedang
memegang sebatang lilin di tangannya.
“Kak iel kok bawa lilin ?” tanya aren bingung.
“Lampu tamannya gelap ren, jadi tadi gue cari warung dulu buat beli lilin, biar elo enggak kegelapan”
“Makasih..”
iel hanya tersenyum sambil mengajak aren duduk di bangku taman yang
biasa mereka duduki. Aren dan iel memang diam-diam suka ketemu di taman
ini, sekedar untuk saling bercerita dan menghibur satu sama lain.
“Ada apa kak ?”
“Apa harus ada alasan buat ketemu elo ren ? hehe..”
“Enggak sih, tapi mungkin emang ada sesuatu gitu”
“Enggak
ada apa-apa sih, gue cuma kangen sama lo” bahkan hanya dengan
bermodalkan cahaya lilin, iel bisa melihat rona merah di pipi aren.
“Gombal deh”
“Haha, ren gue boleh nanya ?” aren hanya mengangguk, selalu ada rasa nyaman saat dia menghabiskan waktu berdua bersama iel.
“Apa gue boleh berharap untuk jadi cowok lo ?”
“Maksud kakak ?”
“Gue
sayang sama lo, dari awal gue ngelihat elo. Gue enggak gampang jatuh
cinta, dan elo cinta pandangan pertama gue” aren melihat senyum iel,
mengingat segala hal yang telah iel lakukan, rasa aman dan nyaman yang
ia rasakan.
“Gue juga sayang sama elo kak” ujar aren sambil tersenyum.
“Jadi ?”
“Enggak
usah berharap lagi, gue mau jadi cewek lo” di bawah temaram sebatang
lilin iel dan aren sama-sama mengakui tentang isi hati mereka, meski
mereka sama-sama tahu, rintangan apa yang harus mereka lalui bersama.
“Makasih,
aku sayang sama kamu cantik” ucap iel sambil mengusap pipi aren, yang
cukup membuat aren tersipu. Tanpa mereka sadari, bukan hanya mereka yang
ada diantara dingin dan gelapnya malam itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar