Antara Kamu, Capucino, dan Hujan..
Aku membuka mataku yang sedari tadi terpejam. Rasanya begitu sulit
terbangun dari mimpi burukku ini. Aah..rasanya ini bukan mimpi. Ini
kenyataan. Kenyataan yang amat menyakitkan. Banyak hal yang hilang sejak
sebulan yang lalu. Aku bahkan merasa ini mimpi. Bukan merasa, lebih
tepatnya berharap. Berharap ini mimpi, sehingga aku bisa bebas dari
mimpi burukku saat aku terbangun di esok pagi. Haha..berharap memang
menyakitkan ketika harapan itu tak menjadi kenyataan.
Segera aku bangkit dari tidurku dan segera menyambar handukku yang
bergambar stitch kesukaanku. Jangan heran bila kamarku bernuansa biru
laut, dan semua isinya adalah Stitch. Karena aku begitu menyukai tokoh
itu. Lucu!
Aku berjalan menyusuri koridor sekolah yang mulai ramai dipenuhi
murid-murid lain. Aku melirik ke samping. Aah..aku lupa. Dia tak ada.
Aku bahkan merasa dia masih ada di sampingku, menemaniku setiap aku
sedih maupun senang. Hm..aku tersenyum pahit. Sadarlah, ini nyata! Bukan
mimpi. Kembali aku focus berjalan. Menepiskan semua fikiran tentangnya.
Sesampainya di kelas, aku mendapati Sivia,teman sebangkuku sekarang
tengah menyalin sebuah buku yang kuyakini adalah PR. Aku langsung duduk
disampingnya setelah menyapanya. Sekedar mengucapkan kata ‘pagi’
untuknya.
Karena bosan, aku mengambil novel yang sengaja kubawa. Sebagai
antisipasi pembunuh rasa bosan. Untung saja aku membawa novel ini. Bila
tidak, mungkin aku sudah mati karena bosan.
**
Huuh..suara bel dari surga sudah terdengar, pertanda sekolah di
bubarkan. Yihaa..! aku ingin segera pulang. Aku mendongakkan kepalaku,
menatap langit yang kelam itu. Awan menggumpal berwarna hitam pekat
sepertinya siap menurunkan pasukan airnya untuk menyerbu bumi tercinta.
Aku tersenyum simpul melihat awan hitam yang justru kebanyakan orang
–mungkin- membencinya. Tapi aku berbeda. Aku justru suka hujan. Hujan
mempunyai banyak kenangan. Kenanganku dengan dia. Seseorang yang berarti
dalam hidupku.
Rasanya aku ingin berlama-lama disini. Menunggu langit menurunkan hujan
yang akan mengguyur bumi. Aku bersandar pada tiang yang ada di depan
kelasku. Sambil tersenyum, aku terus memperhatikan langit diatas sana.
Hatiku tak sabar ingin melihat hujan yang sempat hilang beberapa hari
yang lalu.
“ayolah hujan..segera turun..”pintaku yang terus menatap langit.
Berharap langit menumpahkan air hujan itu. Ayolah..aku tak sabar.
Tiba-tiba ada yang menepuk bahuku. Dengan gerakan refleks, kuputar
tubuhku sehingga mengarah kebelakang, dimana tepukan itu berasal.
“hei, belum pulang? Nanti keburu hujan looh..”ujarnya padaku. Dia adalah
Sivia. Aku tersenyum simpul saat mendengar perkataannya. Justru aku
menunggu hujan,ucapku dalam hati.
“belum. Nanti aja.” Ujarku yang masih tersenyum padanya.
“yaudah, aku duluan ya..” dia melambaikan tangannya kearahku sambil
berlalu dari pandanganku itu. Dia pun menghilang dibalik tikungan di
dekat perpustakaan. Aku kembali mendongak, menatap langit dengan tatapan
berharap. Ayolah hujan..segera turun..pintaku dalam hati.
Tiba-tiba, gerimis pun mulai menyergap. Aku tersenyum lebar melihat
langit mengabulkan pintaku ini. Lama kelamaan hujannya kian deras,
membuatku semakin tersenyum lebar saat ini. Aku memejamkan mataku,
menyegarkan memori otakku tentangnya. Dengan tangan yang kulipat di
dada, aku memutar semua ingatanku dengannya. Karena hujanlah, aku
bertemu dengannya. Dan karena hujanlah aku bersahabat dengannya.
Aku pun membuka mataku. Dengan bibir yang masih tersenyum, aku menyimpan
tasku di dekat tiang dan mulai berlari ke tengah lapangan, menerobos
hujan itu. Tanganku kurentangkan, merasakan betapa indahnya hujan. Aku
pun teringat bagaimana pertemuanku dengannya saat hujan, 3 tahun yang
lalu.
Saat itu, aku tengah menunggu jemputanku di halte bus yang tak jauh dari sekolah.
**Flashback**
Aku terduduk lesu di halte bus. Menundukkan kepalaku sambil menatap
sepatu kets yang aku pakai. Huuh..aku sudah bosan menunggu supir untuk
menjemputku. Ditambah hujan yang deras, membuatku semakin malas
dibuatnya.
Duk.Aku menoleh ke samping, dan mendapati sosok laki-laki yang kukira
seumuran denganku. Aku tak dapat melihat wajahnya karena terhalang oleh
cupluk jaketnya yang berwarna hitam. Aku tak peduli. Aku pun langsung
mengalihkan pandanganku kearah jalan, berharap supirku segera datang.
Bbrr..dingin sekali. Aku pun menggosokkan kedua tanganku, mencoba
menghangatkan tubuhku. Kucoba memeluk tubuhku sendiri, berharap sedikit
kehangatan membunuh rasa dingin ini.
“nih.” Seseorang menyodorkan segelas plastic capucino padaku. Aku
menoleh kesamping dimana anak itu berada. Dengan wajah yang dihiasi
senyum, dia memberikan segelas plastic capucino yang baru saja ia beli.
“gak usah..” tolakku halus.
“gak papa. Kamu kayaknya kedinginan. Aku kan masih punya perasaan.
Nih..ambil aja.” Dia kembali menyodorkan segelas capucinonya padaku.
“tapi kamu? Kamu juga kedinginan kan?”
“aku kan masih pake jaket.”
“tapi jaket kamu basah..” ujarku sambil memperhatikan dandanannya.
Kulihat jaketnya basah. Mungkin dia berlari dari warung menuju kesini.
“gak papa. Ambil aja. Aku tadi udah kok. Aku sengaja belinya dua,
takutnya aku pengen lagi. Eh ada kamu. Aku kasih aja. Nih.” Dia
menjulurkan tangannya yang memegang segelas capucino hangat padaku.
Dengan ragu, ku ambil gelas itu. Kulihat dia tersenyum dan aku pun
membalasnya.
“makasih ya.” Aku menyesap capucino hangat itu. Rasanya memang berbeda.
Meminum minuman hangat saat hujan, begitu nikmat. Sesekali aku meniup
kepulan asapnya yang membumbung keatas.
“nama kamu siapa?” tanyanya. Aku terkesiap saat dia memecahkan
keheningan yang tercipta disini, di halte bus ini. Aku menoleh padanya.
“aku Ify. Kamu?” Dia yang menatap lurus ke depan, menoleh kearahku. Dengan senyum manisnya dia berkata
“aku….Rio.”
**Flashback Off**
Senyumku tak pernah lepas saat mengingat pertemuan manis itu. Aku tak
akan pernah melupakan awal pertemuanku dengannya. Rio, sahabatku. Awal
dimana ku menyukai hujan, awal dimana ku menyukai capucino, dan awal
dimana ku berkenalan dengannya. Awal dari segalanya… Segala kisah manis
yang tertulis di buku takdirku. Terima kasih Tuhan, kau telah
mengirimkannya sebagai sahabatku, pendamping hidupku saat aku sedih
maupun bahagia. Walaupun aku tau, dia sudah tak ada lagi disampingku.
Kurasakan, hujan mulai mereda. Aku berhenti berputar dan menatap langit
dengan tatapan kesal. Tuhan, kenapa hujannya berhenti? Gerutuku dalam
hati. Tapi aku bersyukur, Tuhan masih menyempatkan menurunkan hujan
untukku dan orang yang membutuhkannya. Aku masih bisa mengingatnya di
tengah hujan ini.
Aku pun memilih untuk kembali ke depan kelas hendak mengambil tasku yang
tadi kusimpan. Dengan gerakan cepat, aku menyelempangkan tasku dan
berjalan meninggalkan sekolah tercinta ini.
Aku melihat ke kanan dan ke kiri, hendak menyebrang jalan. Setelah
kurasa cukup aman, aku menyebrangi jalanan yang lenggang itu.
Kulangkahkan kakiku menuju warung yang tak jauh dari sekolah. Aku
tersenyum pada pemilik warung yang biasa kutemui tiap pulang sekolah.
“capucinonya neng?” pemilik warung itu menawarkan capucinonya. Aku
mengangguk. Pemilik warung ini memang sudah tau kebiasaanku bila kesini.
Membeli capucino hangat. Apalagi cuaca begitu mendukung. Setelah
kejadian pertemuanku dengannya, aku menjadi suka dengan capucino. Aku
tak pernah melewatkannya sehari pun. Membeli capucino mungkin bisa
disebut salah satu kegiatanku untuk mengenangnya yang sudah tiada.
Huuft..aku menghela nafasku. Dia memang tiada..sudah tiada..
“nih neng.” Pemilik warung itu menjulurkan tangannya padaku. Aku meraih
capucino itu dari tangan pemilik warung dan memberikan beberapa lembar
uang.
“makasih neng..”ujarnya diikuti senyum.
“sama-sama Bi..” aku membalas senyumnya dan mulai melangkahkan kakiku menuju halte bus untuk menunggu jemputanku.
Aku kembali termenung saat aku sudah duduk di bangku halte bus dimana
aku biasa menunggu jemputanku. Aku melirik kesamping. Bibirku membentuk
sebuah senyuman. Bukan senyuman manis, tapi senyuman pahit. Biasanya dia
selalu menemaniku disini, saat pulang sekolah. Tapi semuanya berubah
sejak 1 bulan yang lalu. Segera kualihkan pandanganku pada gelas yang
ada di genggamanku ini. Menatapnya begitu dalam. Entah apa yang kucari
disana. Tapi yang pasti, untuk menangkan hatiku agar tak bersedih
mengingatnya.
Tin tin..
Kudongakkan kepalaku. Kudapati mobil hitam itu berhenti di depanku. Aku
kenal mobil itu. Segera kulangkahkan kakiku mendekati mobil hitam itu.
**
Sepulang sekolah, aku memilih untuk diam di kamar. Biasanya, aku selalu
bermain dengannya sepulang sekolah. Yah..tapi kini semuanya berubah. Aku
bersyukur, aku masih bisa tersenyum saat dia meninggalkanku disini,
sendirian. Aku sangat merindukannya. Amat sangar merindukannya. Sosok
sahabat yang tak pernah kulupa. Rasanya ingin sekali kucurahkan apa yang
ada di benakku padanya. Tapi tak mungkin, sebab dia tlah tiada.
Kualihkan pandanganku pada gitar yang terletak di sudut kamarku. Sedetik
kemudian aku tersenyum. Aku masih ingat, gitar itu adalah salah satu
barang peninggalannya yang paling berharga. Gitar itu adalah hadiah
ulang tahunku tahun lalu. Aah..aku lupa. Bulan depan aku akan berulang
tahun. Umur gitar itu pun akan mencapai 1 tahun.
Aku pun berjalan mendekati gitar itu. Kuambil gitarnya dan kusimpan di
pangkuanku. Sudah lama aku tidak memainkannya. Mungkin saja rasa rinduku
padanya bisa tertuang dengan bermain gitar ini. Aku masih ingat, aku
sering bermain gitar dengannya di taman yang tak jauh dari rumahku.
Aku mulai memetik senar gitar itu.
Rinai hujan basahi aku
Temani sepi yang mengendap
Kala aku mengingatmu
Dan semua saat manis itu
Segalanya seperti mimpi
Kujalani hidup sendiri
Andai waktu berganti
Aku tetap takkan berubah
Aku selalu bahagia
Saat hujan turun
Karena aku dapat mengenangmu
Untukku sendiri
Selalu ada cerita
Tersimpan di hatiku
Tentang kau dan hujan
Tentang cinta kita
Yang mengalir seperti air
Aku bisa tersenyum
Sepanjang hari
Karena hujan pernah menahanmu
Disini untukku
Aku selalu bahagia
Saat hujan turun
Karena aku dapat mengenangmu
Untukku sendiri
Aku mengakhiri permainan gitarku dengan senyuman yang tak pernah lepas
dari bibirku. Tiba-tiba, hujan mulai turun ke muka bumi ini. Senyumanku
semakin lebar saat mengetahui itu. Tuhan, terima kasih. Kuambil segelas
capucino yang ada disampingku. Kemudian aku meminumnya. Aah..capucino,
dan hujan..
Aku memang selalu senang bila hujan tiba. Seperti lagu itu, aku bisa
mengenangnya kala hujan datang. Hujan sempat menahannya disini, sebelum
ia pergi ke surga.
Aku masih ingat, kala itu ia sedang sakit, dan tengah dirawat. Dia sempat memaksaku bermain hujan saat itu.
**flashback**
Aku menatapnya yang terkulai lemah tak berdaya dibalik jendela. Tubuhnya
di penuhi selang-selang yang menghubungkannya dengan alat-alat medis.
Aku menangis. Sedih melihat sahabat baikku seperti ini. Aku baru
mengetahui bahwa ia mengidap penyakit leukemia stadium akhir. Dia memang
pandai menutupi sesuatu, sampai-sampai aku sama sekali tak tahu ia
mengidap penyakit seperti ini.
Kulihat kedua orang tuanya begitu cemas, sama sepertiku. Ibunya tak
berhenti menangis dalam pelukan suaminya. Aku berterima kasih kepada
Tuhan, karena banyak yang mencemaskannya. Tapi aku khawatir, bila ia
ternyata pergi, meninggalkanku sendirian. Disini, bersama kenangan.
Kualihkan pandanganku kembali padanya. Kuperhatikan secara seksama.
Banyak sekali perubahan pada tubuhnya. Wajahnya pucat, dan sedikit lebih
kurus. Matanya cekung. Aah..sungguh malang nasib sahabatku ini. Tuhan,
andai aku bisa bertukar posisi dengannya, aku rela bila harus mengidap
penyakit ini. Aku ikhlas. Asalkan jangan dia. Jangan dia, sahabat
baikku.
Tiba-tiba kulihat jari-jarinya bergerak. Terus saja kuperhatikan
tangannya itu. Aku berharap ini nyata. Dan yes! Ini benar-benar nyata!
Dengan air muka yang senang, kuberitahukan pada kedua orang tua Rio.
“Ibu..Ayah..Ify..” ujar Rio ketika kami sudah memasuki kamarnya. Kulihat
dia tersenyum. Walau senyuman tipis, aku tau dia tersenyum dengan susah
payah. Air mataku kembali turun dengan perlahan. Dengan segera
kuberitahu dokter.
Tak lama kemudian, Dokter pun datang memeriksa Rio.
“Maaf, Ibu dan Bapak keluar dulu. Kami akan memeriksa Rio.” Ujar Dokter
yang diikuti suster-suster dibelakangnya. Dengan gontai kedua orang tua
Rio keluar dari kamar dimana Rio dirawat. Aku pun mengikuti kedua
orangtuanya dari belakang.
Diluar, aku terus menunduk, berharap Rio baik-baik saja. Bibirku tak
berhenti memanjatkan do’a untuknya, sahabatku yang tengah tergolek lemah
tak berdaya. Kedua orang tua Rio pun melakukan hal yang sama, berdo’a
semoga anak semata wayangnya baik-baik saja.
20 menit kemudian, Dokter yang memeriksa Rio keluar. Dengan cepat kami
mendekati Dokter itu, menunggu penjelasan tentang keadaan Rio sekarang.
Dokter itu mengerti dengan tatapan kami. Kulihat dokter itu menghela
nafasnya.
“Keadaan Rio sangat lemah. Kami tak bisa memprediksikan sampai kapan ia
bertahan. Mungkin tak akan lama. Kami sudah mencoba sebisa mungkin.
Maafkan kami. “ ujar Dokter itu yang kemudian berlalu meninggalkan kami
sesudah menepuk bahu Ayah Rio. Kulihat Rio yang tergolek lemah. Dia
tersenyum padaku. Senyum yang amat mengguratkan rasa lelah. Aku membalas
senyumannya. Senyuman yang dipaksakan, karena aku tak kuasa melihat
senyum lelah itu. Aku ingin menangis sejadi-jadinya.
Kulihat orang tuanya menangis tersedu-sedu setelah mendengar apa yang
dikatakan Dokter itu. Hei! Dokter bukan Tuhan! Mereka tak bisa
menentukan umur seseorang. Aku yakin, bila Rio bersungguh-sungguh dan
berusaha sebisa mungkin, pasti Rio sembuh! Pasti!
Kubuka pintu yang memisahkan kamar Rio dengan dunia luar. Aku
menyambutnya dengan senyuman getir. Kutarik kursi yang tak jauh dari
ranjangnya sehingga lebih dekat dengannya. Aku pun duduk di kursi itu.
Kuperhatikan wajahnya begitu pucat. Aku menangis mengetahui ini nyata.
Ini bukan mimpi. Senyumnya yang tak lepas sejak tadi, tiba-tiba
menghilang. Dia mendesah.
“hei, jangan menangis. Aku yang sakit kenapa kamu yang menangis? Aku
baik-baik saja.” Ujarnya padaku saat melihatku menangis. Ah
Rio..kata-katamu justru membuatku semakin sedih. Kau masih bisa tenang
menghadapi penyakit ini. Sedangkan aku? Sudah menangis tersedu-sedu
melihatnya yang sakit ini.
Tiba-tiba orang tua Rio masuk ke dalam kamar rawat Rio. Kulihat Ibu Rio
terus saja menangis mengetahui anaknya semakin memburuk.
“Ibu, jangan nangis. Ayah juga. Jangan nangis yah? Nanti kalau Rio pergi
gimana? Jangan nangis terus, Rio gak suka liat orang yang Rio sayang
nangis.” Ujar Rio pada kedua orang tuanya. Ibu Rio pun langsung memeluk
tubuh anaknya yang sedikit kurus itu. Memeluknya dengan penuh kasih
sayang, kasih sayang seorang Ibu pada anaknya.
“Rio janji ya, Rio harus sembuh. Buat Ibu, Ayah sama Ify. Buat semua
orang yang sayang sama Rio. Rio harus janji ya..” ujar Ibu pada Rio
setelah melepas pelukan itu.
“iya, Rio janji.” Ujar Rio mantap seakan yakin dengan perkataannya. Rio
berusaha sekuat mungkin untuk bertahan melawan rasa sakitnya itu. Aku
tau itu. Rio tipe orang yang tak pernah menyerah.
“Ibu, Ayah, Rio mau main.” Pinta Rio pada kedua orang tuanya.
“main apa sayang?”Rio mengalihkan pandangannya keluar jendela. Saat itu
cuaca mendung. Sepertinya langit siap menurunkan pasukannya. Kulihat Rio
tersenyum. Dia pasti menyadari, moment yang paling kami sukai, hujan.
“aku pengen main keluar sama Ify!” aku terkesiap. Ternyata dugaanku
benar. Dia ingin keluar bersamaku. Padahal tubuhnya begitu lemah,
ditambah cuaca yang tak mendukung.
“Tapi ini mendung Rio.. Nanti kamu kenapa-napa.” Ujar Ayah Rio khawatir.
Ibu Rio mengangguk mendengar perkataan suaminya. Biasanya, aku langsung
menyetujui ajakan Rio untuk bermain. Tapi sekarang tidak. Keadaannya
berbeda. Kondisi fisiknya begitu buruk. Aku tak ingin memperburuk
keadaannya.
“Plis Yah..” dia menatap kami dengan tatapan memohon. Sejenak aku kasihan padanya.
“ayolah Bu, Yah..” pintanya sekali lagi. Tak lama kemudian kedua orangtua Rio mengangguk lemah mengiyakan permintaan anaknya.
**
Sekarang, aku dan Rio tengah duduk di bangku taman Rumah Sakit. Di
tangan kananku, aku memegang payung. Sebagai antisipasi bila hujan
datang. Firasatku benar, hujan mulai turun membasahi bumi. Untung saja
tak begitu deras. Aku mulai membuka payung yang ada di tanganku. Tapi
tiba-tiba tangannya mencegah aktivitas tanganku.
“jangan. Aku ingin bermain hujan denganmu.” Aku menggeleng keras
mendengar permintaannya itu. Ayolah, kau sedang sakit Rio! Jangan
bertindak hal bodoh!
Tiba-tiba dia berdiri, menarik tanganku dan mulai berlari dibalik rintik
hujan. Awalnya aku menolaknya, namun dia tetap memaksaku untuk bermain
dengannya. Dengan terpaksa aku menyetujuinya. Lama kelamaan aku mulai
menikmati bermain dengannya.
“Ify, peluk aku..” pintanya padaku saat aku dan dia duduk di bangku
tadi. Aku memandangnya dengan tatapan heran. Dia tiba-tiba memintaku
untuk memeluknya.
“ayolah..aku ingin kau peluk.” Dengan senyum, kurentangkan tanganku
menyambut tubuhnya yang menubrukku. Aku senang. Dia memelukku dengan
erat. Dapat kurasakan itu.
“Rio janji ya, bakal bertahan buat Ify..” pintaku padanya.
“iya, Rio janji..” dia teus saja memelukku. Tak lama kemudian, keadaan
menjadi hening. Hanya suara gemericik hujan yang terdengar. Kurasakan
pelukannya mengendur. Kulepaskan pelukan itu. Air mataku mengalir,
diikuti senyum getir. Pelukan ini ternyata pelukan terakhirnya. Ternyata
dia sudah tak bernafas lagi.
**Flashback Off**
**
Pagi ini, aku berniat menjenguknya. Sudah 2 minggu aku tak pergi kesana,
tempat terakhirnya. Tempat dimana ia tidur untuk selamanya.
Setelah aku membeli bunga, aku langsung mendatangi pusaranya. Aku
berjongkok disana. Dengan senyum getir, aku mengusap nisannya yang
basah. Baru saja hujan turun. Namanya masih terukir indah disana. Mario
Stevano. Nama itu tetap terpatri. Terpatri di hatiku. Nama yang masih
teringat jelas dalam otakku.
Kucabuti rumput-rumput liar yang tumbuh sekitar makamnya. Aku tak ingin
satu rumput liar pun tumbuh disana. Setelah bersih, kuletakkan seikat
bunga yang telah kubeli sebelum pergi kesini.
Ku tundukkan kepalaku, dan kemudian memanjatkan doa untuknya. Kucurahkan
rasa rinduku ini padanya. Kuungkapkan, betapa sedihnya hidupku
tanpanya. Betapa rapuhnya aku, betapa rindunya aku padanya. Rindu yang
sudah menggunung akibat terendapkan berhari-hari.
Kurasakan titik-titik air kembali membasahi bumi. Ternyata gerimis. Tapi
aku senang. Setelah berdo’a, kulihat nisannya itu. Aku tersenyum,
kemudian mendongakkan kepalaku. Kutadahkan tanganku, seakan ingin
menampung air hujan itu.
“Lihat Rio, hujan tlah turun.. Sekarang aku bisa mengenangmu..”
Kurogoh kantong kresek yang aku bawa, dan kuambil segelas plastic
capucino hangat itu. Dengan wajah yang dihiasi senyum, ku nikmati
suasana itu di dekat pusaranya.
Aah..antara kamu, capucino dan hujan…
Bukan siapa yang lebih dekat atau lebih dulu kenal, tapi Siapa yang selalu ada dan tidak pernah pergi :)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Koneksi Antar Materi Modul 3.1 - "Pengambilan Keputusan sebagai Pemimpin Pembelajaran"
Pada hakikatnya, dalam membuat keputusan, kita sebagai pemimpin seyogjanya harus mengutamakan nilai-nilai kebajikan dan kebutuhan pesert...
-
Pada hakikatnya, dalam membuat keputusan, kita sebagai pemimpin seyogjanya harus mengutamakan nilai-nilai kebajikan dan kebutuhan pesert...
-
This film was the first and the last film presented by Jonathan Alvin Heeii. This my first movie... maybe last to... Sebelum dimulai....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar