Rabu, 05 September 2012

last part 6 " ending "

Tidak ada air mata yang terurai dari kedua mata bening shilla, meski badannya bergetar dan raut khawatir yang terasa amat nyata di wajahnya, kedua tangannya menggenggam erat tangan alvin yang belum sadarkan diri. Rio duduk di sampingnya, mengelus-elus pundak shilla.
Selain shilla dan rio, ada juga ify, via, agni, cakka serta iel di kamar itu. Ikut menunggu sambil terus memanjatkan doa di hati mereka masing-masing.
“Shil..la..” panggil alvin sedikit terbata-bata. Senyum lega langsung menghiasi wajah shilla, begitupun juga yang lain, yang langsung mengerubungi tempat tidur alvin.
“Gue panggilin dokter ya” ujar iel menawarkan sambil langsung berlalu pergi tanpa menunggu untuk di jawab. Shilla memandang alvin, dan begitupun sebaliknya. Entah hanya perasaanya saja atau karena terbawa suasana, shilla merasa tatapan itu terasa berbeda. Sementara yang lainnya diam, memperhatikan pasangan di hadapan mereka, yang selalu nampak saling melengkapi satu sama lain tersebut.
“Bisa permisi sebentar..” semuanya langsung memberi ruang untuk dokter yang ingin memeriksa kondisi alvin, tidak terkecuali shilla, meski entah kenapa lagi, tapi kali ini shilla merasa berat harus melepaskan genggaman tangannya dari alvin.
“Gimana alvin, ada keluhan ?” tanya dokter sambil melihat-lihat catatan yang ada di tangannya.
“Udah beberapa hari ini, saya suka ngerasa aneh sama tubuh saya dok, ada perasaan enggak enak terutama di daerah perut” jawab alvin berusaha santai.
“Tolong jawab pertanyaan saya dengan jujur, apakah kamu pernah merasa perut kamu seperti di remas-remas, mual, dan muntah ?” pertanyaan dokter yang cenderung aneh itu, membuat semua yang ada di ruangan itu bergantian mengalihkan tatapannya antara dokter dan alvin. Hanya shilla saja, yang terus fokus menatap alvin.
“Memangnya saya kenapa dok ?” alvin mulai curiga dengan kondisinya akhir-akhir ini.
“Jawab pertanyaan saya alvin, apa kamu mengalami semua yang saya tanyakan tadi ? apa berat badan kamu menyusut akhir-akhir ini ?” tanya dokter lagi. Alvin diam sejenak, dia tahu semua yang dokter tanyakan itu terjadi padanya.
“Iya sih dok, akhir-akhir ini saya memang suka enggak enak badan, terus mual gitu, tapi menurut saya itu masuk angin biasa” sangkal alvin yang masih berusaha berpikir positif.
“Memangnya ada apa dok ?” shilla yang sejak tadi ikut diam mendengarkan memutuskan untuk ikut bertanya.
“Hasil lab alvin sudah keluar, dan...” entah sengaja atau apa, dokter itu menggantung kalimatnya, ia membetulkan letak kacamatanya sambil menatap alvin.
“Dan apa dok ?” sambung alvin tidak sabar.
“Ditemukan adanya sel kanker di lambung kamu” semua terdiam mendengar penjelasan dari dokter yang meski di ucapkan pelan, tapi serasa seperti ada petir yang menyambar langsung ke ruangan itu.
“Itu bercanda kan dok ?” tanya alvin getir sambil berharap dokter akan memberinya jawaban ‘iya’. Sementara yang lainnya menatapnya lirih, rio bahkan secara reflek langsung menggenggam tangan shilla yang terasa dingin.
“Seandainya saya bisa menjawab iya alvin, tapi memang itulah kenyataannya”
“Tapi saya baik-baik aja dok, selama ini saya enggak pernah ngerasain keluhan apapun kecuali akhir-akhir ini” ujar alvin yang masih berharap tadi ia hanya salah dengar.
“Kanker memang tidak selalu muncul gejalanya dari lama, tapi pola hidup kamu yang mungkin kurang teratur atau adanya gen kanker yang ada di dalam riwayat keluarga kamu..”
“Sta..stadium berapa ?” tanya shilla dengan suaranya yang bergetar. Dokter itu mengalihkan pandangannya ke shilla.
“Biar kita tanya ke alvin dulu, sejauh apa kondisi tubuhnya saat ini. Apa kamu sudah sampai muntah darah alvin ?” dokter itu kembali menatap alvin. Hati alvin mencelos, ia bahkan masih berusaha menyingkronkan otaknya dengan kenyataan yang harus diterimanya saat ini.
Rio tertegun sejenak. Ia menatap alvin yang sedang diam, dan bukannya menjawab pertanyaan dokter. Lalu matanya teralihkan ke arah handsaplast yang melingkar di ujung jari telunjuk alvin, pikirannya langsung teringat akan tisu-tisu penuh darah yang ia lihat di kamar mandi alvin. Rio melepaskan genggaman tangannya dari shilla, dan berjalan menghampiri alvin. Tanpa mempedulikan tatapan penuh tanya dari alvin, rio meraih tangan alvin dan melepaskan plester berwarna coklat itu.
“Enggak ada bekas lukanya vin” ujar rio datar, yang tentu saja membuat semuanya bingung.
“Tangan lo enggak keiris kan ? darah itu bukan darah dari jari lo kan ?” lanjut rio lagi. Alvin langsung menarik tangannya dari tangan rio.
“Bukan  urusan lo !” jawab alvin ketus.
“Lo tinggal jawab iya atau enggak vin” sela cakka yang sejak tadi hanya diam.
“Sudah-sudah, saya tahu ini berat untuk remaja seusia kamu alvin, saya akan membicarakan ini dengan orang tua kamu nanti, saya permisi dulu” sahut dokter itu.
“Stadium berapa dok ?” tanya shilla lagi, menahan langkah kaki dokter tepat sebelum pintu.
“Akhir..” jawab dokter itu pelan, tapi cukup terdengar dan sekali lagi, bagai petir yang menyambar. Semua mata langsung kembali menatap alvin.
“Vin..” panggil shilla pelan sambil mendekat ke arah alvin.
“Stop shil !” shilla tidak menggubris larangan alvin, ia terus berjalan ke arah tempat tidur alvin.
“Aku bilang stop shil ! tinggalin aku !”
“Lo apa-apaan sih vin ?!” timpal rio sambil menatap alvin tajam.
“Tinggalin gue sendiri ! pergi sana lo semua !” raung alvin yang suaranya cukup menggetarkan ruangan yang sunyi itu.
“Alvin..” shilla mengusap punggung tangan alvin.
“Pergi shil !” tampik alvin. Shilla hanya menggeleng, dia malah menarik kursi dan duduk di samping alvin.
“Aku bilang kamu pergi !” alvin terus-terusan menolak shilla di sampingnya, tapi shilla seolah tidak peduli, ia terus duduk sambil terus menatap alvin.
“Aku sayang sama kamu ..” bisik shilla mencoba tersenyum, meski hatinya terasa lebih dari sekedar sedih mendengar semua ini.
“Jauhin aku ! pergi !!”
“Enggak mau..”
“Cari cowok lain sana ! jangan sama aku !” shilla diam menatap alvin, dua butiran hangat mengalir di pipinya, tumpahan perasaan yang sejak tadi ia tahan. Rio langsung menghampiri shilla.
“Mau lo apa sih vin ? jangan egois dong !” ujar rio yang mulai kebawa aura negatif yang terpancar dari alvin.
“Egois ?! enggak suka lo ? tenang aja mungkin bentar lagi gue mati kali” timpal alvin santai.
“Plak !” sebuah tangan langsung melayang ke pipi putih alvin.
“Gampang banget kamu bilang mati ?! kamu enggak akan kenapa-napa !” teriak shilla sambil berusaha menahan laju air matanya yang semakin menderas. Rio langsung menarik shilla ke dalam pelukannya, tidak tega melihat sepupunya seperti itu.
“Jangan nangis shil, entar asma lo kambuh..” bujuk rio sambil mengusap-usap rambut shilla.
“Mending elo ajak pulang shilla dulu deh yo..” usul agni.
“Kita pulang ya shil..” tawar rio, yang di jawab dengan gelengan kepala oleh shilla.
“Lo pulang dulu aja shil, gue temenin ya..” timpal ify sambil mendekat ke arah shilla. Ify memberi kode ke rio, dan rio langsung melepaskan pelukannya, di gantikan oleh ify. Via juga menghampiri shilla. Sementara alvin memilih memandangi langit-langit kamarnya.
Akhirnya setelah dibujuk berkali-kali oleh semua orang, shilla akhirnya mau juga di paksa pulang. Sebelum pergi, shilla mendekati alvin lagi, ingin mengecup kening alvin, tapi alvin malah menghindar darinya.
“Udah ayo shil..” ajak rio, shilla menatap alvin nanar, lalu kemudian berjalan ke arah rio dan ify yang telah menunggunya.
“Aku enggak mau ketemu kamu lagi” ujar alvin tanpa ekspresi, yang jelas-jelas di tunjukkan untuk shilla. Ify yang menyadari itu, langsung meraih tangan shilla, dan menggandengnya ke luar dari kamar alvin.
Ify menemani shilla yang duduk di jok belakang, sementara rio menyetir di depan. Dari pantulan kaca, rio bisa melihat dengan jelas, ify yang sedang menjadi sandaran tubuh shilla. Inikah saat yang tepat untuknya membahas semua masalah di antara mereka berdua.
Diam-diam, ify tahu rio sedang memperhatikannya. Dan ia juga tahu, bahwa waktu akan terus bergulir cepat, ia tidak lagi bisa berlari atau sekedar bersembunyi, semuanya harus ia hadapi sekarang.
“Setelah nganterin shilla nanti, gue mau ngomong sama elo yo” rio hanya mengangguk mendengar kata-kata ify, ia sendiri hampir saja mau mengatakan hal yang sama barusan.
***
Di parkiran rumah sakit yang sepi, cakka dan agni saling berdiam diri berdua. Agni mencoba menemukan kata-kata yang tepat, karena tadi ia yang mengajak cakka untuk mengobrol berdua disini.
“Ada yang mau gue minta ke elo kka..” ucap agni akhirnya.
“Apa ?” tanya cakka sambil menatap agni. Dan ia baru sadar, telah lama ia tidak menatap wajah cantik itu, senyum manis yang selalu membuatnya merasa nyaman.
“Sebelumnya, boleh gue bersandar bentar aja ke elo” pinta agni, meski bingung, cakka tetap mengangguk. Agni langsung meletakkan kepalanya di atas pundak cakka, ia mencoba menikmati setiap detik yang terlewati, berharap dapat terus menyimpan rasa aman dan tentram yang ia dapatkan dari hal ini.
“Elo kenapa ?” cakka memberanikan diri bertanya, perasaanya mengatakan, ada sesuatu yang beda saat ini. Agni mengangkat kepalanya, dan menatap cakka.
“Gue pengen pergi berdua, seharian sama elo, kemana aja, terserah lo..”
“Pergi..berdua ?” ulang cakka. Agni mengangguk mantap.
“Iya, mau kan ? sekali ini aja..” agni lebih terlihat memelas ketimbang hanya sekedar meminta.
“Oke, kapan ?”
“Besok bisa kan ?”
“Gue jemput jam 9 ya..” agni hanya menggangguk, dengan wajah yang berseri-seri.
“Oke, gue tunggu besok. Gue balik duluan..” pamit agni.
“Sip, hati-hati ya..” agni tersenyum sambil berjalan ke arah mobilnya. Sementara cakka memilih untuk terus duduk di tempatnya saat ini.
Masih di area yang sama, ada via yang sedang termenung sendiri sambil duduk di depan kemudinya. Sejujurnya ia tidak begitu mengerti, mengapa iel terlihat begitu antipati padanya saat ini. Sebesar itukah salah yang telah ia perbuat, hingga membuat iel bahkan tidak mau menatap matanya. Atau ada kesalahan lain yang via buat tanpa sengaja hingga melukai iel.
Via menghembuskan napasnya, ia melirik ke arah jok belakang mobilnya, menatap benda berbentuk persegi panjang tersampul kertas coklat yang teronggok begitu saja. Ia telah coba menahan iel tadi untuk menyerahkan ini, tapi iel tidak menggubrisnya, dan langsung pulang begitu saja, meninggalkan dirinya. Merasa sudah cukup lama, via akhirnya memutuskan untuk menjalankan mobilnya. Baru beberapa meter, via melihat cakka yang nampak sedang duduk sendirian, alih-alih pulang, via malah memarkirkan mobilnya kembali dan menghampiri cakka.
“Gue boleh duduk disitu kan ?” tanya via sambil menunjuk tempat kosong di samping cakka.
“Duduk ajalah vi, kok lo belom pulang ?”
“Lo sendiri kenapa belum pulang ?” cakka tertawa mendengar via memutar pertanyaanya.
“Gimana lo sama iel ?” tanya cakka berusaha memulai sebuah topik. Via hanya mengangkat bahunya sambil menggeleng.
“Lho, kenapa ? masih belum baikan ?”
“Kayanya semakin hari, dia semakin menjauh dari gue, semakin enggak mau deket-deket sama gue”
“Jangan nyerah dulu dong vi, lo masih sayang kan sama dia ?”
“Sayang bangetlah kka, dia enggak akan terganti buat gue”
“Terus foto-foto yang waktu itu buat apaan vi ?”
“Ada deh, surprise buat dia. Enggak seberapa sih, gue cuma pengen bikin sesuatu yang bisa disimpan sekaligus di kenang. Gue pengen dia tahu, kalo gue enggak pernah sekalipun berniat buat mainin perasaanya dia, gue sayang sama dia, dan akan selalu tetap kaya gitu, sampai kapanpun..” cakka hanya memberikan cengirannya untuk cerita via. 
“Gue juga belom baikkan sama iel” ujar cakka.
“Kenapa ?”
“Karena gue terlalu pengecut untuk minta maaf” via tersenyum tipis.
“Tapi suatu hari nanti, iel pasti akan maafin kita berdua kan ?” tanya via sedikit getir.
“Iel pasti akan maafin lo, gue yakin..”
“Semoga..”
“Jangan pesimis dong vi”
“Enggak akan kka, gue akan mempertahankan iel apapun yang terjadi, gue sayang sama dia, dan akan selalu kaya gitu. Gue enggak mau nyerah, gue emang salah, makanya gue harus minta maaf. Iel cuma ada satu, dan artinya dia enggak akan terganti oleh apapun..” cakka tertegun mendengar kata-kata via. ia merasa tersentil dengan keadaannya sendiri saat ini.
“Kalo menurut lo, apa gue masih bisa mempertahankan agni ?” via menatap cakka sekilas, ia tidak mengerti mau memberikan jawaban apa, ia tidak ingin mematahkan harapan caka, tapi sesungguhnya ia juga tidak setuju bila harus melihat agni terus-terusan tersiksa dengan semua tingkah laku cakka.
“Apa lo enggak akan nyakitin agni lagi ?”
“Apa gue terlihat sejahat itu untuk terus-terusan nyakitin agni ?” tanya cakka balik.
“Gue cuma enggak mau agni jadi lemah lagi, dia terlalu sayang sama elo”
“Dan apa sayang gue terlihat sedangkal itu buat dia ?”
“Kalo emang lo masih sayang sama dia, perjuangin dia kka, tapi tolong jangan sakitin dia lagi, jangan bikin dia kecewa lagi, selama ini udah cukup elo giniin dia, karma itu berlaku lho” ujar via yang membuat cakka tersentak, tidak pernah sekalipun selama ini dia memikirkan soal karma yang akan di terimanya.
“Gue bakal minta maaf sama agni vi, dan gue akan berusaha buat enggak ngulangin lagi semua kesalahan yang udah gue lakuin ke dia”
“Jangan janji sama gue kka, lo cukup buktiin itu ke agni dan kita semua”
“Thanks vi..” via hanya mengangguk-anggukan kepalanya. Dia sendiri juga merasa mendapatkan sesuatu dari obrolan singkat ini. Merasa malu akan keegoisan dan ketidakpuaasannya selama ini terhadap iel yang dulu menurutnya terlalu over protect, tapi apalah semua itu di banding sikap agni yang tetap bersabar menerima cakka yang tidak memperhatikan dirinya sama sekali.
***
Iel menjalankan mobilnya pelan-pelan, meski mobil-mobil lain di sekitarnya melaju kencang dan berkali-kali mengklakson mobilnya. Iel berusaha untuk tidak peduli, ia menikmati setiap desahan angin yang menyelinap di sekitarnya dari kaca yang ia biarkan terbuka lebih dari setengah.
Ia melirik ke arah jok di samping kirinya, kosong. Tempat yang selama hampir satu setengah tahun hanya menjadi milik via, kini ia biarkan kosong. Begitupun dengan hatinya, hampa tanpa senyum dari via.
Baru setengah jam yang lalu, iel mengacuhkan via. Keterlaluankah sikapnya ini, terlalu keras kah cara iel menghindari via. Meski via terlihat berusaha menahannya berkali-kali, memintanya dan memohon padanya untuk tinggal sejenak.
“Yel, tolong aku mau ngomong sama kamu, bentar aja yel..”
Bukannya iel tidak ingin. Dia hanya takut, takut saat matanya bertemu via, rasa cinta itu akan terus berkobar hebat dalam hatinya, dan ketika itu terjadi, iel takut via akan melepaskannya atau ia harus melepaskan via. Dan dirinya tahu pasti, ia tidak akan sanggup menjalani itu, ia tidak akan bisa semudah itu melihat via bahagia dengan orang lain, terlebih itu adalah sahabatnya sendiri.
***
Suara gemericik dari air mancur di tengah taman, menjadi satu-satunya suara yang menemani rio dan ify.
“Gue enggak pernah maksud buat ngebohongin lo fy, begitupun shilla, gue yang....”
“Gue udah enggak masalahin itu kok yo, bukan masalah itu yang mau gue bahas, gue mau ngebahas tentang kita, tentang keputusan yang mau kita ambil” meski duduk berdua, tapi mereka tidak saling berpandang-pandangan.
“Enggak masalah buat gue kalo harus ngebatalin ini semua, begitupun dea, ki....”
“Dengerin gue yo, gue sayang sama lo, dan rasa sayang itu rasa sayang yang bikin gue pengen milikin elo, bukan lagi sekedar rasa sayang yang kaya gue bilang dulu. Gue takut kehilangan lo saat gue tahu hubungan lo dengan dea, untuk pertama kalinya gue ngerasain apa yang orang sebut dengan patah hati. Gue akuin saat itu gue marah sama lo, gue kecewa, gue enggak ngerti sama semuanya, sampai akhirnya gue sadar, bukan elo yang menjauh dari gue, tapi gue yang ngebiarin elo jauh dari gue”
“Maaf fy gue....”
“Memang bener kata orang, you don’t know what you get until you lost it, dan mungkin itu yang terjadi sama gue. Selama ini, gue cukup ngerasa tenang dengan tahu kalo lo sayang sama gue, selebihnya gue enggak peduli bahkan gue milih buat gantungin elo. Gue terlalu sibuk ngejar semua cita-cita gue, gue enggak pernah sadar dengan keberadaan lo yang nunggu gue disini...” ujar ify kembali memotong kata-kata rio.
“Gue enggak peduli fy, kita masih bisa mulai semuanya sekarang, kita masih bisa” timpal rio cepat, sebelum ify menyelanya lagi.
“Menurut gue, kita masih bisa mengakhiri semuanya sekarang yo, sebelum terlambat. Lo boleh anggep keputusan gue ini sepihak, tapi gue udah mutusin, untuk kembali ke amrik, untuk ngeraih cita-cita gue, dan elo, gue tahu dea orang yang baik dan pantes buat lo” ify berusaha membuat nada suaranya terkesan seperti biasa, ia tetap tidak ingin ada air mata yang tumpah saat ini, setidaknya hingga nanti ia hanya sendiri di kamarnya.
“Lo milih cita-cita lo di banding gue fy ? bukannya kita bisa tetap berhubungan sambil elo lanjutin sekolah lo ?” tanya rio yang masih tidak abis pikir denga kalimat yang ify ucapkan barusan.
“Kalo lo mau bilang gue egois, ya gue memang seorang yang egois. Tapi apa yang lagi gue jalanin sekarang, semuanya juga buat kesuksesan diri gue sendiri, kebanggaan kedua orang tua gue, keluarga gue. Dan prinsip gue juga enggak akan berubah, gue tetap enggak mau menjalin hubungan dengan siapapun biar gue tetap fokus, gue percaya, suatu saat nanti, akan datang orang yang akan melengkapi gue dengan cara dan waktu yang tepat, dan sampai saat itu datang, gue akan tetap memilih buat jadi seorang ify yang egois yang lagi ngejar cita-citanya”
“Jadi gue bukan orang yang tepat buat lo ?”
“Enggak ada yang tahu, biarin Tuhan tetap merahasiakan semua itu dari kita. Tapi jangan pernah nunggu gue, dan membiarkan semua kebahagiaan lo lewat gitu aja, kita sama-sama berhak bahagia yo, dan untuk saat ini, mungkin kita memang harus bahagia sendiri-sendiri” untuk pertama kalinya, rio menatap ify, gadis itu tetap nampak tegar, seolah semua ini hanyalah sebuah perjalanan yang harus di lalui semudah itu, atau memang seperti itu adanya.
“Syal itu ?” tanya rio.
“Oleh-oleh dari seorang sahabat ke sahabatnya” jawab ify sambil tersenyum tipis, tapi terasa telak di hati rio.
“Ayo kita pulang..” ajak ify sambil berdiri, rio hanya mengangguk kecil sambil ikut berdiri.
“Sekali ini aja, gue pengen ngegandeng tangan lo, cuma untuk menikmati detik-detik indah ini” desah rio pelan sambil menggenggam tangan ify dengan erat, meski mereka sama-sama melihat ke arah lain, sama-sama berusaha meyakinkan hati mereka masing-masing bahwa hari ini akan berakhir dan esok semuanya akan kembali normal.
***
Dari celah-celah pintu, shilla berdiri menatap ke arah alvin, yang dengan sengaja tidak membiarkannya masuk. Sudah sejak tadi pagi, shilla terus berdiri disini, ia hanya ingin melihat alvin, dan kalau bisa menemaninya. Shilla reflek menoleh, ketika sebuah tangan menyentuh pundaknya.
“Tante, gimana kata dokter ?” tanya shilla langsung, ketika melihat orang yang menepuknya adalah mamanya alvin, yang baru datang dari singapur tadi pagi.
“Temenin tante sarapan bentar ya, ada yang mau tante obrolin sama kamu” shilla menoleh ke arah alvin, yang terlihat tidak peduli pada dirinya, kemudian ia mengangguk ke arah mamanya alvin.
Shilla hanya memesan segelas jus alpukat yang lantas ia biarkan begitu saja, sejak semalem ia tidak berkeinginan untuk menyentuh apapun, hanya ada alvin di dalam pikirannya.
“Maafin alvin ya shil, tante juga enggak tahu kenapa dia jadi kaya gitu” shilla hanya tersenyum tipis.
“Tante enggak mau kehilangan alvin shil..” setetes air turun membasahi pipi mamanya alvin.
“Memang dokter bilang apa tan ?” dalam hati, shilla berharap kata-kata menyenangkan yang akan ia dengar.
“Kanker alvin sudah menyebar, dan sayangnya tidak ada deteksi dini, jadi bisa di bilang penanganan apapun yang mau di lakukan sudah terlambat. Dokter bilang, kemungkinan hidup alvin enggak lebih dari tiga puluh persen lagi..” hati shilla mencelos mendengarnya, jawaban itu jelas-jelas terlalu jauh dari apa yang ia bayangkan.
“Ini salah kan tan ? sampai kemarin malem alvin masih baik-baik aja, masih bisa jemput shilla, masih bisa main piano, masih bilang i love you sama shilla..” mamanya alvin langsung memindah posisinya duduk di samping shilla, kemudian ia memeluk shilla, seperti memeluk anaknya sendiri.
“Seandainya memang alvin baik-baik aja shilla..”
“Shilla mau ke tempat alvin tante, shilla harus ke temu alvin..” shilla mengangkat kepalanya dan langsung berdiri, ia menatap mamanya alvin sekilas, kemudian ia berbalik berjalan cepat ke arah kamar alvin.
“Keluar !!” teriakan alvin langsung menyambutnya, ketika shilla memaksa masuk dan mendekat ke arah tempat tidur alvin. Tapi shilla tidak bergeming, ia menarik kursi dan duduk di samping alvin, ia meraih semangkok bubur yang sejak di antarkan tadi pagi belum tersentuh sama sekali. Shilla menyodorkan sesendok bubur ke arah alvin.
“Klontang !” bukannya menyaut sendok tersebut, alvin malah menampiknya, membuat sendok itu terjatuh dan bubur yang ada di atasnya berhamburan di celana jins shilla dan lantai. Shilla masih tetap diam, ia mengambil tisu dan membersihkannya. Kemudian ia ke kamar mandi, mencuci sendok yang tadi, dan lantas kembali lagi, untuk menyuapi alvin.
“Prang !” kali ini bukannya hanya sendoknya, tapi alvin juga dengan sengaja mendorong mangkok yang sedang shilla pegang. Shilla menatap alvin nanar meski alvin membalasnya dengan tatapan tajam.
“Kamu mau buah apa ?” tanya shilla yang akhirnya bersuara.
“Aku mau kamu keluar !!” shilla menggeleng kuat, ia malah meletakkan apel, jeruk dan pear di ranjang alvin.
“Pilih yang mana, aku kupasin..” tawa shilla. Alvin mengangkat apel, tapi tidak menyerahkannya ke arah shilla, melainkan melemparnya langsung, dan melakukan hal yang sama terhadap jeruk dan pear. Shilla tetap tidak bereaksi, ia hanya ingin disini, bersama alvin, meski penolakan alvin untuknya semakin anarkis.
“Arghh..hoek..” darah segar keluar dari mulut alvin, shilla langsung menarik baskom yang ada di bawah ranjang, dan mengangsurkannya ke depan alvin.
“Per..gi..” ucap alvin dengan nafas yang tersengal-sengal dan bibir merah penuh darah, tapi dengan suara yang lemah. Shilla tidak merespon itu, ia menyekakan tisu ke arah bibir alvin.
“Arghh..” alvin mengerang lagi, kali ini ia sambil meremas-remas perutnya, dan meski shilla tidak tahu bagaimana rasanya, tapi shilla dapat merasa rasa sakit yang sama. Shilla memeluk alvin, alvin berusaha meronta, tapi kondisi alvin yang lemah membuat shilla dapat terus erat melingkarkan tangannya di tubuh alvin.
“Sakit..shil..sakit..” ujar alvin bergetar. Shilla melepaskan pelukannya untuk meraih tombol bel dan memencetnya berkali-kali.
“Sabar vin..” sekuat apapun shilla mencoba menahan air matanya, air mata itu tetap mengalir bahkan semakin deras.
“Hoek..” lagi-lagi alvin memuntahkan darah, shilla menengadahkan tangannya, membuat telapak tangannya penuh darah saat ini. Tapi ia tidak peduli. Kepanikkannya bertambah, ketika tubuh alvin tampak mengejang, dan ia masih terus meremas-remas perutnya.
“Alvin ! alvin !” panggil shilla berkali-kali, ia benar-benar takut saat ini. Tepat saat itu, serombongan tim dokter dan suster masuk ke kamar alvin, shilla langsung mundur memberi jalan. Mamanya alvin yang juga ada disitu, langsung memeluk shilla yang tampak terguncang.
***
Seperti yang telah di janjikan sebelumnya, hari ini cakka dan agni menghabiskan waktu berdua, dan dufan menjadi tujuan mereka. Tanpa rasa takut, mereka berdua mencoba berbagai wahana yang ada, menikmati setiap hal yang mereka lakukan.
Rasanya sudah lama mereka tidak seperti ini. Berkejar-kejaran layaknya seorang anak kecil, berebut es krim meski mereka telah memilikinya masing-masing, dan saling tertawa berdua.
Cakka tidak bisa memungkiri bahwa ia sangat menikmati saat-saat seperti ini, berdua bersama agni. Karena saat ia bersama agni, ia tidak perlu tampak keren atau menjaga imagenya. Agni selalu menerima ia apa adanya. Semakin cakka menikmati senyuman agni hari ini, semakin terasa rasa penyesalan itu atas sikapnya selama ini, dan semakin besar pula keinginannya untuk mempertahankan agni disisinya.
Agni berani bertaruh demi apapun, ada begitu banyak perempuan diluar sana yang rela bertukar tempat dengannya sekarang, ada dalam jarak sedekat ini bersama cakka dan dapat memandangi wajah cakka yang memang tidak akan pernah membosankan. Dan agni sendiri sangat senang menjalani hari ini, meski ia tahu pasti, kemana hari ini akan berakhir nanti. Berusaha tidak memikirkan apa yang akan terjadi, agni berniat untuk melewati saat ini dengan semua senyuman dan tawa bahagia yang ia punya saat ini.
***
Dengan rambut yang masih acak-acakan dan tampang kusut, rio berjalan ke kamar mandi. Dia baru bisa memejamkan matanya pukul tiga subuh tadi. Pertemuaanya dengan ify semalam masih tergambar jelas di pikirannya, masih menyisakan rasa pedih dalam hatinya.
“Byur..” rio menyiram air dingin di atas kepalanya. Ia berniat untuk menjenguk alvin pagi ini, lagipula rio yakin berpuluh-puluh ribu persen, shilla telah sejak tadi menunggui alvin. Rio hanya tidak ingin shilla yang punya asma dan kondisi tubuhnya gampang sakit, menjadi terforsir menghadapi alvin yang nampak mengganas seperti kankernya. Sama-sama sebagai anak tunggal, membuat rio menganggap shilla layaknya seorang adek kandung untuknya.
Rio sedikit terkejut ketika ia melihat dea dan orang tuanya serta orang tua rio, duduk ngobrol di ruang tamu.
“Akhirnya kamu bangun juga, ayo sini duduk dulu” ujar mamanya. Karena sudah terlanjur terlihat, rio mau tidak mau duduk juga, tepat di depan dea.
“Ada apa ?” tanya rio cuek.
“Mama papa sama om dan tante, pengen mastiin hubungan kalian. Kita kan udah bilang sejak awal. Kita juga enggak mau maksain hubungan ini, kita enggak mau jadi orang tua kejam. Sekarang kita pengen denger keputusan kalian. Kalo kalian setuju, minggu depan, sebelum mama papanya dea berangkat, kita adain acara pertunangan itu. Bukan apa-apa, cuma kaya semacam acara sukuran. Tapi kalo kalian enggak ngerasa cocok, ya enggak masalah..” terang mamanya rio panjang lebar.
“Jadi gimana de ?” tanya mamanya dea. Dea tersenyum tipis, ia menatap rio sekilas.
“Sejauh ini dea nyaman temenan sama rio, tapi menurut dea, maaf ma pa, om tante, tapi dea eng...”
“Kita setuju sama acara ini” potong rio. Dea menatapnya bingung, sementara kedua orang tua mereka tersenyum senang.
“Permisi bentar, aku mau ngomong sama rio” pamit dea sambil menarik tangan rio ke ruangan lain.
“Lo enggak masih tidur atau ngigau kan yo ?” tanya dea langsung, rio hanya menggeleng.
“Hubungan lo sama ify ?” tanya dea lagi yang masih tidak mengerti dengan apa yang terjadi.
“Ify milih cita-citanya di banding gue, gue mau apalagi”
“Dan elo nyerah gitu aja ?”
“Keputusan ini udah di buat ify, final, mungkin dia bener, gue sama dia memang enggak punya takdir yang sama untuk bersatu. Tapi de, jangan pernah sekalipun elo mikir kalo gue jadiin lo pelampiasan, gue beneran enggak ada maksud kesana, gue cukup nyaman sama lo dan lo cukup pantas untuk gue cintai”
“Enggaklah, gue enggak pernah mikir tentang itu. Elo yakin yo, mau ngelakuin ini semua ?”
“Lo mau kan de, kalo kita sama-sama belajar mencintai satu sama lain. Kita enggak pernah tahu, hidup bakal bawa kita kemana, kita cukup jalanin ini dan melihat gimana hasilnya nanti” dea hanya menganggukkan kepalanya. Dia sendiri sadar, sangat mudah untuk menyukai sosok mario yang menawan, dan bukan tidak mungkin suatu saat nanti rasa suka itu berkembang menjadi rasa sayang dan cinta. Rio menarik tangan dea kembali menemui orang tua mereka.
“Jadi minggu depan kan ? kita udah putusin enggak mau acara gede-gedean, cukup keluarga sama temen deket aja” ujar rio santai, yang kembali disambut senyum sumringah dari orang tua mereka.
***
Tanpa bergerak sedikitpun, shilla tetap menunggu alvin yang masih ada dalam pengaruh obat bius pengurang rasa sakitnya. Shilla mengingat semuanya, hubungannya dengan alvin yang di awali dengan pertemanan yang indah, waktu-waktu bahagia yang telah ia lewati berdua bersama alvin, semua canda, tawa, sukacita yang mereka lalui bersama. Haruskah dibayar dengan akhir yang memilukan seperti ini ?
Dua tahun mereka bersama, selama itu juga, rasa sayang dan cinta itu terpupuk dan terus bertambah seiring waktu. Sama sekali bukan hal ini yang mereka bayangkan menanti di hadapan mereka seperti saat ini. Shilla mengelus-elus pipi alvin dengan ujung-ujung jempolnya, tanpa memperdulikan selang-selang yang menempel di tubuh alvin.
Meski tidak ingin, shilla tahu bahwa ia harus realistis. Ia telah di berikan berbagai kemungkinan tentang kondisi alvin yang bahkan dalam hitungan jam terus memburuk. Apakah kisah cinta ini harus berakhir layaknya romeo dan juliet yang menjemput keabadiaan di alam lain ? apakah shilla akan mampu bertahan bila alvin harus meninggalkannya ?
Dan saat ini, rasanya shilla tidak tahu mana yang lebih baik. Tidak pernah mengenal alvin sama sekali atau tidak pernah memulai kisah ini bersama alvin sejak awal.
“Argh..” rintih alvin pelan. Shilla langsung berdiri, ingin memencet bel dan membangunkan mamanya alvin yang terlelap di sofa.
“Shil..” tahan alvin.
“Apa ?” shilla menatap dua bola mata bening yang terlihat lemah sekarang.
“Maaf..” desah alvin, shilla meletakkan telunjuknya di bibir alvin.
“Enggak ada yang perlu di maafin” sahut shilla.
“Jangan pergi, temenin aku..” shilla tersenyum sambil membetulkan letak selimut alvin, kemudian ia kembali duduk.
“Udah tidur lagi, kamu perlu istirahat” bujuk shilla, alvin kembali memejamkan matanya. Dan saat itu, shilla menatap alvin nanar.
‘harusnya aku yang bilang jangan pergi’ batin shilla perih.
***
Setelah jalan-jalan berdua, hampir seharian. Cakka mengantarkan agni kembali ke rumahnya, selama di mobil tadi, agni berkali-kali mengucapkan terimakasih kepadanya, membuat cakka sedikit bingung.
“Makasih ya kka buat hari ini, indah banget..” ulang agni lagi, membuat cakka terkekeh.
“Iya agni, harusnya gue yang bilang makasih”
“Tunggu bentar ya kka, ada yang mau gue kasih ke elo” cakka hanya mengangguk, agni masuk ke dalam rumahnya, dan tidak sampai beberapa menit kemudian, keluar lagi dengan membawa kardus berukuran sedang di tangannya.
“Ini apa ?” tanya cakka saat kardus itu di angsurkan ke arahnya oleh agni.
“Buka aja nanti di rumah, love you..” dengan gerakan super cepat, agni mengecup pipi cakka, dan kemudian berlari masuk ke dalam rumah. Cakka hanya terdiam di tempatnya, kaget dengan apa yang agni lakukan dan masih bingung dengan kardus yang lumayan berat di tangannya, sambil senyum-senyum sendiri, cakka memasukkan kardus itu ke bagasi mobilnya, tidak sabar ingin membukanya di rumah.
Sambil duduk di pinggir tempat tidurnya, cakka mulai membuka kardus yang tadi agni berikan untuknya. Ia sedikit tertegun saat melihat sebuah boneka beruang berwarna biru, menyembul keluar dari dalam kardus itu, cakka masih ingat betul, itu adalah hadiah darinya untuk agni. Dan setelah cakka mengeluarkan boneka itu, barang-barang yang ia temui selanjutnya adalah barang-barang yang dulu ia berikan untuk agni atau barang-barang yang berhubungan dengan mereka berdua.
Cakka memandang lekat-lekat setiap barang yang telah ia keluarkan, ada boneka, frame foto beserta fotonya, gelas, miniatur gitar, kotak musik, handband, pick gitar, topi, bantal kecil, bahkan poster-poster band yang dulu suka mereka beli berdua.
Didasar kardus tinggal satu barang yang belum cakka keluarkan, tapi cakka sudah tahu jelas itu apa. Sebuah kardus abu-abu dengan isi sepasang sepatu basket yang cakka pandangi dengan nanar. Sepatu yang selalu agni gunakan saat pertandingan-pertandingan final, sepatu yang selalu agni banggakan di hadapan semua orang, sepatu yang cakka desain khusus untuk agni dengan ukiran gabungan nama mereka berdua, cagni.
Apakah ini pertanda bahwa agni telah mengakhiri hubungan mereka ? apakah ini akhir yang agni ambil untuk perjalanan panjang mereka ? apakah akhirnya agni telah lebih dahulu menyerah sebelum cakka berusaha ?
Tangannya langsung menggapai handphone yang ia letakkan di meja kecil samping tempat tidurnya. Dia mencoba menghubungi agni, berharap dapat menemukan jawaban atas segala macam pertanyaan dan dugaan yang memenuhi pikirannya. Tapi berkali-kali ia mencoba, berkali-kali juga nomer agni tidak aktif. Padahal belum ada setengah jam yang lalu cakka mengantarkan agni.
Rasa frustasi langsung menghampiri cakka, ia merebahkan tubuhnya di kasur, di antara semua barang yang tadi ia keluarkan. Cakka meraih boneka beruang yang ada di dekatnya, meski tidak pantas dengan umurnya, cakka memeluk boneka itu, tapi semakin erat ia mendekapnya, semakin besar juga rasa kehilangan yang memenuhi rongga dadanya.
Beribu-ribu kilometer dari kamar cakka, agni duduk diam sambil memandangi hpnya yang baru saja ia lepas baterainya. Setitik air terselip di sudut matanya. Hatinya bergetar hebat, tapi ia tidak akan goyah sekarang, semuanya telah berakhir, dan kisah ini telah memilih lembar terakhirnya, berhenti pada tangis kesedihan.
“Kamu baik-baik ya..” agni tersenyum ke arah mamanya, ia hanya dapat memeluk mamanya sambil berusaha tersenyum.
***
Sinar matahari pagi, menembus jendela kamar alvin yang kordennya sengaja di buka lebar-lebar oleh shilla. Alvin termenung sendiri sambil menatap langit-langit kamarnya, memikirkan hidupnya yang dengan tega di putar oleh waktu menuju akhir yang menurut alvin, kejam.
“Kok cuma sendirian vin ?” alvin menoleh dan melihat rio berdiri di ujung tempat tidurnya.
“Shilla sama nyokap gue lagi sarapan yo..” rio meletakkan seplastik buah-buahan di meja samping tempat tidur alvin, lantas kemudian duduk di samping alvin.
“Lo mau jejelin gue buah sebanyak apa juga enggak bakal ngaruh sama kanker gue yo” ujar alvin datar.
“Lo ngomong apaan sih vin ?” timpal rio.
“Harusnya dari dulu gue nurut ya yo sama shilla, peduli sama pola hidup gue, enggak cuma ngandelin junk food dan segala macem soft drink, peduli sedikit sama khasiat air putih, sama sayur-sayuran, sama makanan-makanan bergizi yang suka shilla bawain buat gue”
“Ayolah mana sih alvin yang optimis, enggak asik banget lo kaya gini” sahut rio berusaha menigkatkan kepercayaan diri alvin, meski dia sendiri merasa ragu melihat kondisi alvin, yang terlihat jauh lebih memilukan, padahal baru ia tinggal sehari.
“Gue mau minta maaf buat semua yang udah gue lakuin selama ini yo” rio menatap alvin lirih, dia tidak ingin menangkap kata-kata ini layaknya kalimat perpisahan.
“Vin, jangan bikin gue jadi ngerasa kalo kita emang bakalan pisah dong”
“Gue juga nitip shilla ya yo, jangan biarin dia sendirian, jangan biarin dia sedih, terutama jangan biarin dia nangis”
“Vin...”
“Buat yang kemarin gue juga minta maaf. Selama ini gue kaya hidup di atas awan, dan tiba-tiba dengan sekali sentuhan kecil, gue di jatuhin ke dasar jurang paling bawah, gue enggak siap. Gue juga enggak ada niat sama sekali buat bikin shilla sedih, gue cuma enggak pengen dia ngelihat gue menderita, gue enggak mau dia ikutan ngerasain apa yang gue rasa..”
“Vin...”
“Lo mau janji kan yo bakal jagain shilla. Kalo bisa juga lo cariin dia cowok, di sekolah kan banyak tuh yang suka juga sama dia, nah lo comblangin aja mereka..”
“Alvin ! lo jangan konyol dong !” bentak rio yang langsung membuat alvin terdiam.
“Dengerin gue ya, lo yang bakal jagain shilla, lo yang bakal bahagiain shilla, lo yang bakal ngapusin air mata shilla, bukan gue ! dan kalopun elo..kalopun elo sampai....” rio jeda sebentar, susah untuknya mengatakan kata yang sudah tersangkut di tenggorokannya itu.
“Kalopun elo..elo sampai harus pergi, tolong jangan nyerah, tolong gunain waktu lo sebaik mungkin sama shilla..lo masih sayang kan sama shilla ?” alvin mengangguk kecil.
“Lo masih inget kata-kata gombal lo waktu nembak shilla, yang bikin gue, cakka sama iel, jadiin lo bahan ketawaan selama berhari-hari ?” tanya rio lagi.
“Buat bidadari paling cantik ashilla zahrantiara, maukah kamu menemaniku dalam suka ataupun duka, dalam sehat ataupun sakit, dalam bahagia ataupun sedih, tidak peduli meski maut memisahkan kita, maukah kamu selalu mencintaiku..” desah alvin pelan.
“Ya, kata-kata lo waktu itu ancur banget tahu enggak ? lo mau nembak, tapi kaya lagi ngajakin nikah. Lo cowok banget, tapi kata-kata lo telenovela abis, sampai sekarang aja gue masih ketawa ngakak kalo inget saat itu. Dan sekarang kalo di pikir-pikir lagi, mungkin saat itu Tuhan ngijinin lo buat bilang kaya gitu, karena Dia punya rencana ini, dan Dia pengen elo ngebuktiin kata-kata lo saat itu..”
Alvin tertegun sejenak, bila di ingat lagi, memang kata-kata itu terkesan norak sebagai kalimat penembakan, di antara ribuan kalimat yang bisa ia gunakan. Tapi mungkin rio benar, Tuhan memang selalu punya rencana untuk masing-masing umatnya, bahkan dibalik kata-kata yang di ucapkan secara spontan.
“Mungkin lo bener yo, gue enggak boleh nyerah dulu. Sakit ini memang bisa ngambil nyawa gue kapanpun dia mau, tapi dia enggak bisa ngambil rasa sayang gue untuk shilla, enggak akan bisa”
“Bukan mungkin lagi vin, gue sih emang selalu bener..” timpal rio sambil cengengesan, ia senang berhasil memotivasi alvin, meski sedikit.
“Yee..tapi thanks ya sob..”
“Sip, eh gue sampai lupa, kesini mau sekalian ngasih tahu elo ini..” rio menyodorkan sebuah undangan berbentuk persegi panjang, berwarna merah marun dengan hiasan ukiran-ukiran emas di sekelilingnya. Alvin menerima itu dengan bingung, dan matanya sontak membelalak ketika ia membaca undangan tersebut.
“Lo mau tunangan sama dea ?” tanya rio dengan mata masih menatap undangan tersebut.
“Ya, minggu depan..” ujar rio santai.
“Ify ?”
“Cerita gue udah selesai sama dia, dia tetap memilih sekolah, cita-cita dan prinsipnya, bukan gue yang dia pilih”
“Tapi lo enggak jadiin dea pelampiasan kan ?”
“Enggaklah, ada di deket dia, bikin gue nyaman sendiri. Kaya yang waktu itu gue bilang ke elo, rasa nyaman yang dea kasih, senyaman kaya gue udah kenal lama sama dia. Enggak mudah ngelupain ify yang selama dua tahun jadi tujuan cinta gue, tapi bukan berarti gue enggak akan bisa belajar mencintai dea kan ?”
“Gue cuma bisa ngedukung apapun yang lo pilih dan ikut berdoa untuk pilihan lo”
“Thanks, gue harus balik nih, gue mau fitting jas buat itu..”
“Oh oke, entar gue bilang ke shilla sama nyokap kalo lo kesini”
“Gue berharap sama kehadiran lo dan shilla, tapi jangan di paksain”
“Tenang aja, gue bakal dateng kok..” ujar alvin sambil tersenyum, rio juga tersenyum, kemudian ia keluar dari kamar alvin. Selang beberapa menit kemudian, shilla masuk ke dalam kamar alvin.
“Tadi rio kesini ya ? aku ketemu di koridor tadi” ujar shilla sambil duduk di samping alvin.
“Iya, lagian kamu lama banget sih tadi”
“Tadi aku nemenin mama kamu konsul dulu ke dokter, ini juga aku pamit duluan kesini mau nemenin kamu. Oh ya, rio bilang ada sesuatu, apa ?” alvin menunjuk undangan yang tergeletak di meja samping tempat tidurnya, shilla meraih itu, dan ekspresinya hampir sama seperti alvin tadi.
“Ini...”
“Pertunangan rio sama dea, minggu depan” timpal alvin.
“Terus ify ?”
“Ya ify tetep ify, dia lebih milih cita-citanya di banding rio”
“Ify hebat ya, dia bahkan enggak goyah walaupun harus relain hatinya sendiri” alvin hanya mengangguk setuju dengan perkataan shilla.
“Sayang kita enggak bisa dateng ya..” ujar shilla sambil memandang kembali undangan di tangannya.
“Kata siapa kita enggak bisa dateng ?”
“Kan kamu...”
“Jadi menurut kamu aku enggak bisa dateng karena kondisi aku kaya gini, iya ?!” tanpa sadar, intonasi alvin meningkat, shilla langsung menunduk dan menggigit bagian bawah bibirnya.
“A..aku..enggak maksud kaya gitu..aku..” shilla ingin memberikan alasannya, tapi suaranya malah terbata-bata. Alvin langsung menyesali tindakannya tadi, ia meraih tangan shilla dan menggenggamnya.
“Maaf shil, aku tahu kok kamu cuma mikirn kondisi aku, tapi percaya deh, aku enggak apa-apa dan enggak akan kenapa-apa. Kita bakal datang berdua dan ngelihat rio sama dea, oke..” seketika itu juga, shilla mengangkat wajahnya dan tersenyum ke arah alvin.
“Vin, tadi mama kamu, dokter sama aku udah sepakat, kita bakal bawa kamu ke singapur, secepatnya” terang shilla sepelan mungkin, ia tahu kondisi psikis alvin sedang labil saat ini.
“Buat apa ? bukannya dokter sendiri yang bilang kesempatan hidup aku kecil banget, enggak ada lagi yang bisa di lakuin sama aku” timpal alvin terdengar pasrah. Shilla mendekatkan wajahnya ke alvin, membuatnya hanya tinggal beberapa cm saja.
“Sekecil apapun kemungkinan itu, kita harus coba semua peluang yang ada kan ? kalo kamu enggak mau ngelakuin ini untuk kamu, tolong lakuin ini untuk aku, aku belum siap kehilangan kamu, sama sekali belum siap” dua butir hangat menetes di pipi shilla.
“Hei jangan nangis..” dengan jempolnya alvin menghapus air mata shilla. “Aku bakal lakuin ini, apapun yang kamu mau, semuanya, sebelum aku enggak bisa wujudin impian-impian kamu lagi” sambung alvin. Shilla tersenyum tipis, hatinya merasa miris, tidak ada lagi sorot semangat yang terpancar dari  kedua mata bening alvin, semakin shilla memandang jauh ke dalam, semakin redup cahaya yang ada.
“Jangan ngedahuluin takdir vin, aku enggak peduli sama apapun, aku cuma mau, kamu sama aku disini, dan kita bahagia berdua, itu semua udah cukup buat aku”
“Bukannya kamu sendiri yang bilang, kalo kamu lebih suka sad ending ?” hati shilla mencelos. Alvin benar, ia memang seorang yang lebih suka menyaksikan film atau membaca novel yang berujung sedih, tapi bukan berarti sekarang ia ingin menjadi bagian dari sad ending itu sendiri.
“Bukannya waktu itu aku juga bilang ke kamu, kalo aku selalu berharap happy ending buat kisah kita”
“Mungkin saat itu Tuhan cuma mencatat kata-kata kamu yang pertama” sahut alvin.
“Vin..aku...”
“Udah, aku yakin ini memang udah jalan hidup aku kok. Enggak ada hubungannya sama itu semua, yang jelas sekarang, aku masih pengen kamu disini, ngelihat kamu disini, di samping aku, sebelum aku enggak bisa lihat kamu sama sekali” ujar alvin sambil tersenyum, shilla meletakkan kepalanya di dada alvin, dan tangan alvin mengelus-elus rambut shilla yang panjang tergerai.
***
Dan waktu terus bergulir dengan caranya, melontarkan detik yang terajut menjadi menit tersimpul menjadi jam dan terkumpul membentuk hari, begitu terus berputar mengikuti alurnya. Shilla yang selalu setia menemani alvin di rumah sakit. Cakka yang tidak bisa menemui agni, di rumah ataupun di sekolah. Via yang tetap usaha untuk bertemu iel, meski iel terus menolak kehadirannya. Ify yang memilih menghabiskan waktunya untuk merenung, berdoa tentang jalan yang telah ia ambil. Serta rio yang sekuat hati memantapkan pilihan yang akan ia tempuh untuk kehidupannya mendatang.
***
Sambil menatap kaca di hadapannya, rio membetulkan jas yang ia kenakan. Malam ini, ia akan memulai babak baru hidupnya, membuka lembaran baru kisahnya, dan apapun yang terjadi, rio sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk bertanggung jawab atas semuanya. Rio melangkah keluar kamarnya, acara ini ini memang diadakan di halaman belakang rumah rio yang luas, lagipula hanya kerabat dekat saja yang di undang.
Langkahnya terhenti di depan kamar yang rio tahu di gunakan oleh dea. Tangannya terangkat ingin mengetuk pintu, tepat saat pintu itu terbuka dengan sendirinya. Dea berdiri di ambang pintu, menatap ke arahnya sambil tersenyum. Rio sedikit pangling, dea terlihat berbeda malam ini di matanya, tampak lebih manis dan menarik di banding biasanya.
“Cantik de..” puji rio spontan, dea hanya tersenyum tipis.
“Thanks yo. Lo yakin kan sama ini semua ?” lagi-lagi dea menanyakan hal yang sama, pertanyaan yang dea ulang ribuan kali dalam seminggu ini.
“Apa ada keragu-raguan yang lo lihat di mata gue ?” tanya rio balik.
“Masih ada waktu buat mundur yo”
“Dan gue enggak akan dapet apa-apa. Percaya de sama gue, gue enggak akan ngecewain lo dengan ngajak lo masuk ke dalam kehidupan gue” dea menatap mata rio, ada kesejukan disana, kesejukan yang siap mengalir memenuhi relung-relung hati dea, ia hanya ingin memastikan, sebelum ia terlibat terlalu jauh dan tidak bisa lagi menarik waktu.
“Gue cuma...”
“Bukannya udah gue bilang, elo pantes buat gue cintai. Mau turun sama gue ?” tawar rio sambil menyodorkan tangannya untuk dea genggam, dea tersenyum dan menyahut tangan itu, lantas mereka turun berdua, menyambut tamu-tamu yang telah hadir di bawah.
Berkali-kali shilla menyapukan bedak di wajahnya, terutama di bagian bawah matanya. Semua itu ia lakukan semata-mata untuk menutupi lingkaran hitam yang ada di bawah matanya, efek kebanyakan menangis dan begadang menemani alvin. Ia ingin terlihat cantik malam ini, bukan untuk rio ataupun dea, tapi untuk alvin.
“Shil, alvin udah dateng nih..” panggil mamanya, shilla menatap wajahnya sekali lagi, merapikan dress putih yang ia kenakan, kemudian keluar dari kamarnya untuk menemui alvin.
“Ya udah ma pa, shilla sama alvin berangkat duluan ya, nanti kita ketemu disana” pamit shilla.
“Berangkat dulu om, tante..” timpal alvin.
“Iya hati-hati ya..” ujar mamanya shilla. Shilla meraih tangan alvin dan menggandengnya. Orang tua shilla menatap punggung mereka yang semakin menjauh, prihatin sekaligus bangga, prihatin karena kondisi alvin dan bangga akan cara mereka menghadapi ini berdua.
“Aku ganteng kan ?” tanya alvin sambil memamerkan senyuman mautnya.
“Ganteng banget” sahut shilla. Meski jas yang alvin pakai terlihat kebesaran karena berat badannya yang terus menyusut, meski ada cekungan besar yang terukir dalam di bawah matanya, tulang pipinya yang tampak menonjol, bibir merahnya yang tampak memutih, dan wajahnya yang begitu pucat. Di mata shilla, alvin tetaplah pangerannya yang paling juara.
“Kamu juga cantik banget” puji alvin tulus. Shilla tersenyum.
“Kamu yakin vin mau nyetir sendiri, enggak aku aja nih yang bawa ?”
“Ayolah shil, lagian tadi aku juga nyetir dari apartemen ke rumah kamu selamat kan ? mumpung aku masih bisa nyetir sebelum...”
“Stop vin, jangan lanjutin kata-kata kamu. Besok kita bakal berangkat ke singapur, kamu bakal di tanganin sama dokter hebat disana, dan kamu akan sembuh” potong shilla cepat, ia tidak suka dengan kata-kata alvin yang akhir-akhir ini menjurus ke kematian. Alvin hanya tersenyum tipis, sambil tetap melajukan mobilnya.
Meski berdiri di tengah kerumunan banyak orang, toh cakka tetap merasa sendiri saat ini. Tadinya ia sangat berharap dapat menemukan agni di acara pertunangan ini, tapi setelah mencari sejak tadi, cakka tidak mendapatkan hasil apapun. Berkali-kali cakka ke rumahnya, rumah itu nampak kosong, setiap cakka bertanya ke via di sekolah, via hanya menggeleng, dan cakka tidak cukup tega untuk bertanya pada shilla yang akhir-akhir ini tampak tidak bernyawa di sekolah tanpa alvin disisinya.
“Ify !” panggil cakka sambil melambai-lambaikan tangannya ke arah ify yang langsung menghampiri dirinya.
“Hai kka..”
“Gue salut lo mau dateng kesini” ujar cakka jujur, ify hanya tersenyum tipis. Seandainya cakka tahu, perlu berjam-jam baginya hanya untuk menyiapkan mental datang ke acara ini.
“Fy, gue maua nanya, dan tolong kalo lo tahu lo jujur sama gue, dimana agni sekarang ?” ify memandang cakka, belum pernah temannya yang satu ini tampak memelas seperti sekarang.
“Agni yang minta buat ngerahasiain ini semua, tapi dia bilang, dia ninggalin surat buat lo”
“Surat ? mana ?”
“Enggak sama gue, kalo dari yang gue tangkep sama ceritanya agni, dia udah ngasih surat itu ke elo sendiri secara enggak langsung” cakka terhenyak, kata-kata ify tadi membuatnya teringat satu hal.
“Gue duluan ya fy, sampaiin ke rio, congrats buat dia” pamit cakka cepat sambil berlalu pergi meninggalkan ify sendiri.
“Ify, sabar ya..” tiba-tiba via datang ke arahnya dan langsung memeluknya, membuat ify sedikit terkekeh.
“Enggak seburuk yang lo kira vi” via tersenyum tipis, karena sesempurna apapun ify berakting, pancaran matanya tidak dapat menyembunyikan kesedihan yang mendalam.
“Hai semuanya..” ify dan via menoleh, dan mereka agak takjub, melihat shilla dan alvin, terlebih-lebih untuk alvin.
“Biasa aja kali lihatin guenya” ujar alvin yang ngerasa, ify dan via kompak tersenyum.
“Gimana keadaan lo vin ?” tanya ify.
“Ya kaya gini aja” jawab alvin enteng.
“Ehm, fy, lo enggak apa-apa kan ? enggak marah sama gue kan ?” tanya shilla takut-takut, ify menggeleng kemudian memeluk shilla.
“Marah buat apa coba, lo enggak salah kok” shilla tersenyum mendengarnya.
“Kalian semua ada yang lihat iel enggak ?” tanya via pelan-pelan, tidak bermaksud merusak suasana ini.
“Tadi gue ketemu dia lagi ambil minum disana vi..” ujar alvin sambil menunjuk ke arah lain.
“Oh oke, gue kesana dulu ya..”
“Selamat malam kepada para tamu undangan yang terhormat, malam ini adalah malam yang sangat membahagiakan bagi kita semua, kepada para buah hati kami, rio dan dea diharapkan naik ke atas panggung,  untuk acara penyematan cincin..” papa rio yang bertindak sebagai tuan rumah, memulai acara. Rio dan dea bergandengan naik ke atas panggung, sesaat sebelum naik, rio mengalihkan pandangannya, dan matanya langsung menatap sosok ify.
Ify sedang memandang ke arah panggung menyimak kata-kata yang disampaikan oleh papanya rio tepat ketika mata rio menyapa matanya, membuat mata mereka berdua saling bertatap-tatapan. Ify berusaha menegarkan hatinya, melakukan seperti apa yang selama ini sudah ia coba pelajari sebelum datang kesini.
Dengan di saksikan oleh berpasang-pasang mata tamu undangan, rio memasangkan cincin emas putih bermatakan berlian kecil di jari dea, begitupun sebaliknya. Kemudian tanpa dea duga dan tanpa terencana sebelumnya, rio mendekat ke arah dea dan mengecup kening dea, membuat pipi dea bersemu merah.
“Gue ke toilet bentar ya..” pamit ify langsung berlari meninggalkan shilla dan alvin begitu saja. Shilla menatap kepergian ify dengan sedih.
“Sepintar apapun dia, dia tetap seorang cewek” celetuk alvin yang diberi anggukan oleh shilla.
“Semoga ify enggak akan pernah menyesal sama keputusannya untuk melepaskan rio..”
“Semoga. kamu mau dansa sama aku cantik?” tawar alvin ketika musik lembut mulai mengalun. Shilla hanya tersenyum, alvin meraih tangan shilla dan meletakkan di pinggangnya, sementara ia sendiri mengalungkan kedua tangannya di pundak shilla, tidak butuh waktu lama, mereka berdua langsung berbaur seirama dengan musik, menciptakan kebahagian mereka sendiri, dan seperti biasa membuat siapapun yang melihat mereka akan merasa iri.
Setelah mencari kesana kemari, akhirnya via dapat menemukan sosok jangkung iel. Tanpa membuang waktu, via langsung mendekati iel.
“Yel, aku mau ngomong sama kamu..” seolah tidak melihat keberadaan via, iel malah berjalan meninggalkan via.
“Iel, tunggu..” tidak abis akal, via menarik tangan iel.
“Lepas !” tampik iel kasar.
“Tolong yel, sekali aja..” ujar via lagi. Iel tetap tidak menggubrisnya, ia terus berjalan menjauh dari via, menuju parkiran mobil. Bukan berarti via menyerah, ia juga terus, mengikuti iel. Langkah iel semakin cepat, dan ia masuk ke dalam mobilnya.
“Yel..buka..iel..” bujuk via sambil menggedor-gedor kaca mobil iel.
“Brummm..” iel menjalankan mobilnya, via langsung berlari ke arah mobilnya, dan juga mengemudikan mobilnya, mengikuti iel, ia tidak akan menyerah sekarang.
Berbeda dari suasana di rumah rio yang begitu ramai, suasana kamar cakka terasa begitu sunyi. Cakka memandangi secarik kertas yang ada di genggaman tangannya, surat yang agni letakkan di dalam kardus sepatu yang memang tidak cakka buka.
Cakka..
Kira-kira dimana ya gue saat lo baca surat ini ? hehe
yang jelas gue yakin, pasti hari ini gue bakal ngerasa bahagia banget, karena gue ngabisin waktu seharian ini jalan sama lo..
Maaf, kalo gue ngajakin lo jalan berdua, selain karena gue emang kangen sama elo, ini juga hari terakhir gue di jakarta. Setelah jalan sama lo nanti, gue harus berangkat ke asrama dan besok paginya, gue bakal terbang ke singapur. Oh ya, gue belom cerita ya ? gue dapet beasiswa basket di singapur..
Bukannya gue enggak mau pamit sama lo langsung, gue cuma enggak mau ada air mata yang harus tumpah, gue juga pamit ke anak-anak lewat telpon kok..
Tentang masalah kita, maaf lagi, bukan gue mutusin ini secara sepihak, sejujurnya gue nungguin elo buat ngambil tindakan untuk masalah kita, dan gue sedikit kecewa karena elo milih buat terus-terusan ngehindarin ini ketimbang nyelesein ini. akhirnya gue putusin buat gantungin semua keputusan sama hasil beasiswa gue, kalo gue lolos, gue harus ikhlasin cerita kita selesai disini, tapi kalo gue gagal, berarti gue akan tetap ada di samping lo..
Dan ternyata takdir emang belum berpihak sama kisah kita kka. Gue masih sayang sama lo, tapi ini jalan yang udah gue ambil, gue harap elo enggak keberatan sama ini semua. Jangan pikir gampang buat gue ngadepin ini, satu setengah tahun selalu ada elo di samping gue, enggak semudah itu gue tepiin gitu aja..
Gue enggak tahu perasaan lo sama gue gimana sekarang, tapi tingkah laku lo yang terus menjauh dari gue, bikin gue narik kesimpulan, kalo memang udah enggak ada gue di dalem hati lo lagi..
Enggak ada maksud apa-apa gue balikin semua barang dari lo ke gue. Tepat kepergiaan gue ke singapur, keluarga gue juga pindah ke jogja, dan gue enggak mungkin bawa barang-barang itu kesini, jadi gue mutusin buat ngirim balik barang-barang itu ke elo, sekaligus biar bikin gue gampang lupain semua tentang kita..
Gue yakin lo bakal baik-baik aja, kalo lo udah punya pengganti gue nanti, jaga dia dengan benar ya, cukup gue yang lo sakitin berkali-kali..
Agni. 
Bila ada kata yang tepat untuk menggambarkan perasaan cakka sekarang, hanya satu, yaitu penyesalan.
Tanpa mempedulikan pasangan lain yang telah berhenti berdansa sejak tadi, alvin dan shilla terus mengikuti irama mereka sendiri. Seolah-olah, inilah kesempatan akhir untuk mereka, inilah kenangan akhir yang dapat mereka berdua torehkan.
Alvin memandang shilla lekar-lekat, seandainya ada kata yang mampu melukiskan apa yang alvin rasa, perasaan tentang rasa sayang yang dalam bercampur dengan ribuan kata terimakasih dan maaf. Shilla merekatkan dirinya dan alvin, membuang jarak yang ada, menyenderkan kepalanya di pundak alvin, dan berharap dalam hati akan terus seperti ini selamanya.
Tiba-tiba semua terasa berputar di hadapan alvin, perutnya kembali terasa di remas-remas bahkan jauh lebih hebat daripada sebelumnya. Shilla merasa tubuh alvin semakin memberat, dan kemudian merosot perlahan dari pelukannya.
Layaknya berada di arena balap, mobil iel dan via sama-sama melaju kencang, beberapa kali via hampir berhasil menyamai posisi mobilnya dengan mobil iel, tapi iel selalu saja bisa mempercepat laju mobilnya kembali.
Tepat di perempatan, iel langsung menggas mobilnya dengan kecepatan penuh, meski rambu lalulintas telah menampakkan warna kuningnya yang menyala. Begitupun dengan via yang nampaknya tidak sadar dengan apa yang ada di sekitarnya karena matanya hanya tertuju pada iel di depannya.
“BRAAKK !!” suara dentuman antara baja dengan baja, membuat iel reflek menginjak rem mobilnya, dan tubuhnya langsung bergetar hebat, melihat apa yang di tangkap oleh kaca spionnya.
***
Ify’s POV
Aku masih saja berdiri di dalam sini, tidak mempedulikan waktu yang terus berjalan, ternyata ini semua tidak semudah yang aku kira, aku tidak sekuat itu untuk melihatnya bahagia.
Dalam pantulan cermin di hadapanku ini, aku melihat sosok yang berbeda. Wajahnya tampak sama dengan wajahku, tapi ia terlihat terlalu lemah, atau aku memang selemah itu ? Bukan aku tidak ingin memilikinya, percayalah aku sangat mencintainya. Aku memiliki cita-cita dan dia memiliki kehidupan. Mengapa aku harus bertemu dengannya yang ber-ego sama keras seperti aku. Bolehkah aku sedikit berharap, semoga di kehidupan mendatang, kita bisa benar-benar bersama.
Setelah membasahi wajahku dengan air entah untuk keberapa kalinya, akhirnya aku putuskan untuk keluar dari sini. Aku bingung, mengapa pesta ini tampak jauh berbeda dari sebelum aku tinggalkan ke toilet. Mengapa ada suasana yang begitu hening sekarang ?
Ku lihat, orang berbondong-bondong berjalan ke arah depan rumah, aku pun mengikutinya, dan alangkah terkejutnya aku, melihat alvin yang pingsan dan shilla yang tampak terguncang, tanpa memikirkan apapun, aku langsung ikut masuk ke dalam mobil, mememluk shilla yang tangisnya hanya tinggal isakan saja.
Cakka’s POV
Masih ku ingat kecupan terakhirnya di pipiku. Dan kini semua itu lenyap karena kebodohanku. Ku raba pundakku, tempatnya biasa bersandar. Aku rindu aroma tubuhnya. Tuhan mengapa aku bodoh sekali. Bisakah aku meminta kesempatan kedua untukku, ehm bukan, bisakah aku meminta satu kesempatan lagi, kali ini saja, aku hanya ingin mengucapkan maafku untuknya.
Sekarang rasanya tubuhku penuh dengan penyesalan. Mengapa aku tidak menahannya ? mengapa aku malah membiarkannya lepas begitu saja ? mengapa aku bisa sebodoh ini ? inikah karma untukku ? inikah ganjaran yang tepat untukku karena telah menyia-nyiakannya ?
Dan saat ini aku baru mengerti, bahwa aku masih mencintainya, bahwa aku masih menginginkannya untuk ada disisiku, bahwa aku tidak pernah benar-benar sanggup kehilangannya.
“Drrttt...drttt..”
From : rio
Rs mulya sari, alvin kritis.
Aku telah kehilangan bidadariku, dan aku tidak ingin kehilangan sahabatku juga, sambil menyambar kunci mobil, aku langsung bergegas menuju rumah sakit.
Shilla’s POV
Tubuhnya tampak benar-benar pucat sekarang, selang-selang yang sesungguhnya tidak dapat menambah umurnya, di jejalkan hampir di seluruh badannya. Aku hanya bisa menggenggam tangannya yang dingin dan melantunkan doa dalam hati.
Aku belum siap kehilangan dia Tuhan, belum saat ini, aku masih ingin bersama alvin, seterusnya hingga nanti. Tolong jangan berhentikan waktunya sekarang Tuhan, jangan sekarang, aku masih ingin tersenyum untuknya dan membahagiakannya.
Karena merasa jari jemari alvin yang aku genggam bergerak-gerak, aku langsung mendekatkan wajahku ke arahnya, dan matanya mulai terbuka perlahan-lahan, bibirnya nampak bergerak-gerak, tapi masker oksigen yang menutupinya membuat aku tidak mengerti apa yang ingin ia ucapkan.
Aku menatap wajah putihnya, melihat butiran keringat yang menetes deras dari pelipisnya. Meski bibirnya tersenyum, tapi rahangnya mengeras menahan sakit. Aku hanya dapat menggenggam tangannya. Tidak ada lagi air mata mengalir, meski dadaku sesak bukan main melihatnya seperti ini. Demi apapun aku rela menukar tempatku dengannya bila Tuhan mau mengijinkan itu.
Bibirnya terus bergerak-gerak, tampaknya ia ingin berbicara denganku. Meski takut membahayakan kondisinya, aku beranikan untuk melepas masker oksigen itu.
“Sh..shil..la..” aku mendekat ke arahnya, suaranya terdengar begitu lemah.
“A..aku..sayang..sa..ma..kamu..” dadaku bertambah sesak mendengarnya, aku mengeratkan genggaman tanganku.
“Aku juga sayang sama kamu alvin, mama kamu lagi ngurus semuanya, malem ini juga kita terbang ke singapur ya..” dia nampak tersenyum ke arahku.
“Aku se..neng..ma..sih..bisa..li..hat..kamu..”
“Sstt..jangan banyak ngomong alvin, aku pakein lagi ya ininya..” aku berniat memakaikannya masker oksigen lagi, karena napasnya yang mulai tersengal-sengal, tapi ia malah menggeleng.
“Pe..luk..a..ku..” pintanya masih tetap sambil tersenyum, meski dari keringat yang terus mengucur di pelipisnya, menandakan rasa sakit itu sedang menyiksanya saat ini. Aku mengikuti permintaannya, aku letakkan kepalaku di atas dadanya, aku dekapkan tanganku di tubuhnya.
“Sa..kit shil..” aku semakin mengeratkan tanganku, suara degup jantungnya berdetak terlalu cepat, menderu-deru tidak karuan.
“Dingin..” timpalnya lagi. Aku hanya bisa terus memeluknya, sambil memejamkan mataku, berharap sebagian rasa sakitnya dapat berpindah ke tubuhku.
“Kamu kuat vin, kuat, aku ada disini untuk kamu” ujarku mencoba menyemangatinya.
“Di..ngin..” ulangnya sekali lagi, tampaknya kesadaran mulai menipis saat ini, degup jantung yang tadi berdetak cepat, kini tiba-tiba melambat, aku melirik ke arah monitor, garisnya mulai melemah. Aku mengangkat badanku, melepaskan pelukanku untuknya. Aku menatap matanya yang mulai nampak meredup.
“Alvin..alvin..” panggilku berkali-kali, berharap suaraku dapat menahannya. Dia mulai tidak meresponku, aku genggam tangannya yang kali ini terasa jauh lebih dingin.
“Alvin ! alvin !” panggilku lebih keras, tapi matanya malah terus meredup, dan akhirnya terpejam.
“ALVIN !!” raungku sambil memeluk badannya lagi, dan sudah tidak ada detak jantung sama sekali disana.
Iel’s POV
Sivia masih ada di dalam ugd dan aku sama sekali tidak tahu keadaanya saat ini. Aku tidak mengerti kondisinya saat ini. Aku pandangi tubuhku yang penuh darah via, darah saat aku mengangkatnya sendiri dari dalam mobilnya yang tertabrak truk biadab itu. Mata via telah terpejam saat aku mengangkatnya, tapi aku ingin terus optimis saat ini, aku tidak mau berandai-andai kemungkinan terburuk.
Aku menatap sebuah benda persegi panjang bersampul coklat yang tadi di temukan warga yang membantuku di jok belakang mobil via. Dengan bergetar, aku buka kertas coklat itu, dan hatiku langsung merasa terenyuh saat melihat apa yang ada di dalam figura itu.
Kumpulan dari foto-foto yang disusun dan di buat sedemikian rupa membentuk kata ‘maaf’. Dia melakukan ini untuk meminta maaf padaku dan aku malah menolaknya berkali-kali. Di sana, ada banyak fotonya, ada juga foto, shilla, ify, agni, alvin, rio dan cakka. Astaga Tuhan, jadi ini yang ia lakukan saat itu bersama cakka, jadi aku telah terlalu jauh salah paham padanya.
“Keluarga sivia azizah..” aku langsung berdiri menghampiri suster, orang tua via masih dalam perjalanan.
“Saya pacarnya sus, gimana keadaan dia ?” suster itu menatapku iba, kemudian ia memberi kode agar aku masuk saja ke dalam. Perasaan tidak enak langsung menyergapku dari segala arah, aku masuk, dan menemukan sesosok tubuh yang telah di tutupi kain putih dari ujung kepala hingga kakinya.
“Mana pacar saya sus ?” tanyaku pada suster yang ada di belakangku, berharap bukan sosok itu yang ia tunjuk. Tapi harapanku pupus seketika, ketika ia malah menuntunku menghampiri tubuh yang telah tak bernyawa itu. Sekujur tubuhku seperti mati rasa, aku membuka penutupnya, dan bersimpuh di samping via.
“Maafin aku vi, maaf..aku masih sayang sama kamu..” bisikku, hanya itu yang mampu keluar dari bibirku.
“Mas ini..” suster tadi memberiku sebuah kantong plastik bening yang isinya sebuah kalung, aku tahu itu kalung berbandul cincin yang dulu aku berikan untuknya. Aku berdiri, aku masih ingin melihatnya tapi tidak untuk saat ini, dengan terseok-seok aku keluar dari ruangan itu, dan duduk di bangku yang tadi juga aku tempati.
Seumur hidupku, di mulai dari detik ini. Aku yakin, aku akan terbenam dalam rasa bersalah. Saat ini, otakku hanya di penuhi oleh beribu kalimat yang di mulai dengan kata seandainya. Aku paham, menyesalinya tidak akan membuat semua berjalan seperti yang aku mau. Tapi aku berani sumpah, ini bukan keinginanku. Aku akan selalu mengingat senyumnya dan berharap masih dapat menemuinya nanti.
“Iel..” sebuah suara familiar memanggilku, aku mengangkat kepalaku, dan menemukan cakka di hadapannku.
“Lo kenapa ? kok berdarah ? gimana alvin ?” aku hanya bisa menggeleng.
“Lo kenapa ?” ulang cakka lagi kali ini sambil mengoyang-goyangkan tubuhku.
“Via kka..via..dia udah meninggal..” jawabku lirih, dan sebutir air mata menetes di pipiku. Cakka menatapku tajam, tapi ia tidak bertanya lagi, ia memelukku sambil menepuk-nepuk pundakku.
***
Nyanyian pilu yang menyayat hati, mengantar kepergian alvin dan via. Dua orang anak manusia, yang harus mengakhiri perjalanan mereka yang baru sejenak, di usia yang masih sangat muda, tujuh belas tahun.
Isakan tangis terdengar dimana-mana, semerbak wangi bunga, seolah melukiskan rasa rindu meski baru sejenak mereka berdua pergi.
Shilla terus memegang nisan alvin, tidak ada isakan ataupun air mata yang tumpah. Tatapan matanya tampak kosong, terlalu menyedihkan untuk dilihat. Jiwanya tampak tidak stabil, ia kehilangan separuh napasnya, orang yang selalu ada untuk menemaninya dan menghujaninya kasih sayang, alvin.
Tidak jauh berbeda dengan shilla, iel terus membelai nisan via. Rasa bersalah masih terus mengendap di hatinya. Ia masih belum bisa menerima kenyataan ini. Tangannya yang lain, menggenggam erat kalung milik via, sorot matanya nanar, lirih dan terlihat pedih. Gadisnya telah pergi, membawa raga, cinta dan hatinya, hanya meninggalkan sebuah rasa, pemyesalan.
Rio, ify dan cakka juga ikut sedih melihat keadaan mereka. Tidak pernah ada dalam mimpi paling buruk mereka sekalipun, akan kehilangan dua sahabat mereka dalam waktu yang bersamaan. Meninggalkan mereka menuju keabadiaan yang kekal dan abadi.
Rio merengkuh shilla dalam pelukannya “Nangis shil, kalo emang lo mau nangis”.
“Enggak harus ada air mata yang tumpah untuk ngelepas orang yang kita sayang yo, gue cuma mau ngenang alvin pakai senyum gue” jawab shilla lirih, rio langsung memeluknya seerat mungkin, ia tidak sampai hati melihat sahabatnya begini.
“Rasanya masih nyesek buat gue kalo inget pertemuan terakhir gue sama via, gue masih marah dan ngebentak dia” desah iel pelan, cakka menghampiri iel, ikut berjongkok di sampingnya.
“Setiap perpisahan memang selalu menyimpan luka yel, apalagi kalo kita ngerasa punya salah, tapi bukan berarti hidup kita harus selesai sampai disini, kita masih di kasih umur, karena Tuhan mau ngasih kita kesempatan sekali lagi untuk nebus semua kesalahan kita” hibur cakka, meski ia sendiri masih belum bisa menahan rasa sesalnya akan keputusan agni.
“Yang namanya penyesalan memang akan selalu datang terlambat, itu manusiawi banget. Tapi siapa yang tahu sih sama garis tangan dan nasib yang kita punya. Selama kita masih sama-sama dan saling melengkapi satu sama lain, gue yakin kok, sekenceng apapun badai yang menghadang di depan, kita bisa ngelewatin itu bersama-sama” timpal ify. Cakka tersenyum ke arah ify, ia berdiri dan mengulurkan tangannya ke iel, iel menyambut tangan itu, lalu cakka melingkarkan tangannya yang satu lagi di pundak ify. Shilla melepaskan pelukannya dari rio, ia meraih tangan ify dan tetap menggenggam tangan rio disisi satunya.
Mereka tersenyum ke arah nisan alvin dan via, dan yakin juga, agni sedang ada di dekat mereka saat ini, meski raganya berkilo-kilo jauhnya.
Cinta mereka boleh berakhir masing-masing, hidup mereka boleh berhenti sampai disini, kisah mereka boleh sampai di halaman terakhir. Tapi takdir mereka, masih akan terus bergulir ke depan, membentuk kisah baru lagi, memulai cerita baru kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Koneksi Antar Materi Modul 3.1 - "Pengambilan Keputusan sebagai Pemimpin Pembelajaran"

    Pada hakikatnya, dalam membuat keputusan, kita sebagai pemimpin seyogjanya harus mengutamakan nilai-nilai kebajikan dan kebutuhan pesert...