Gadis itu pulang, Kak. Kakak seneng, kan?" Acha berjalan memasuki ruangan bernuansa hijau cerah itu. Lalu duduk di tepi tempat tidur Alvin—kakaknya—setelah sebelumnya meletakan baskom berisi air hangat di meja di samping tempat tidur. Ia menatap lekat Alvin, lantas membiarkan tangannya yang lembut itu dengan telaten mengelap wajah Alvin dengan handuk kecil yang ia bawa bersama air kompresan tadi.
"Katanya kangen gadis itu, tapi kok tidur terus? Dia cuma punya jatah
seminggu doang di sini, Kak," gumam Acha tanpa menghentikan
pekerjaannya. Mengompres tubuh Alvin yang tetap mematung layaknya mayat
hidup. Acha meringis mengakui semakin kecilnya tubuh itu, hingga tulang
rusuknya seperti hendak berebutan keluar. Air mata Acha terbendung
sempurna.
Dua minggu ini, Kakak semata wayangnya itu tak sadarkan diri,
tertidur lama. Koma, begitulah tim medis menyebutnya. Virus yang
mengambil alih fungsi tubuh Alvin, membuat Alvin terseret menuju dunia
asing dan tak ada tanda-tanda ingin kembali. Ia sudah berjalan jauh
menuju satu titik cahaya yang akan mengantarkannya menuju pintu Tuhan.
Dan mungkin hanya beberapa langkah lagi sampai kaki itu benar-benar
berpijak di atas cahaya terang yang jadi tujuannya.
Dan gadis itu. Gadis bernama Sivia yang selalu Acha angankan menjadi
sang puteri yang mampu membangunkan pangeran dari tidur panjangnya itu.
Sivia, gadis berwajah cantik yang selalu Alvin amati di balik jendela
kamar ini. Gadis yang Alvin kagumi. Gadis yang tidak pernah tahu, ada
Alvin yang begitu mencintainya.
Acha menoleh dengan cepat keluar jendela begitu ketipak-ketipuk
suara sepatu dengan langkah pendek mengusik indera pendengarannya. Ia
mendekat ke arah jendela. Gadis itu, gadis berpipi chubby, bermata sipit
dan beralis tebal itu. Sivia. Baru hari ini setelah tiga hari kembali
dari Aussie ia dengan langkah khasnya terlihat lagi di sekitar rumah
gedong itu. Sayang, Alvin tidak melihatnya. Padahal Acha yakin, jika
Alvin melihatnya, pancaran keceriaan gadis itu akan menular padanya.
Membuat Kakaknya itu kembali bersemangat seperti sebelum gadis itu pergi
ke Aussie untuk melanjutkan study-nya.
Acha buru-buru bersembunyi di balik dinding saat Sivia iseng berhenti
dan terlihat menoleh ke arahnya. Ia mengerutkan kening. Sepertinya ia
merasa diawasi. Raut wajahnya tampak kecewa, tapi setelah itu ia kembali
tersenyum dan melanjutkan langkahnya, meloncati genangan air bekas
hujan tadi pagi dengan ceria.
"Aku ingin kenal dia." Gumam Acha kembali membalikkan badan setelah tubuh berisi Sivia tidak lagi tertangkap penglihatannya.
"Sungguh gadis energik." Acha membereskan alat-alat yang sudah
dikenakannya. Ia kembali mengancingkan kemeja Alvin, sebelumnya ia
menatap prihatin tubuh yang sudah ditempeli alat-alat medis itu. Kamar ini sudah seperti UGD saja! Batinnya sedih.
*
"Gak bisa! Gak boleh, Ma, Pa! Kalian gak boleh nyerah. Acha yakin Kak
Al bisa bangun lagi! Acha akan buat Kakak bangun lagi, Ma. Mama sama
Papa gak boleh relain Kakak pergi gitu aja!" Acha menangis histeris.
Tidak menerima keputusan orangtuanya yang sudah memutuskan untuk melepas
semua alat medis yang menemani Alvin selama ini.
Wanita paruh baya itu langsung mendekap tubuh mungil Acha. Membiarkan gadis kecil itu tenang dalam dekapannya.
"Beri Acha waktu, Ma. Seminggu saja untuk buat Kak Al bangun lagi.
Acha yakin, Acha bisa! Acha mohon, Ma," isak Acha penuh lirihan. Papa
langsung saja meninggalkan tempatnya. Tak kuasa melihat adegan di
hadapannya. Ia tahu Acha terlampau mencintai Kakaknya itu.
"Kasihan Kakak, sayang." Mama mengelus lembut kepala Acha. Tangis mengiringi tiap desahan nafas yang berhembus.
Dan semuanya bisu...
"Jika tidak, sampai besok saja, Mama..."
*
Dengan gelisah, Acha menunggu gadis itu di balik gerbang rumahnya.
Perasaannya was-was. Ia hanya punya waktu lima belas menit lagi untuk
bertemu dengan Sivia sebelum ia benar-benar kehilangan kakaknya. Lima
belas menit lagi alat-alat medis itu dilepas, dan lima belas menit lagi
Alvin akan benar-benar pergi. Ia harus segera menemukan Sivia. Hanya
Sivia yang akan memberikan keajaiban untuk Alvin dan semuanya.
Sepuluh menit berlalu. Acha merasa kakinya lemas sekali. Air matanya
perlahan meleleh membasahi pipi mulusnya. Ia membiarkan tubuhnya
terduduk, tangannya mengepal besi gerbang rumah kuat-kuat. Terisak
hebat. Sivia tidak akan datang.
Mama hanya menatap lirih gadis kecil itu. Sedih merambat hatinya.
Memeluknya kuat hingga pecah berkeping-keping. Ia terduduk lemas di tepi
tempat tidur Alvin. Dan hatinya pecah lebih hebat melihat putera
sulungnya tak bereaksi sedikit pun. Tetap tenang dan damai dalam lelap
panjangnya. Dan sebentar lagi ia akan membiarkan jagoannya itu menemukan
kedamaian yang sesungguhnya di sisi Tuhan. Ia menangis dan Papa dengan
sigap memeluk erat tubuh lesu isterinya itu.
"Hei!"
Acha mendongak. Menatap siapa yang berjongkok di hadapannya kali ini.
"Kamu kenapa?"
Lembut terdengar suara gadis itu. Sungguh lembut, halus menyapa
gendang telinganya. Senyum cerianya menebarkan hawa positif dalam dada
Acha. Ia buru-buru menghapus air matanya dan segera berdiri. Tersenyum
bahagia. Gadis yang rupanya Sivia itu mengernyit bingung dan ikut
berdiri.
"Kak, ikut denganku!" Dengan semangat, Acha membuka gerbang dan
menarik Sivia masuk ke dalam rumahnya. Sivia hanya pasrah saja mendapat
perlakuan itu. Ia tidak mengerti apa-apa. Ia tidak tahu apa-apa tentang
orang yang menariknya saat ini.
"Aku mohon, Kak, buat Kak Alvin bangun," pinta Acha saat ia masuk ke
dalam kamar Alvin. Serentak, Mama, Papa dan dokter menyingkir, memberi
jalan untuk gadis yang hanya dalam angan Acha, akan memberikan keajaiban
itu.
Sivia membiarkan matanya yang semula hanya terfokus pada Acha untuk
beredar mengelilingi tiap sudut ruangan itu, dan berhenti tepat pada
tubuh kurus yang saat ini terbaring tanpa daya di tempat tidur. Ia
terlonjak kaget. Dadanya spontan dihantam sesak bertubi-tubi. Air
matanya terbendung, dan meluncur tanpa ampun. Perlahan kakinya ia seret
paksa untuk mendekati tubuh itu. Lalu duduk di sampingnya.
"H-hai!" suara seraknya tertahan oleh isak tangis. Ia menarik nafas
dalam-dalam sebelum melanjutkan kata-katanya. "Pantesan aja
kemarin-kemarin aku gak lihat kamu di balik jendela lagi. Rupanya
keadaan kamu seperti ini." Sivia menatap wajah Alvin dalam. Terakhir
kali ia melihatnya, wajah itu masih terlihat segar bugar, meski pucatnya
tetap sama.
"Pas balik dari Aussie, satu hal yang aku inginkan adalah melihatmu
di balik jendela itu." Sivia melempar pandangannya keluar jendela. Dulu
sebelum ia pergi ke Aussie, ia memang tahu kalau ia sering diawasi oleh
seseorang. Dan dia laki-laki di hadapannya kali ini.
"Hei, Al-Alvin!" Ia ragu menyebut nama yang baru dihafalnya itu.
"Bangun yuk! Kali ini aku di dekatmu. Kamu bisa mengamatiku dari dekat."
Perlahan tangan halus Sivia meraih tangan kurus Alvin yang hanya tulang
berbalut kulit itu. Sivia bisa merasakan tulang-tulang yang dulu kokoh
merengkuh orang-orang yang disayanginya itu. Ia menangis.
Alvin tetap bergeming. Tak ada tanda-tanda akan bangun seperti yang
diharapkan Acha. Sivia melihat ada setetes air mata yang muncul di sudut
mata Alvin. Menetes dan melaju perlahan membasahi bantal biru itu. Dan
saat itu lengkingan panjang yang berasal dari monitor pendeteksi detak
jantung Alvin berbunyi dengan begitu keras. Membuat semuanya spontan
mendekat. Tapi tidak untuk Acha. Ia kecewa berat dan terduduk lesu di
pojok kamar. Membiarkan orang-orang itu melakukan apa pun yang mereka
mau. Sivia beringsut mendekati Acha, berjongkok dan memeluknya erat.
"Maafkan aku. Tapi ini bukan dongeng, aku bukan seorang puteri yang bisa membangunkan pangeran dari tidur panjangnya."
Acha terisak hebat. Mengeratkan pelukannya pada gadis itu. Sivia
memang tidak memberikan keajaiban untuk kakaknya dan yang lainnya, tapi
mungkin ia bisa dijadikan sandaran seperti sekarang ini.
"Aku yakin air mata itu air mata bahagia!"
TAMAT.
Bukan siapa yang lebih dekat atau lebih dulu kenal, tapi Siapa yang selalu ada dan tidak pernah pergi :)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Koneksi Antar Materi Modul 3.1 - "Pengambilan Keputusan sebagai Pemimpin Pembelajaran"
Pada hakikatnya, dalam membuat keputusan, kita sebagai pemimpin seyogjanya harus mengutamakan nilai-nilai kebajikan dan kebutuhan pesert...
-
Pada hakikatnya, dalam membuat keputusan, kita sebagai pemimpin seyogjanya harus mengutamakan nilai-nilai kebajikan dan kebutuhan pesert...
-
This film was the first and the last film presented by Jonathan Alvin Heeii. This my first movie... maybe last to... Sebelum dimulai....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar